(lanjutan artikel Mengenal Kata Bid’ah)
Disusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Kerancuan Ketiga: Antara Bid’ah dan Niat Baik
Setelah melihat contoh-contoh mashalih mursalah di atas, mungkin saja terbersit kembali di benak seseorang: “Tapi kan aku niatnya baik…”
Jawaban:
Saudariku…perlulah kita ketahui berbagai macam dalih dan kedurhakaan Yahudi dikarenakan dalih niat baik, namun mereka menghalalkan segala cara untuk niat baiknya itu. Sungguh banyak hadits yang menjelaskan bahwa sekedar niat baik itu tidaklah cukup. Niat baik (ikhlas) itu harus dibarengi dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu contohnya adalah dalam hadits berikut.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang tiga orang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seakan-akan mereka merasa bahwa ibadah tersebut sedikit, maka mereka berkata, “Dimana kita jika dibanding dengan Nabi shalalllahu ‘alahi wa sallam? Ia telah dimaafkan dosa-dosanya oleh Allah baik yang telah lalu maupun yang akan datang.”
Seorang di antara mereka berkata, “Adapun aku, maka aku akan sholat malam selama-lamanya.”
Yang lainnya berkata, “Saya akan puasa dahr(setiap hari) dan aku tidak akan pernah buka.”
Dan berkata yang lainnya, “Aku akan menjauhi para wanita, dan aku tidak akan menikah selama-lamanya.”
Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Apakah kalian yang telah berkata demikian dan demikian? Ketahuilah demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah daripada kalian, namun aku berpuasa dan berbuka, aku sholat dan tidur, dan aku menikahi para wanita. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari no 5063 & Muslim 1401)
Lihatlah kesungguhan dan niat baik ketiga orang tersebut dalam beribadah. Namun, niat mereka langsung dibantah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan jika mereka tetap melakukan niatan tersebut, maka sama saja mereka membenci sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena niat baik mereka tidak diikuti dengan cara yang benar yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka yang benar dalam sebuah ibadah adalah tidak sekedar memperhatikan niat semata, namun juga cara melakukannya. Sebagaimana dikatakan oleh Fudhail bin ‘Iyad ketika menafsirkan firman Allah,
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al Mulk. 2)
Beliau rahimahullah berkata, “Maksudnya, ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan sunnah Rasulullah.” (Hilyatul Auliya’ : VIII/95. Lihat Membedah Akar Bid’ah)
Kerancuan Keempat: Antara Bid’ah dan Maksiat
Banyak orang menganggap seseorang melakukan bid’ah lebih baik daripada seseorang melakukan maksiat. Mereka menganggap bahwa orang yang melakukan bid’ah itu sudah dekat dengan agama, jadi tidak perlu dipermasalahkan dengan amalan-amalannya. “Daripada mencuri atau minum minuman keras”, kata mereka.
Jawaban:
Sungguh pemikiran seperti ini harus dikoreksi dengan beberapa alasan:
Pertama, karena telah banyak hadits yang menjelaskan bahayan bid’ah, padahal orang yang melakukan bid’ah tersebut menanggap mereka melakukan ibadah dengan penuh kesungguhan yang sangat. Akan tetapi amat disayangkan, amalan mereka tidak diterima bahkan mendapat adzab dari Allah Subhanhu wa Ta’ala. Sebagaimana Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam jelaskan tentang kelompok khawarij yang salah satu ciri mereka adalah sangat banyak beribadah,
“Salah seorang dari kalian merasa shalatnya lebih rendah nilainya daripada shalat mereka (kelompok khawarij), puasanya lebih rendah nilainya daripada puasa mereka, tilawahnya lebih rendah nilainya daripada tilawah mereka. Mereka membaca Al Qur’an tetapi tidak melewati kerongkongan mereka (tidak memahaminya). Mereka telah melesat keluar dari Islam sebagaimana anak panah melesat dari busurnya…” (HR. Bukhari)
Kedua, kita ketahui orang yang melakukan maksiat menyadari bahwa kegiatan yang dilakukannya terlarang dalam agama dan berdosa, sehingga ketika diingatkan mereka mengakui kesalahannya tersebut walau belum mampu meninggalkan maksiat yang dilakukannya. Berbeda dengan pelaku bid’ah, mereka menganggap bahwa amalan yang mereka lakukan adalah ibadah, apalagi mereka menjalankannya dengan penuh kesungguhan. Sehingga jika diperingatkan, mereka akan sulit meninggalkannya karena menganggap itu adalah sebuah kebenaran. Atau ketika menyadari bahwa itu adalah perkara yang baru dalam agama maka mereka mengatakan bahwa amalan (bid’ah) yang mereka lakukan adalah bid’ah hasanah, padahal tidaklah maksud dari kata-kata tersebut melainkan mengatakan semua bid’ah adalah hasanah.
Contoh dalam masalah ini adalah ketika orang melakukan kemaksiatan mencuri, ia menyadari ada larangannya dalam Islam. Maka, ia menyadari sedang melakukan dosa. Namun, jika seseorang diperingatkan untuk tidak melakukan yasinan, maka serta merta kerenyit muka tak senang muncul dan mengatakan, “Masa baca Qur’an dilarang.”Padahal maksud dari orang yang memberikan nasihat, bukan melarang seseorang membaca Al-Qur’an. Namun yang terlarang adalah mengkhususkan membaca surat Yasin pada hari-hari tertentu dengan keyakinan itu adalah ibadah. Benarlah ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri,
“Bid’ah lebih disukai iblis daripada maksiat.
Sebab maksiat orang mudah untuk meninggakannya, sedang bid’ah orang sulit untuk meninggalkannya.” (dinukil dari Musnad Ibnul Ja’d oleh syaikh Ali Hasan)
Kerancuan Kelima: Bid’ah Tarawih?
Satu lagi kerancuan yang sering kali muncul ketika membahas tentang bid’ah adalah ibadah sholat tarawih. Banyak orang mengira, tarawih tidak pernah dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkeyakinan demikian, apalagi dengan adanya perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika melihat orang-orang beribadah sholat tarawih berjama’ah, ia berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Jawaban:
Sesungguhnya wahai saudariku… Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan ibadah sholat malam di bulan Ramadhan, baik sendirian maupun berjama’ah. Sebagaimana dalam hadits berikut,
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى في المسجد ذات ليلة، فصلى بصلاته ناس، ثم صلى من القابلة فكثر الناس، ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله الله صلى الله عليه و سلم ، فلما أصبح قال: (قد رأيت الذي صنعتم، فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم) قال وذلك في رمضان.
“Dari sahabat ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha- bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam menjalankan sholat di m asjid, maka ada beberapa orang yang mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam selanjutnya beliau shalat lagi, dan orang-orang yang mengikuti shalat beliau-pun bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar menemui mereka, pada pagi harinya beliau bersabda: “Sungguh aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan (yaitu berkumpul menanti shalat berjamaah ) dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, melainkan karena aku khawatir bila (shalat tarawih) diwajibkan atas kalian.” Dan itu terjadi pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebenarnya dalil ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tarawih bukanlah bid’ah. Namun, untuk menjawab kerancuan yang timbul dari perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu, maka jawabannya bisa dari dua sisi:
- Maksud Umar adalah bid’ah dengan makna secara bahasa, yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Hal ini disebabkan sejak wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sholat tarawih berjama’ah tersebut belum pernah dilakukan kembali ketika masa kekhalifahan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu.
- Jika pun maksud perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu tersebut bid’ah secara istilah, maka perkataan tersebut tidaklah dapat diterima karena bertentangan dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كل بدعة ضلالة
“Seluruh bid’ah sesat…” (HR. Muslim 2/592)
Sungguh tidak akan habis kerancuan yang dilontarkan ketika seseorang lebih mengikuti hawa nafsunya daripada kebenaran yang telah dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dengan kaedah-kaedah yang disebutkan pada artikel ini dapat membentengi kita dari kerancuan lain yang menyambar-nyambar hati. Allah Ta’ala berfirman,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3).
Ingatlah pula, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda bersabda,
“Tidak tersisa sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka melainkan telah dijelaskan kepadamu.” (HR. Thabrani, sanadnya shahih).
Maka cukupkanlah dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena yang demikian juga sudah sangat menyibukkan jika kita telah mengetahui dan mengamalkannya. Ataupun jika baru sedikit sunnah Nabi yang kita ketahui, maka istiqomahlah menjalankannya, karena yang demikian adalah amal yang paling dicintai Allah (HR. Bukhari dan Muslim). Ya Allah, berikanlah ketakwaan pada diri kami, bersihkanlah jiwa kami dari hawa nafsu karena Engkau-lah sebaik-baik pembersih jiwa.
Maraji’:
- Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Al Ustadz Aris Munandar
- Membedah Akar Bid’ah. Syaikh Ali Hasan Al Halabi Al Atsari. Pustaka Al Kautsar cet ke-4 2005
- Ringkasan Al I’tisham Imam Asy Syathibi, Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf. Media Hidayah cet ke-1 2003
***
Artikel www.muslimah.or.id
ijin ngopy semuanya
Memberi nasehat kepada yang berbuat bid’ah memang amat sulit, apalagi alasannya sama seperti yang disebut diatas. Mereka asyik dan menganggap angin lalu kepada yang menasehatinya, ditambah orang yang dianggap ahlul ilmi membenarkannya. Kita berdo’a: Semoga Alloh senantiasa membimbing kita dan membukakan pintu hati mereka. Amin
Assalamu’alaikum.
Ana minta izin untuk mengcopy beberapa artikel dari blog anti untuk arsip artikel di blog ana:
akhisaad.blogspot.com
Boleh atau tidak ?
Ana tunggu jawabannya.
Wassalamu’alaikum.
Semua artikel di http://www.muslimah.or.id silakan untuk disebarluaskan, dengan tetap mencantumkan http://www.muslimah.or.id dan nama penulis artikel.
Assalamu’alaikum wrwb.
Saudariku .. anda membagi masalah “perkara baru” ini menjadi 3 macam,
1. Bid’ah, perkara baru ibadah syariat yg tak ada contoh –> sesat n masuk neraka
2. Mashalih Mursalah, sesuai syariat –> boleh
3. Bid’ah secara bahasa, perkara baru secara umum –> boleh.
Kalau begitu, sepakat bahwa tidaklah setiap perkara baru itu adalah sesat.
Dalam madzab Syafi’i (yg saya tahu) membagi bid’ah ini menjadi dua yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah dlalalah (buruk). Yang sesuai syariat maka itu hasanah, sdgkan yg berlawanan syariat itu sesat. Lebih sederhana kan.
assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
subhanallah……
semoga Allah membalas kebaikan yang antum lakukan…. melalui website ini. mari sama-sama kita doakan umat muslimin khusunya di indonesia bisa kembali kepada manhaj salaf shaleh yang sebenarnya……amin…. salam kenal dari dian (hamba allah )
Saya tertarik dengan tulisan Anda terutama pada bagian perkataan Umar r.a. yaitu “bid’ah hasanah”-nya shalat tarawih berjamaah.
Anda katakan bahwa hal itu diucapkan dalam konteks bid’ah secara lughowi (bahasa). Yang ingin saya tanyakan, Apakah Umar r.a. tidak tahu bahwa shalat tarawih berjamaah PERNAH dilakukan oleh Rasulullah SAW meski cuma 3 hari? Berarti kalo Umar mengatakan “bid’ah” di situ TIDAK TEPAT kalo dianggap sebagai bid’ah-nya dalam konteks bahasa. Alasan nomer 1 >>> tidak bisa dipakai!
Tinjauan ke-2 adalah secara syar’i.
Apakah Rasulullah SAW tidak lebih tahu daripada Umar r.a. tentang “keutamaan shalat tarawih berjamaah”, sehingga beliau terpaksa menghentikannya saat orang-orang mulai banyak berdatangan untuk bertarawih bersama Nabi SAW di hari ketiga Ramadhan? Kalau memang shalat tarawih berjamaah itu baik (seperti yang dipikirkan oleh Umar r.a), maka tentunya hal ini TIDAK AKAN LUPUT dari pengamatan Abu Bakar r.a yang memerintah sebelum Umar r.a.
Assalamu’alaikum wrwb.
Mbak .. ketika di seluruh artikel ttg bid’ah anda selalu bersandar “setiap bid’ah adalah sesat” dan “ahli neraka”, namun kenapa tiba2 pindah kriteria menjadi “boleh” ketika ada bid’ah dari Umar ra?
Apakah sahabat Umar ra sendiri yang mengatakan itu maksudnya bid’ah secara bahasa?
Selanjutnya .. itu artinya ada bid’ah yang boleh kan? Apa saja selain tarawih?
Terimakasih.
Istilah Bid’ah Hasanah tidak ada di dalam syari’at. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya Bid’ah (dalam agama) semuanya adalah sesat, kullu bid’atin dholaalah! sangat tegas sekali perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang bid’ah.
Adapun maksud para imam yang menyebutkan ada istilah bid’ah hasanah (diantaranya adalah imam Syafi’i rahimahullah) adalah jika bid’ah tersebut sesuai syari’at maka itulah bid’ah hasanah, sekarang kita renungkan “Jika sesuai dengan syari’at maka hal tersebut bukanlah bid’ah, itu adalah Sunnah”, jelas sekali perkataan Imam Syafi’i adalah istilah bid’ah berdasarkan istilah “bahasa” dan bukan istilah syari’at, karena istilah syari’at sudah tegas didefinisikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; kullu bid’atin dholaalah! semua bid’ah (di dalam agama) adalah sesat! dan itulah definisi yang sangat gamblang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tentang Sunnah tarawih yang dihidupkan oleh sahabat Umar radiallahu ‘anhu, jelas sekali tarawih adalah Sunnah yang dikerjakan, dicontohkan, dan disyari’atkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa beliau hidup, dan kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hentikan karena beliau khawatir akan turun wahyu yang mewajibkan shalat tarawih yang dapat memberatkan ummatnya karena sayangnya beliau kepada ummatnya (ingat, bahwa ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup wahyu dari langit masih turun). Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kemudian pada masa khalifah Abu Bakar, beliau tidak menghidupkan shalat tarawih karena beliau disibukkan dengan berbagai kasus, diantaranya murtad massal yang dilakukan oleh orang-orang pada masanya (silakan baca buku siroh seperti Al Bidayah wan Nihayah, dll). Kemudian barulah pada masa khalifah sahabat Umar, beliau hidupkan Sunnah tarawih berjama’ah.
Maksud perkataan Umar; “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” adalah shalat tarawih berjama’ah tersebut tidak dilakukan oleh khalifah pendahulunya (Abu Bakar), sehingga istilah bid’ah (dalam konteks Bahasa) cocok dan TEPAT untuk diucapkan, karena hal tersebut adalah sesuatu yang “baru” yang tidak dilaksanakan pada masa Abu Bakar. Dan ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan tarawih berjama’ah adalah khawatir akan turun wahyu yang mewajibkan ummatnya, dan pada masa Umar kekhawatiran tersebut sudah hilang karena dengan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka wahyu sudah tidak turun lagi, dan pada masa Umar tidak mungkin akan turun wahyu yang mewajibkan hal tersebut, sehingga status hukum shalat tarawih sampai hari kiamat adalah Sunnah yang hukumnya mustahab/sunnat dan tidak wajib. Insya Allah jawaban saya ini bisa menjawab komentar dari saudara yusair. Mudah-mudahan bermanfa’at.
– Ummu Ziyad
Saudara Yusair, artikel ini merupakan rangkaian artikel-artikel yang belum tuntas ditulis (insya Allah akan disajikan secara bersambung). Untuk memahami perbedaan antara “Sunnah” dan “Bid’ah”, silakan merujuk artikel ustadz Muhammad Arifin Badri di http://www.muslim.or.id, pada link:
Pandangan Tajam Terhadap Zikir Berjam’ah 1
Pandangan Tajam Terhadap Zikir Berjam’ah 2
Pandangan Tajam Terhadap Zikir Berjam’ah 3
Pandangan Tajam Terhadap Zikir Berjam’ah 4
Pandangan Tajam Terhadap Zikir Berjam’ah 5
Pandangan Tajam Terhadap Zikir Berjam’ah 6
Artikel di atas cukup panjang pembahasannya, dan sulit untuk dipahami bagi sebagian orang, jadi mohon untuk mencermatinya biar tidak salah paham dalam memahaminya.
Mbak katakan, dalam bid’ah Umar ra dikatakan bidah dalam konteks Bahasa cocok dan TEPAT.
Anda katakan juga dzikir jamaah itu bid’ah sesat. Padahal kasusnya mirip dengan tarawih. Ada syariat (hadits) Nabi ttg-nya.
Pertanyaan ane, siapa yang berhak menentukan bahwa bid’ah itu bid’ah dlm bahasa, atau dlm istilah ?
Kapan suatu bid’ah dikatakan secr bahasa, kapan itu istilah? Apa kriterianya?
Adakah contoh lain bid’ah secara bhs selain tarawih?
Maaf ane banyak tanya, karena ingin tahu lebih jelas.
Untuk Mas Yusair
Dzikir berjama’ah itu bid’ah yang sesat, sedangkan bid’ah yang dimaksudkan umar, berbeda dengan pengertian bid’ah yang sesat, coba anda baca dulu link tentang dzikir berjama’ah diatas, atau jika pengen ringksnya…
Dzikir berjama’ah dikatakan sesat karena rosulullah tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk bersama2 dzikir berjama’ah, dan tidak ada dalil yang menuntun perbuatan itu kecuali hadist yang dhoif atau palsu (hadist doif tidak boleh dijadikan dalil, apalagi hadist palsu) bahkan rosul mengajarkan kepada kita, jika berzdikir harus dengan suara yang sirr (pelan) bukan dengan jahr (keras), sehingga perbuatan ini dikatakan bid’ah yang sesat.
namun jika kita melihat perkataan umar tentang bid’ahnya tarawih, bid’ahnya disini bukan bid’ah yang dimaksudkan rosulullah, kok kita bisa tahu?? karena ada dalil yang menunjukkan bahwa pada jaman nabi, rosul pernah melakukan sholat tarawih, sehingga kita menilai perkataan umar disini menunjukkan bid’ah secara bahasa, karena pada khilifah sebelumnya, tarawih tidak pernah dilakukan, akan tetapi pada masa umar barulah tarawih dihidupkan kembali. Jadi bid’ah disini, bid’ah yang belum pernah dilakukan pada masa abu bakar
Jadi kesimpulannya, tolak ukur suatu perbuatan dikatakan bid’ah adalah dengan menilai apakah perbuatan tersebut telah dituntunkan oleh rosul ataukah tidak, ada dalil yang memerintahkannya atau tidak, sehingga segala bentuk perbuatan kita dalam rangka mendekatkan diri kepada allah, harus dituntun oleh dalil dari syariat, tidak bisa kita membuat sendiri dan mengatakan, “inikan bae, bisa lebih mendekatkan diri kepada allah” tapi katakankan “saya mengerjakan ini karena ada dalil yang memerintahkannya…”
Semoga dapat dimengerti…
mohon dikoreksi jika ada kesalahan
waffaqokumullah
Benarkah Rasulullah saw tidak pernah mengajarkan untuk bersama2 dzikir berjamaah? Ane ada hadits riwayat Bukhari Muslim, bukan hadits palsu,
1. Dari Abu Hurairah ra. berkata,Rasulullahsaw. bersabda:”Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat yang berlalu-lalang di jalan untuk mencari majlis dzikir, di mana bila mereka mendapatkan sesuatu kaum yang berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla mereka memanggil malaikat-malaikat yang lain dengan berkata: “Marilah ke sini menyaksikan apa yang kamu cari”, kemudian para malaikat membentangkan sayapnya sampai ke langit dunia, lantas Tuhan bertanya kepada mereka padahal Tuhan telah lebih mengetahui: “Apa yangdiucapkan oleh hamba-Ku?”
Malaikat itu berkata:”Mereka mensucikan-Mu, memuji-Mu mengagungkan-Mu”.
Tuhanbertanya:”Apakah mereka pernah melihat Aku?”
Para malaikat menjawab:” Demi Allah, mereka belum pernah melihat Engkau”.
Tuhan bertanya:”Bagaimana seandainya mereka pernah melihat Aku?”
Para malaikat menjawab: “Seandainya mereka pernah melihat Engkau niscaya mereka lebih giat beribadah kepada-Mu, lebih giat mengagungkan Engkau, dan lebih giat mensucikan Engkau”.
Tuhan bertanya: “Apakah yang mereka minta?”
Para malaikat menjawab: “Mereka meminta surga kepada-Mu”.
Tuhan bertanya: “Apakah mereka pernah melihat surga?”
Para malaikat menjawab:”Demi Allah,wahai Tuhanku merekabelum pernah melihatnya”.
Tuhan bertanya: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?”
Para malaikat menjawab: “Seandainya mereka pernah melihatnya niscaya mereka lebih bersemangat untuk mencapainya, mereka lebih giat untuk memohonnya, dan mereka sangat mengharapkannya”.
Tuhan bertanya:”Dari apakah mereka berlindung diri?”
Malaikat menjawab:” Mereka berlindung diri dari api neraka”.
Tuhan bertanya: “Apakah mereka pernah melihat neraka?”
Para malaikat menjawab:” Demi Allah, mereka belum pernah melihatnya”.
Tuhan bertanya: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?”
Para malaikat menjawab:” Seandainya mereka pernah melihatnya niscaya mereka lebih menjauhkan diri daripadanya dan mereka lebih takut terhadapnya”.
Tuhan berfirman: “Maka saksikanlah olehmu bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka”.
Ada salah satu malaikat yang berkata: “Di dalam majlis itu ada si Fulan, seseorang yang bukan termasuk ahli dzikir, ia datang di situ karenaada sesuatu kepentingan”.
Tuhan berfirman: “Mereka semua adalah termasuk ahli dzikir, di mana tidak ada seorangpun yang duduk di situ akan mendapatkan kecelakaan/siksaan”.(Riwayat Bukhari dan Muslim).
(maaf .. panjang sekali)
2. Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Muslim)
Bukankah hadits di atas merupakan syariat yang membolehkan dzikir berjamaah? Jika ini benar, maka dzikir berjamaah bukan bid’ah sesat. Boleh .. bahkan sunnah. Artikel 6 jilid di atas gugur dgn sendirinya.
@Ryper
Tentang kata-kata ini,”…….. berdzikir harus dengan suara yang sirr (pelan) bukan dengan jahr (keras), ..”. Pertanyaan ane, adakah syariat yang mengharuskan berzdikir dengan suara yang sirr (pelan)? Jika tak ada, bukankah ini merupakan bid’ah sesat.
Ohh yaa .. ada pertanyaan ane di atas belum dijawab,
1. Kapan suatu bidah dikatakan secara bahasa, kapan dikatakan bid’ah secara istilah? Apa kriterianya?
Ada beberapa kasus,
Tarawih –> ada rosul mengajarkan –> bid’ah bahasa
Qunut Subuh –> ada rosul mengajarkan –> bid’ah sesat
Dzikir Jamaah –> ada rosul mengajarkan (lih hadist di atas)–> bid’ah sesat
So .. pertanyaan menjadi di atas menjadi sangat krusial,.. apa kriterianya? siapa yg berhak menentukan?
2. Adakah contoh lain bidah secara bahasa selain tarawih?
Mohon maaf sebelumnya.
Untuk Mas Yusair,
Alangkah lebih baiknya jika kita berhati-hati dalam masalah agama kecuali memang ada pendapat dari ulama-ulama yang tsiqah yang mendahuluinya. Karena jika kita ingin beramal shalih masih banyak contoh-contoh dari Nabi yang berdasar pada hadist yang shohih.
Tidaklah kesesatan terjadi jika kita berhujah dengan dalil yang sebenarnya bukan dalil dan juga kita berhujah dengan dalil yang shohih tetapi kita salah dalam memahaminya karena tidak berpegang pada manhaj yang benar.
Jika memang perbuatan itu baik maka sesungguhnya generasi pertama kita telah berlomba-lomba dalam mengamalkannya dan tentunya kita akan banyak mendapati atsar perbuatan itu dari mereka.
Wassalam
Saudara Yusair, sepertinya Anda belum membaca artikel tentang Zikir Berjam’ah yang kami berikan linknya pada komentar kami sebelumnya. Coba Anda baca terlebih dahulu 6 artikel panjang tersebut, insya Allah sudah banyak menjawab musykilah yang ada pada diri Anda.
Sedikit menjawab komentar Anda:
Hadits tentang majelis zikir yang Anda sitir, maksudnya bukan majelis zikir ala Arifin Ilham loh… Majelis Zikir pada hadits di atas adalah Majelis Ilmu, kata “zikir” jangan diartikan langsung ZIKIR, dalam bahasa arab “zikir” memiliki banyak arti, oleh karena itu dalam memahami agama membutuhkan pengetahuan dalam bahasa arab agar tidak asal saja memahami, karena “rasa” dalam tiap-tiap bahasa sangatlah berbeda.
Banyak sekali orang menjadi tersesat hanya karena miskin dalam memahami bahasa arab yang merupakan bahasa syari’at. Hampir semua ahlul bid’ah tersesat karena salah dalam memahami bahasa Arab, contohnya Kaum sufi menyatakan tidak perlu lagi sholat jika sudah yakin, padahal kata “yaqin” dalam ayat maksudnya adalah “kematian”, agama Ahmadiyah Anda tahu sendiri bukan pemahamannya terhadap ayat? Al Qiyadah Al Islamiyah, khawarij, dan bahkan agama Syi’ah!
Al Qur’an dan hadits semuanya menggunakan bahasa arab, bahkan kitab-kitab para ulama terdahulu juga menggunakan bahasa arab. Dapatlah kita katakan bahwa hampir seluruh referensi agama Islam menggunakan bahasa arab. Jika ingin paham betul agama Islam, kuasailah bahasa arab.
Tentang berzikir dengan suara pelan juga sudah ada penjelasannya pada artikel yang kami berikan linknya di atas, insya Allah.
***
Beberapa kasus yang Anda sebutkan, salah dalam pemahaman Anda.
Tarawih bukan bid’ah akan tetapi sunnah karena memang sudah ada syari’atnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Qunut Subuh tidak bisa dimutlakkan dikatakan bid’ah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut pada setiap sholat subuh, beliau qunut hanya pada saat saat tertentu, dan ini membutuhkan penjelasan yang panjang.
Zikir Berjam’ah jelas sekali bid’ah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkannya dan tidak pernah mempraktekkannya. Begitupun para sahabat beliau tidak pernah mengajarkannya dan tidak pernah mempraktekkannya.
Anda bingung karena Anda hanya memikirkan apakah amalan ini bid’ah secara bahasa atau bid’ah secara syari’at. Jika menemukan 1 kasus, Anda langsung bingung, “Ini bid’ah secara bahasa atau secara syari’at ya… Anda hanya berkutat pada pengertian Bid’ah. Padahal selain bid’ah juga ada Sunnah; jika suatu amalan tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada dalilnya maka amalan tersebut adalah bid’ah, sebaliknya jika suatu amalan ada dalilnya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkannya maka dia adalah Sunnah. Sederhana bukan? pembahasan mendalam tentang hal ini pada ilmu Ushul Fiqh cukup rumit bagi sebagian besar kaum muslimin. Sederhananya, cukuplah kita melakukan amalan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersungguh-sungguh dengan amalan tersebut.
Mohon ma’af jika ada kata-kata kami yang salah.
Saudaramu di Jalan Allah
@Mas Yusair
Coba dibuka link mengenai zikir berjamaah yang diberikan oleh http://www.muslimah.or.id, insya Allah di sana ada pembahasan yang cukup mengenai apa yang Anda tanyakan, terutama di bagian 2 dan 3. Agak panjang memang dan perlu dibaca dengan sedikit lebih konsentrasi.
Syukron
Wassalamualaikum
untuk saudara yusair,
untuk lebih mudahnya dalam memahami bid’ah dan sunnah, saudara tinggal mengembalikan semua permasalahan kepada segala sesuatu yang dikerjakan oleh Rasulullah dan Para Sahabatnya. mereka yang lebih paham masalah agama. Para Sahabat adalah generasi terbaik dari umat islam (sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits). Jika ada sebuah kebaikan, maka merekalah orang yang paling awal dalam melaksanakannya.
mengenai hadits2 yang saudara sebutkan sebagai dalil untuk zikir jam’aah, maka untuk mudahnya, kita kembalikan saja kepada perbuatan para Sahabat Nabi. apakah mereka menafsirkan hadits2 tersebut dengan zikir jama’ah ? mengapa jika makna hadits tersebut adalah zikir jama’ah tetapi mereka tidak mengerjakannya ? (ingat, mereka adalah generasi islam yang paling bersemangat dalam mengerjakan kebaikan, mungkinkah mereka luput dari “kebaikan” zikir jama’ah ini ?)
demikian dari kami, lebih dan kurangnya mohon maaf.
semoga Allah memudahkan saudara untuk memahami agama kita yang tercinta ini.
wassalam
@Yusair
Untuk qunut subuh anda bisa membacanya di link ini …
http://www.almanhaj.or.id/content/1385/slash/0
Ada sebuah kaidah “Seandainya perbuatan itu baik (ibadah) maka tentunya para sahabat akan lebih dahulu mengamalkannya” karena mereka adalah umat yang paling utama, yang berlomba untuk beramal dan mengikuti Rasulullah.
Sedangkan masalah Dzikir berjama’ah, tata caranya tidak pernah kita temukan dalam riwayat bahkan hadits, apakah dzikir berjama’aah harus membaca ini dan itu dengan hitungan tertentu? (seperti umumnya dzikir berjama’ahnya Arifin Ilham dan sebagian dai kondang saat ini?) jika ada maka bisa diamalkan, jika tidak ada apakah kita mau mengamalkan ?? sedangkan tata caranya ibadah tersebut tidak pernah ada tuntunannya.
Seperti tahlillan .. adakah tuntunnanya tahlilan harus membaca ini dan itu terlebih dahulu ?? Di hari tertentu ?? dan apakah diajarkan oleh Ulama Salaf dan Imam 4 Madzhab?? Jika hal itu dianggap ibadah tentunya ada atsar tentang pelaksanaannya baik waktu maupun tata caranya .. maka banyak faktor yang bisa menjadikan sebuah amalan menjadi bid’ah.
Misal, tata cara seperti qurban ? apakah ada tuntunannya qurban dengan selain kambing, sapi atau Unta ..?? Kemudian pakah ada cara qurban denganmencekik binatang ?
kemudian selain itu masalah waktu, apakah ada haji selain di bulan Haji (afwan ana lupa nama bulannya),
Kemudian satu lagi masalah jumlah, apakah ada tuntunan dari Rasululah dzikir yang sampai 1000 kali akan berfaidah begini dan begitu ..?? apakah ada dalam hadits Rasulullah ? apakah ada dalam atsar sahabat ?
Jika ada tolong tunjukkan kepada kami .. :)
demikian penjelasan dari ana, jika ada yang salah ana mohon koreksi, afwan terlalu panjang ..
Wallohu’alam
Alhamdulillah .. ane agak lebih paham. Kriteria ternyata sangat sederhana.
Kalau Rasulullah saw dan begitupun para sahabat beliau tidak pernah mengajarkannya dan tidak pernah mempraktekkannya, maka itu semua bid’ah sesat. Mohon koreksi kalau salah.
Kemudian, ttg dzikir berjamaah .. dgn keterangan yg panjang lebar di-link atas, trs terang cukup membingungkan. Dan hadits 1 ane (yg panjang) tak dibahas di sana.
Ane sebenarnya kurang tahu apa yg dimaksud dengan dzikir model ustadz Arifin Ilham, karena selama ini tidak begitu perhatian untuk mengamati apa yg dia lakukan. Maaf kuper.
Untuk itu lebih baik kalau dijelaskan saja:
1. Contoh dzikir yg bagaimanakah yg tidak bid’ah?
Maaf .. krn ane lihat di sini yg dibahas kok hanya dzikir yg bid’ah saja. Sedangkan contoh yg tidak bid’ah justru tidak dibahas. Padahal judulnya “Yang Tidak Bid’ah”.
2. @Ryper or mbak mus or all, ada pertanyaan ane belum terjawab,
Tentang kata-kata ini,.. berdzikir harus dengan suara yang sirr (pelan) bukan dengan jahr (keras), ... Pertanyaan ane, adakah syariat yang mengharuskan berdzikir dengan suara yang sirr (pelan)? Jika tak ada, bukankah ini merupakan bidah sesat.
3. Adakah contoh lain bidah secara bahasa selain tarawih?
saudara yusair menulis:
“Pertanyaan ane, adakah syariat yang mengharuskan berdzikir dengan suara yang sirr (pelan)? Jika tak ada, bukankah ini merupakan bidah sesat.”
jawab :
Allah berfirman dalam surat al’araf ayat 205 yang artinya :
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara”
perhatikan firmanNya yang berbunyi “dunal jahri” atau yang artinya “dengan tidak mengeraskan suara”
saya rasa ini sudah cukup untuk menjawab pertanyaan anda.
saudara yusair menulis :
“Pertanyaan ane, adakah syariat yang mengharuskan berdzikir dengan suara yang sirr (pelan)? Jika tak ada, bukankah ini merupakan bidah sesat.”
jawaban :
Allah berfirman yang artinya “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara” (Al a’raf 205)
perhatikan firman-Nya yang berbunyi “dunal jahri” atau diartikan “dengan tidak mengeraskan suara”.
semoga bisa menjawab pertanyaan saudara.
perhatikan firman-Nya yang berbunyi dunal jahri atau diartikan dengan tidak mengeraskan suara.
semoga bisa menjawab pertanyaan saudara.
——–
Terima kasih. Tapi kok kayaknya nggak pas yaa. Ayat itu pendek. Juga penggalan kalimatnya adalah dengan tidak mengeraskan suara, bukan dgn redaksi “harus tidak mengeraskan suara”.
Bgm pertanyaan kami yg lain. Sdh menunggu sekian lama nihh.
waduh jadi tambah bingung nih, gimana dong, padahal saya pengen bgt deket dgn agama, tapi takut salah yg mana yg bener….??
maklum orang awam..tolong dibls ke email saya ya (semoga jadi amal anda)..klo pengajian dibandung dimana ya yg bener?
satu lagi nih, saya pernah denger klo manhaj yg bener itu salaf ya? knapa?
Saudara Hidayat, untuk jadwal pengajian di Bandung bisa dilihat di website: http://jadwal.kajian.org/
Silakan ikuti terus artikel-artikel Islam pada website: http://www.muslim.or.id, http://almanhaj.or.id dan website ini. Baarokallahu fiik…
bid’ah menurut saya dengan bahasa sedernanya adalah rukun ritualnya. Jadi masalah mobil, pesawat, kertas kitab, alqur’an komputer, al-qur,an cd, dll itu fasilitas hidup yang berkembang sepanjang jaman. jadi ini bukan bid’ah, sedangkan ritual yang baru jadi aneh krn kenapa nabi muhammad saw tidak melakukan pada masanya dahulu?
bisa minta tolong di jelaskan hadits ini dan hubunganya dengan bid’ah.terimaksih. Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya (Shahih Muslim hadits no.1017)
Mas Iwan, arti hadits yang mas tulis tersebut keliru dari arti yang sebenarnya. Arti yang benar adalah: “Barangsiapa yang merintis SUNNAH HASANAH dalam Islam… dst…” coba silakan cek hadits tersebut pada bahasa aslinya yaitu bahasa arab. Jadi artinya bukan “membuat-buat hal baru yang baik” karena membuat-buat hal yang baru dalam Islam namanya adalah Bid’ah (dan bukan sunnah) dan setiap bid’ah hukumnya adalah sesat dan pelakunya diancam dengan neraka.
Assalam……
ane ank baru nih……
ane cuma mo ijin ngopi file ma author ni….
insyaAlloh
diijinin yah……
ok terimaksih……btw saya minta ijin untuk meng-copy semua artikelnya…
Assalamu’alaikum,
Ana mau tanya mengenai mashalih mursalah nih, ukhti.
Pernah dengar seorang ustaz menerangkan bahwa apa-apa yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah saw selama hidupnya jika kita kerjakan termasuk perbuatan bid’ah.
Dalam hal ini tidak lepas dari 3 kemungkinan.
1. Apa yang tidak dikerjakan beliau padahal pendukungnya ada sedangkan masih ada penghalangnya. Contoh: pembukuan al-qur’an dan hadits
2. Apa yang tidak dikerjakan beliau sedang pendukungnya tidak ada dan penghalangnya pun tidak ada. Contoh: internet, komputer, mikropon, pesawat, jalan raya dll.
3. Apa yang tidak dikerjakan beliau padahal ada pendukungnya dan penghalangnya pun tidak ada. Maka ini yang masuk ke perkara bid’ah. Contoh: maulid nabi, isro’ mi’raj dll. Pendukungnya ada dan penghalangnya juga tidak ada, tapi Nabi saw dan sahabat meninggalkannya.
Apakah benar apa yang ana tangkap dari penjelasan ustaz tsb? mohon koreksinya.
Jazakillahu khoirol jaza
wahai umat islam..tidak cukupkah bagi kalian apa-apa yang telah diajarkan baginda Nabi untuk mendekatkan diri kepada Alloh sehingga kalian mencari-cari jalan yang lain..??
disana masih banyak sunnah-sunnah Nabi yang shohih yang masih banyak kalian tinggalkan, sementara kalian menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak pernah beliau ajarkan..??
Wallohi..tidaklah saya mendapatkan orang-orang yang menyibukkan diri dengan acara tahlilan, melainkan di dalamnya mereka penuhi dengan berbagai maksiat, kemaksiatan yang satu dibarengi dengan kemaksiatan lainnya, hampir semua pria di dalamnya membakar duit mereka lewat rokok-bahkan di masjid sekalipun, berhias layaknya wanita dengan mencukur habis jenggotnya, berpenampilan ala pak raden dengan memperpanjang kumisnya, ini masih dari sisi adab
belum lagi dari sisi aqidah, bacaan yang mereka ucapkan sungguh mendekati jurang kekufuran, suatu bacaan yang belum pernah tercantum dalam kitab shohih bukhori-muslim, kitab-kitab sunan, dan kitab hadits lainnya, sekali lagi saya pertanyakan, tidak cukupkah bagi kalian wahai kaum muslimin sunnah-sunnah baginda Nabi..??!! ataukah kalian merasa Nabi belum mengajarkan segala hal tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Alloh..??
sesungguhnya ilmu pada Alquran dan sunnah sangat banyak…sementara umur yg kita miliki sangat pendek..amalan pada alquran dan as sunnah cukup banyak sementara “masa aktif” kita di atas bumi sebentar saja, tidak ada counter isi umur..maka manfaatkanlah sisa hidup ini tuk mentadabburu keduanya..Ya Alloh kepada-Mu kami bertaubat..
assalamualaikum
ukhti, dari sebuah artikel islami, saya mendapati bahwa membaca “shadaqollahul ‘adzim” setelah membaca al-qur’an itu bid’ah. bagaimana tanggapan ukhti?
syukron
wassalam
@melysa
Wa’alaykumussalam
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz pernah ditanya: Saya sering mendengar bahwa mengucapkan shadaqallahul ‘azhim” ketika selesai membaca al-Quran adalah perbuatan bidah. Namun sebagian orang yang mengatakan bahwa itu boleh, mereka berdalih dengan firman Allah Subhanahu wa Taala,
Artinya: Katakanlah: Benarlah (apa yang difirmankan) Allah. [QS. Ali-‘Imran: 95]
Kemudian dari itu, sebagian orang terpelajar mengatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu alaihi wa sallam hendak menghentikan bacaan al-Quran seseorang, beliau mengatakan, cukup dan beliau tidak mengatakan, “shadaqallahul azhim. Pertanyaan saya: Apakah ucapan shadaqallahul azhim dibolehkan setelah selesai membaca al-Quran Karim. Saya mohon Syaikh berkenan menjelaskannya.
asy-Syaikh menjawab:
Mayoritas orang terbiasa mengucapkan, Shadaqallahul azhim ketika selesai membaca al Quran, padahal ini tidak ada asalnya, maka tidak boleh dibiasakan, bahkan menurut kaidah syariyah hal ini termasuk bidah bila yang mengucapkan berkeyakinan bahwa hal ini sunnah. Maka hendaknya ditinggalkan dan tidak membiasakannya karena tidak adanya dalil yang menunjukkannya.
Adapun firman Allah Taala,
Artinya: Katakanlah, Benarlah (apa yang difirmankan) Allah. [QS. Ali-‘Imran: 95]
Bukan mengenai masalah ini (boleh/tidaknya membaca shadaqallahul ‘azhim), tapi merupakan perintah Allah Taala untuk menjelaskan kepada manusia bahwa apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Taala itu benar yaitu yang disebutkan di dalam kitabkitab-Nya yang agung yakni Taurat dan lainnya, dan bahwa Allah Taala itu Maha Benar dalam ucapan-Nya terhadap para hamba-Nya di dalam kitab-Nya yang agung, al Quran.
Tetapi ayat ini bukan dalil yang menunjukkan sunnahnya mengucapkan, Shadaqallah setelah selesai membaca al Quran atau membaca beberapa ayatnya atau membaca salah satu suratnya, karena hal ini tidak pernah ditetapkan dan tidak pernah dikenal dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan tidak pula dari para sahabat beliau Radhiyallahu anhum.
Ketika Ibnu Masud Radhiyallahu anhu membaca awal Surat An-Nisaa di hadapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam hingga sampai pada ayat,
Artinya: Maka bagaimanakah (halnya orangorang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi dari tiaptiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu. [QS. An Nisaa: 41]
Beliau berkata pada Ibnu Masud, cukup, Ibnu Masud menceritakan, Lalu aku menoleh kepada beliau, ternyata matanya meneteskan air mata. [Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 5050]
Maksudnya, bahwa beliau menangis saat disebutkannya kedudukan yang agung itu pada hari Kiamat kelak, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tadi.
Artinya: Maka bagaimanakah (halnya orangorang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi dari tiaptiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu. [QS. An Nisaa: 41]
Yaitu terhadap ummat beliau. Dan sejauh yang kami ketahui, tidak ada seorang ahlul ilmi pun yang menukil dari Ibnu Masud Radhiyallahuanhu bahwa ia mengucapkan shadaqallahul azhim ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, cukup. Maksudnya, bahwa, mengakhiri bacaan Al-Quran dengan ucapan shadaqallahu azhim tidak ada asalnya dalam syariat yang suci. Tapi jika seorang melakukannya sekali-kali karena kebutuhan, maka tidak apa-apa.
[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah, Syaikh Ibnu Baz (7/329-331]
Bismillahirrahmaanirrohiim.
Ada beberapa pertanyaan yang mengganjal berkenaan dengan masalah bid’ah ini. Mudah-mudahan ust. bisa memberikan penjelasannya.
Kita melarang merayakan hari ulang tahun, maulid, hari besar keagamaan atau yang sejenisnya untuk dirayakan karena hal seperti itu tidak ada contoh dari Rasulullah saw., sebagian mengatakan hal tersebut tasabuh dengan orang kafir sehingga khawatir menjadi bid’ah.
Tetapi bagaimana dengan syukuran yang biasa kita lakukan yang berkaitan dengan pindah rumah, lulus sekolah, mau ibadah haji, dll. Semua itu hal baru yang diniatkan untuk ibadah ?
Bagaimana pula dengan kultum yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh di masjid, atau ceramah setelah shalat tarawih… atau ceramah rutin mingguan/bulanan yang dibiasakan pada hari tertentu karena alasan kesempatan, apakah semua itu juga bid’ah ?
allhamdulillah dengan adanya bacaan spt ini kita uamat muslim insya allah fikiran dan hati kita terbuka.
meningglkan Bid’ah adlh perbuatan yg sulit, karena kurangnya ilmu dan tdk mau belajar.. apa lagi dilandasi dengan perkataan “kalau ini sudah TRADISI/ADAT”
naudzu billahi bindzalik.
Kalau begitu, sepakat bahwa tidaklah setiap perkara baru itu adalah sesat. dan sesat tempatnya di neraka
Asslamualaikum..
Seorang preman yang sering mabuk, judi, zina dia tau bahwa yang dilakukannya adalah dosa besar lalu ia bertobat darinya..
Namun seorang ahlul bid’ah tidak akan pernah mengganggap yang dilakukannya adalah dosa karena dikiranya adalah amalan yang baik dan ia akan sulit bertobat darinya..
semoga kita tidak termasuk dalam golongan ini..
Wasslamualaikum..
Bagaimana dengan kajian rutin yang dilakukan pada waktu yang ditentukan dan tempat yang ditentukan dan dibiasakan, contohnya kajian setiap ahad ba’da magrib, apakah semua itu juga bidah ?
assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
ana mau nanya sama dengan pertanyaan teman2 yang diatas yang belum terjawab
1.bagaimana kajian RUTIN yang diadakan di tempat tertentu?
2.bagaimana hukum doa berjama`ah yang dipimpin seseorang, biasa dilakukan di penghujung majlis ta`lim
3. mohon disertakan dalilnya ya kalau bisa dengan bahasa aslinya (arab).
ijinkan menimba ilmu di sisni……
ijin share
maaf ,saya mau tanya bagaimana hukumnya ketika kita solat berjamaah,sedangkan yang menjadi imamnya itu tidak sesuai dengan syariat tata cara sholatnya/ bisa dikatakan masih ada bid’ah di dalam sholatnya?apakah sholat makmumnya it bisa diterima Allah sementara sholatnya si imam jelas tidak d terima karena ada bid’ah di dalam sholatnya.
Mohon penjelasannya. .trima kasih.
bagai mana dengan aya Al Quran tersebut, apa kita tidak boleh bershalawat kepada Kanjeng Nabi kita :
????? ????? ??????????????? ??????????? ????? ??????????? ????????????????????? ????????????????????????? ??????????????????????? (??????? : ??)
Artinya : Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (QS. Al Ahzab : 56)