- Memulai thawaf dari sebelum Hajar Aswad, maksudnya di antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani, dan ini termasuk sikap berlebih-lebihan dalam agama yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dari beberapa segi, ini mirip seperti mendahului Ramadhan dengan satu atau dua hari; dan valid ada hadis yang melarangnya. Klaim sebagian jemaah haji bahwa ia melakukan hal tersebut sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyathi) tidak dapat diterima. Sebab kehati-hatian hakiki yang bermanfaat sebenarnya adalah mengikuti sunnah dan tidak bersikap lancang di hadapan Allah dan Rasul-Nya.
- Di saat padat mereka thawaf di bagian yang diberi atap dari Ka’bah saja, di mana mereka masuk dari pintu Hijir menuju pintu di hadapannya dan membiarkan sisi Hijir di sebelah kanannya. Ini merupakan kesalahan besar yang menyebabkan thawaf tidak sah jika melakukannya. Karena pada hakikatnya dia tidak thawaf di atas Ka’bah, melainkan thawaf di sebagiannya.
- Berjalan cepat-cepat di seluruh putaran yang tujuh.
- Berdesak-desakan untuk mencapai Hajar Aswad untuk menciumnya sehingga kadang-kadang menyebabkan terjadinya pertengkaran dan saling memaki. Lalu dari pertengkaran dan saling memaki tadi timbullah hal-hal yang seharusnya tidak layak terjadi di masjid Allah dan di bawah bayang-bayang rumah-Nya sehingga dengan demikian mengurangi nilai thawaf, bahkan manasik seluruhnya; karena firman Allah: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah [2]: 197). Desak-desakan ini dapat menghilangkan kekhusyuan dan menyebabkan lupa kepada Allah, padahal keduanya termasuk tujuan terbesar dalam thawaf.
- Keyakinan mereka bahwa Hajar Aswad bisa memberi manfaat dengan sendirinya. Oleh karena itu, Anda dapat menemukannya ketika mereka telah melambainya, mereka mengusapkan tangan mereka ke seluruh tubuh mereka atau mengusapkannya kepada anak-anak mereka yang ikut bersama mereka. Semua ini merupakan kebodohan dan kesesatan. Sebab manfaat dan mudharat itu hanya berasal dari Allah semata. Dan telah lewat ucapan Amirul Mukminin Umar, “Sungguh aku tahu bahwa kau adalah batu yang tidak dapat memudharatkan dan tidak dapat memberi manfaat. Sekiranya aku tidak melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu.”
- Sebagian jemaah haji menengadahkan tangan kepada seluruh rukun (sudut) Ka’bah dan terkadang mereka melambai seluruh dinding Ka’bah serta mengusap-usapnya. Ini juga merupakan kebodohan dan kesesatan. Sebab menengadahkan tangan itu merupakan bentuk ibadah dan pengagungan terhadap Allah ta’ala. Maka wajib menjalankannya menurut apa yang warid dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sendiri tidak menengadahkan tangan ke Baitullah selain kepada dua rukun Yamani; Hajar Aswad, yaitu rukun Yamani yang sebelah timur dari Ka’bah dan rukun Yamani yang sebelah barat. Di dalam Musnad Imam Ahmad diriwayatkan dari Mujahid ibn Abbas –radhiyall?hu ‘anhu– bahwa ia pernah thawaf bersama Mu’awiyah. Lalu Mu’awiyah pun melambai seluruh sudut Ka’bah. Maka Ibn Abbas berkata, “Kenapa kau melambai rukun ini, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melambai keduanya?” Mu’awiyah berkata, “Supaya tak ada sesuatu pun dari Baitullah ini yang tertinggal.” Lantas Ibn Abbas berkata, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21) Maka Mu’awiyah bekata, “Kau benar.”
***
Diketik ulang dari buku “Shahih Fiqih Wanita: Lengkap Membahas Masalah Wanita” karya Syaikh Muhammad Al-Utsaimin
Artikel: muslimah.or.id