Problematika pasti pernah hinggap dalam kehidupan berumah tangga. Tiap pasangan pun memiliki cara sendiri-sendiri dalam menghadapi dan menyelesaikannya. Nah, sayangnya… ada tipe pribadi tertentu yang memang tidak menyukai konfrontasi dan pada dasarnya menyukai ketenangan atau kedamaian, cenderung melarikan diri atau membiarkan suatu masalah “hilang dengan sendirinya tertelan waktu“. Banyak kita dapatkan orang dengan berkepribadian seperti ini, jika diajak berdiskusi membicarakan solusi sebuah masalah, dia malah tidak mau berlama-lama dan menghindar seraya beranggapan “Sudahlah…lupakan saja…”. Ada masalah yang tidak bermasalah jika diterapkan prinsip “Sudahlah.. lupakan saja“, namun banyak pula masalah krusial yang tidak mempan disikapi seperti ini. Justru sikap menimbun masalah tanpa solusi pemecah persoalan seperti ini malah menimbulkan ledakan bom masalah yang dahsyat di kemudian hari.
Pentingnya komunikasi efektif
Komunikasi yang terjalin secara efektif antara pasutri merupakan satu langkah jitu yang bisa diambil sebagai sarana awal pemecahan masalah In syaa Allaah. Secara global, langkah-langkah yang bisa ditempuh adalah:
- Ikhlaskan niat memperbaiki dan mencari solusi hanya karena Allah. Duduklah pasutri bersama-sama dengan tenang, kepala dingin, pengendalian diri dan hati yang menginginkan pemecahan masalah. Kalau di awal saja memang tidak ada niatan untuk melakukan perbaikan dan mencari solusi, bagaimana mungkin seseorang itu sudi duduk meluangkan waktu dan berbicara dari hati ke hati?
- Pilihlah waktu dan kondisi yang tepat untuk membicarakannya.
- Sikapilah perbedaan pendapat dengan bijaksana. Kita tidak perlu memaksakan pendapat dan ingin memenangkan pendapat sendiri. Pahami dan hargailah keinginan pasangan meskipun berbeda dengan keinginan kita.
- Kendalikan emosi ketika terjadi perbedaan pendapat. Hendaknya kedua belah pihak selalu mengedepankan menggunakan bahasa yang santun, halus dan lembut dalam berdiskusi.
- Hindarilah sikap “sok tahu”.
- Jadilah pendengar yang “budiman”. Tidak hanya mau didengar saja kata-katanya, namun juga mau mendengar perkataan orang lain dengan seksama dan sabar. Jikalau masalah itu berkaitan dengan kemauan individual, pertimbangkanlah kompromi kemauan kedua belah pihak, meskipun bisa jadi pada akhirnya nanti kemauan masing-masing pihak tidak dapat terpenjuhi seluruhnya “Apa maumu? Ini mauku…mari kita sama-sama mencari jalan tengah dan win-win solution. Kita kompromikan saja kemauan kita jika memang itu masih bisa dilakukan”.
Satu hal yang harus diingat mengenai kompromi: kompromi terkadang mengharuskan lahirnya sikap “pengorbanan”. - Menjaga komitmen dalam menaati kesepakatan yang telah dibuat, tidak lalu bersikap seenak sendiri
—
Penulis: Ummu Yazid Fatihdaya Khoirani
Artikel Muslim.or.id
Wa’alaikumussalaam warahmatullaah…
1. Baik jika ukhti dan suami duduk bersama membahas persoalan tersebut dengan mengharap ridha Allaah; kepala dingin; benar-benar ingin mencari solusi bukan hanya mementingkan kemauan dan ego sendiri. Jika tetap berkepala dingin sulit dilakukan, datangkan mediator sebagai penasihat (orang yang berilmu, akhlaknya baik, bijaksana, solutif dan adil).
2. Pendapatan itu dirasa “kurang” atas pandangan obyektif atau subyektif? Terkadang seseorang berkata kehidupannya sulit dan kurang padahal bagi orang lain kehidupannya pas-pasan atau bahkan lebih. Kalaupun ternyata suami bersikeras agar ukhti ikut, maka : istri adalah pendamping dan pendukung suami, dalam kondisi apapun. Berusahalah untuk mencari ridha suami dengan segenap usaha yang kita punyai dengan membersamainya. Banyak kebaikan yang dapat diperoleh ketika istri mendampingi dan setia terhadap suami dalam suka dan dukanya, kecuali di sana ada mashlahat besar atau bahkan darurat ketika suami istri harus tinggal berjauhan.
Kekayaan yang hakiki adalah kaya hati…maka hiasi jiwa ini dengan permata bernama qana’ah dan syukur. Untuk urusan materi, lihatlah orang yang berada di bawah kita dan bukan yang berada di atas, karena dengan itu kita bisa merasakan syukur dan qana’ah atas nikmat yang telah Allaah karuniakan bagi kita….sehingga tidak akan tampak bahwa rumput di pekarangan tetangga jauh lebih hijau daripada di halaman kita.
3. Yang harus ukhti lakukan:
– Meski ukhti tidak menyukai pernyataan tersebut,ukhti harus tetap menghormati Beliau. Sampaikan dengan baik dan lembut bagaimana kebenaran dalam timbangan syariat bahwa badan kita punya hak atas diri kita, anak punya hak atas diri kita, suami punya hak atas diri kita…sehingga ada hak atas diri kita dan juga milik mereka yang harus kita tunaikan. Anak juga amanah bagi orangtuanya, dan kelak orangtua akan dimintai pertanggung jawaban atasnya.
– Bersabar atas perilaku mertua, pergaulilah Beliau dengan baik; santun; lembut meski terkadang Beliau menyakiti hati ukhti. Jangan balas perbuatan Beliau yang tidak baik dengan kejahatan. Perbanyaklah doa bagi Beliau agar Allaah melembutkan hati Beliau; memperbagus akhlak Beliau. Terkadang, cuek terhadap perkataan orang itu baik…seperti halnya yang terjadi pada diri ukhti, jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati perkataan beliau sehubungan dengan berat badan ukhti.
4. Tanyakan kepada Beliau, apa alasannya begitu menginginkan anak lelaki? Dalam sebagian hal, memiliki anak lelaki memang alhamdulillaah memberi keuntungan (contohnya, bisa jadi mahram). Begitujuga memiliki anak perempuan, di beberapa sisi sangat menguntungkan. Akan tetapi, terlepas dari itu semua…memiliki anak perempuan dan lelaki sama saja bernilai ibadah jika kita ikhlas membesarkan; mengasuh; mendidik mereka dalam naungan syariat, dan semua itu adalah amanah. Dan lagi,terkait dengan menikah lagi…ada kewajiban dan hak yang harus ditunaikan oleh sang suami. Apakah suami yang nota benenya adalah anak lelaki mereka itu sudah mampu berbuat adil? Maka, beritahukan kepada mereka agar bersyukur atas segala yang Allaah berikan kepada kita. Allaah yang Maha Mengetahui apa saja yang terbaik bagi kita meski yang tampak di mata kita adalah hal tersebut tidak/kurang kita sukai.
5. Sampaikan unek-unek yang ukhti miliki dengan cara yang baik, dalam waktu dan kondisi yang tepat…karena jika misalkan ukhti keliru menyampaikannya atau menyampaikan dalam kondisi yang kurang tepat (misalkan suami sedang lelah, atau sedang banyak kerjaan) sehingga ukhti tampak mencecar, menjelek-jelekkan, menjatuhkan wanita yang telah membesarkan Beliau, ego “keanakannya” mungkin akan tersakiti karena perkataan ukhti tersebut. Tidak heran kalau akhirnya dia malah membela ibunya daripada mendengarkan perkataan ukhti.
Penting bagi seorang istri untuk menyelami kepribadian suaminya, sehingga dia bisa lebih mampu menempatkan diri dalam bersikap. Contoh: Jika suami punya sifat sensitif, maka ukhti harus benar-benar memperhatikan diksi (pilihan kata) dalam menyampaikan ganjalan perasaan yang ukhti miliki agar dia tidak tersinggung dan perasaannya tetap terjaga.