Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Di bagian pertama kita membaca,
اللَّهُمَّ إِني أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِـمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَـتِكَ
“Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, aku berlindung dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu.”
Dalam doa ini kita melakukan tawassul. Dan inilah salah satu tawassul yang disyariatkan. Tawassul dengan menyebut sifat Allah, sebagai pengantar doa yang kita pinta.
Pertama, ketika kita membaca,
اللَّهُمَّ إِني أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ
“Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu”
Kita bertawassul dengan ridha Allah, agar Dia melindungi kita dari murka-Nya. Dan ridha adalah lawan dari murka. Sehingga kita berlindung dari sesuatu dengan lawannya. Kita menjadikan ridha sebagai wasilah untuk membebaskan diri dari murka.
Kedua, kemudian kita membaca,
وَبِـمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَـتِكَ
“Aku berlindung dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu.”
Di situ ada kata Mu’afah [مُعَافَات], dari kata ‘aafa – yu’aafi [عَافَى – يُعَافِي] yang artinya menjaga dan menyelamatkan dari segala bahaya. Ketika Allah memberikan ‘Afiyah kepada kita, berarti Allah menjaga kita dan menyelamatkan kita dari segala bencana, baik dalam urusan agama maupun bencana dunia.
Bencana dalam masalah agama berarti kesesatan. Yang itu menjadi penyebab, manusia bisa celaka di akhirat.
Lawan dari Mu’afah adalah Uqubah (hukuman). Hukuman Allah berikan, karena hamba melakukan dosa.
Dalam kalimat ini, kita berlindung dengan mu’afah Allah agar terhindar dari hukuman Allah. Artinya, kita berlindung dari dampak buruk dosa, sampai Allah memaafkan kita. Dan ada dua cara, seorang hamba mendapat ampunan Allah,
Pertama, Allah ampuni secara langsung. Allah maafkan, dan dosanya tidak dihitung.
Kedua, Allah berikan kita hidayah untuk bertaubat atau beramal. Kita diberi hidayah untuk mencari sebab ampunan dosa.
Ketiga, kita membaca,
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ
Kalimat ini jika kita terjemahkan seperti tertera di teks berarti, “Aku berlindung kepada-Mu dari-Mu.”
Tapi kita bisa menambahkan di situ, kata yang diprediksikan. Kita tambahkan jadi:
“Aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu.”
Allah Dzat Yang Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Kuasa. Apa yang bisa kita bayangkan, ketika Allah murka kepada salah satu makhluk-Nya? Kepada siapa dia bisa berlindung? Apa ada yang bisa dimintai tolong untuk menghindari murka Allah?
Jawabannya, Jelas tidak ada makhluk yang mampu melindungi! Tidak mungkin kita berlindung dari murka Allah, kecuali kepada Allah. Hanya Dia yang bisa melindungi kita dari hukuman-Nya.
Dalam kalimat ini, benar-benar menunjukkan puncak kepasrahan kita di hadapan Allah.
Bayangkan di saat kita berada di hadapan Allah. Tidak ada yang bisa kita andalkan ketika kita menghadap Allah. Tidak ada yang bisa dijadikan pembela ketika berhadapan dengan Allah. Selain kita bersimpuh, memohon perlindungan kepada-Nya, Dzat Yang Maha Pemurah. Innahu arhamur rahimiin..
Keempat, selanjutnya, kita menunjukkan keterbatasan kita,
لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Aku tidak bisa menyebut semua pujian untuk-Mu, sebagaimana Engkau memuji diri-Mu sendiri.”
Di saat kita telah mengakui segala kelemahan kita dengan berlindung kepada-Nya, ternyata kita sendiri tidak bisa menunaikan kewajiban kita kepada Allah sebagaimana mestinya. Termasuk dalam hal memuji Allah. Kita menyatakan, betapa keterbatasan kita dalam melakukannya.
Di sana ada kata tsana’ [ثَنَاء], artinya mengulang-ulang pujian.
Kita menyatakan, bahwa kita tidak mampu memuji Allah dengan sebenar-benarnya. Dan tidak mungkin kita mampu melakukannya. Karena ada banyak sekali sifat-sifat baik Allah dan nama-nama-Nya yang tidak kita ketahui.
Perbuatan Allah tidak ada batasnya. Sementara semua perbuatan Allah adalah sempurna.
Firman Allah tidak ada batasnya, dan semua firman Allah itu sempurna.
Kebaikan Allah kepada makhluk-Nya tidak ada batasnya. Dan semua itu sempurna.
Di sini, kita mengikrarkan kesempurnaan semua sifat-sifat Allah.
(Disadur dari as-Syarh al-Mumthi, Imam Ibnu Utsaimin, jilid 4, hlm. 36 – 37.)
Allahu akbar…
Ternyata ada makna yang luar biasa dibalik doa yang kita baca. Meskipun kita sering melalaikannya. Hanya kita baca di lisan, tanpa perenungan.
Allahu a’lam
——-
Penulis: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel www.muslimah.or.id