Fatwa Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid
Pertanyaan:
Kita harus mengetahui secara mendasar bahwa tidak boleh mengkonfrontasikan antara iman kita terhadap takdir Allah dengan iman kita bahwa Allah telah memberikan kita keinginan dan kehendak yang dengan kehendak tersebut kita mampu melakukan banyak hal. Keinginan dan kehendak kita itu adalah penentu adanya kehendak seorang hamba. Allah berfirman,
لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ
“(Yaitu) bagi siapa saja di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus…” (QS. At-Takwir: 28)
Jawaban:
Keinginan dan kehendak itu, termasuk dalam kandungan kehendak Allah,
وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (QS. At-Takwir: 29)
Dengan dasar itu, tidaklah bisa mengkonfrontasikan antara takdir Allah dengan kehendak hamba, karena Allah mengesahkan keduanya. Allah mengesahkan adanya kehendak dan ikhtiar hamba, dan Allah pun menetapkan adanya kehendak-Nya yang meliputi segala sesuatu.
Kalau hal ini kita terapkan pada yang tersirat dalam pertanyaan di atas, maka kami katakan bahwa seorang hamba itu memiliki kehendak yang dengan kehendak itu ia dapat memilih orang yang disukainya untuk menikah dengannya. Segala yang terjadi berdasarkan pilihan seorang hamba, itu sudah tertulis di sisi Allah. Keinginan, kehendak, ikhtiar hamba tadi menjadi sarana terjadinya tujuan dan cita-citanya.
Dengan segala yang dimilikinya itu, seorang hamba bisa mencapai apa yang dia inginkan. Namun terkadang ada berbagai halangan yang menghalangi seorang hamba untuk mencapai keinginan dan tujuannya. Dengan itu, si hamba menyadari bahwa Allah memang belum menakdirkan baginya untuk apa yang dia inginkan karena ada satu hikmah yang diketahui oleh Allah.
Segala perbuatan Allah itu baik adanya. Sementara seorang hamba itu tidak mengetahui perihal gaib, juga tidak tahu dari segala urusan. Terkadang seorang hamba menyesali hilangnya sesuatu, padahal sesuatu itu memang lebih baik hilang. Terkadang seseorang merasa tidak senang sesuatu itu terjadi, padahal lebih baik sesuatu itu terjadi, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu; dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Semoga selawat dan salam terlimpahkan atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
***
Artikel Muslimah.or.id
Sumber: Diketik ulang dari buku “Fatwa-Fatwa Kontemporer” yang disusun oleh Syekh Shalih Al-Munajjid, hal. 79-80.