Kondisi seseorang berubah-ubah, adakalanya dia memperoleh kenikmatan duniawi yang melimpah, namun terkadang diterpa kemiskinan dan kepapaan, didera sakit, didekati usia senja dan dibuat tak berdaya di masa tuanya.
Kondisi sakit dapat mengubah perangai seseorang dari sikap bijak menjadi tak sanggup menahan kesusahan. Demikian juga dengan usia senja, dapat melemahkan mentalnya sebagaimana fisiknya yang semakin melemah. Begitu pula dengan kenikmatan berupa kekuasaan, yang mengubahnya menjadi lebih sering mengabaikan sahabat-sahabatnya. Sama juga dengan popularitas, terkadang menjadikan manusia bersikap angkuh.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika seorang telah memiliki mentalitas dan kemuliaan yang tinggi, berusaha memantapkan hatinya untuk bersikap sederhana dalam keadaan senang maupun susah. Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah mengatakan: “Disebutkan dalam kitab Kaliilah wa Dimnah: ‘Orang yang bijak tidak menjadi sombong karena kedudukan dan kebesaran, bagaikan gunung yang diterpa angin kencang yang dahsyat. Sedangkan orang yang dungu menjadi sombong karena kedudukan yang paling rendah sekalipun, bagaikan rumput yang bergoyang meski hanya dihempus angin sepoi-sepoi’.
Seorang teladan dari kalangan bangsawan yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Diceritakan bahwa ketika menjabat sebagai khalifah, suatu hari beliau pergi menuju masjid pada waktu sahur dengan ditemani pengawal. Beliau melintasi seorang laki-laki yang sedang tidur di jalanan. Tanpa sengaja kaki beliau menyandung tubuh laki-laki tersebut sehingga secara spontan dia berseru “Kamu ini gila ya?”. Lantas beliau menjawab “Tidak”. Melihat kejadian itu, pengawal beliau ingin sekali menghajar laki-laki itu, namun khalifah segera berseru “Bersabarlah! Orang itu hanya bertanya kepadaku ‘kamu ini gila ya?’ dan sudah aku jawab ‘tidak’”.
Beliau seorang bangsawan, seorang pemimpin yang layak mendapatkan penghormatan, sanjungan, dan kemuliaan. Sedangkan perkataan yang seperti itu adalah bentuk perendahan yang sungguh tidak layak. Namun dengan kedudukannya, beliau lantas tak menjadi angkuh. Perkataan yang demikian itu beliau jawab dengan respon tanpa berlebihan.
Teladan lain, apabila kita menginginkan contoh yang paling mengesankan tentang sikap kesederhanaan pada saat senang maupun susah, maka telusurilah perjalanan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tak pernah berpaling dari sikap zuhud terhadap dunia, walaupun seujung jari.
Begitu juga dengan kecekatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di jalan dakwah. Beliau terus menerus menyeru manusia ke jalan petunjuk dan agama yang benar sehingga mengalami berbagai gangguan dari kelompok yang berbuat aniaya, namun beliau tidak membalas dan malah memaafkannya.
Maka benarlah perkataan Ibnul Jauzi rahimahullah yang menyatakan, “Siapa saja yang memperhatikan lautan dunia dan mengetahui kiat menghadapi gelombangnya serta menyadari cara bersabar dalam mempertahankan hidup, niscaya dia tidak akan berkeluh kesah tatkala musibah menerpanya dan tidak pula terlalu gembira ketika nikmat menyapanya”.
Dari dua teladan tersebut, marilah kita memandang diri kita. Apa jabatan kita jika dibandingkan dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan apa kedudukan kita dibanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Pantaskah kita ketika dicela membalas dengan perkataan hina? Dan pantaskah kita ketika diperlakukan dengan kasar membalasnya dengan amarah? Tidak. Tidaklah pantas wahai saudariku.
Sikapilah segalanya dengan bijak. Sebagaimana sebuah hadits yang agung telah menyebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
??????? ???????? ??????????? ???? ???????? ??????? ???? ?????? ???????? ?????? ???????? ?????? ????????????? ???? ??????????? ???????? ?????? ??????? ??????? ????? ?????? ??????????? ???????? ?????? ??????? ??????? ????
Artinya, “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Segala keadaan yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila mengalami kebaikan dia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa keburukan maka dia bersabar, dan hal itu merupakan kebaikan bagi dirinya.” (HR.Muslim).
——
Dikutip dari Buku Mental Juara, 50 Faktor Pendukung Mentalitas Muslim Juara. (terjemah kitab Al Himmah Al ‘Aliyah) Karya Dr. Muhammad bin Ibrahim al Hamad. Penerbit Pustaka Imam Asy Syafii, Jakarta
Artikel www.muslimah.or.id