Pekan Kondom Nasional (PKN) yang menurut jadwal diselenggarakan pada tanggal 1 – 7 Desember 2013 menuai kontroversi dari kalangan masyarakat, sebagaimana yang tergambar lewat berita dan media sosial. Perasaan yang mendominasi adalah panik dan marah. Bukan tanpa sebab jika masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa dan orang tua, menentang pelaksanaan PKN. Tempat pelaksanaan PKN, ketidakjelasan, dan kurangnya informasi tentang PKN menjadi beberapa penyebabnya.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi terkait PKN, peran dan posisi PKN dalam mencegah penularan HIV, serta konsekuensi yang bisa ditimbulkan dari kegiatan tersebut.
Apa itu PKN?
Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang PKN, ada baiknya masyarakat terlebih dahulu mengetahui asal-usul dan tujuan PKN (video penjelasan tentang PKN oleh Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, bisa dilihat pada tautan berikut: http://www.youtube.com/watch?v=rkzEymXjQbI&feature=youtu.be).
Berdasarkan penjelasan Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, PKN sudah dilaksanakan setiap tahun sejak tahun 2009. PKN diselenggarakan oleh Distributor Kondom (DKT) Indonesia bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) – di mana dahulu Nafsiah Mboi menjadi Sekretaris sekaligus Ketua Tim Pelaksana. Hasil estimasi tim KPAN menyebutkan bahwa enam sampai tujuh juta laki-laki (suami) Indonesia (dengan sengaja) “membeli” seks di tempat pelacuran sehingga infeksi HIV semakin meningkat di kalangan laki-laki. Hal ini menyebabkan peningkatan penularan kepada ibu rumah tangga (istri) dan bayi – yang dalam kasus ini bisa disebut sebagai pihak “tidak bersalah”[1].
Berangkat dari fenomena inilah akhirnya PKN dicetuskan. Tujuan utama penyelenggaraan PKN adalah mencegah penularan HIV dari individu dengan perilaku seks berisiko di tempat-tempat seks berisiko, seperti: tempat pelacuran, terminal, atau tempat hiburan. Kegiatannya adalah mendatangi tempat-tempat seks berisiko untuk memberikan edukasi dan membagi-bagikan kondom. Dari pernyataan inilah dapat diketahui dengan jelas siapa target PKN dan di mana seharusnya PKN dilaksanakan.
Pencegahan penularan HIV melalui PKN
Perlu digarisbawahi bahwa setiap program yang bertujuan “mencegah”, seperti PKN, harus memegang teguh prinsip target: target individu (siapa), target tempat (di mana), dan target metode (pemilihan cara pencegahan yang tepat dan efektif sesuai dengan target individu/tempat). [2]
Dalam konteks perilaku seks, target individu dalam pencegahan penularan HIV bisa terbagi menjadi dua, yaitu individu dengan perilaku seks berisiko dan individu dengan perilaku seks tanpa risiko. Secara garis besar, cara pencegahan penularan HIV melalui aktivitas seks – seperti yang disarankan oleh pakar HIV dunia – terdiri dari tiga cara: Abstinence, Be Faithful otherwise use Condom (disingkat “ABC”) [1]:
- A (Abstinence) : Tidak melakukan seks sebelum menikah.
- B (Be faithful) : Ketika sudah menikah setialah pada pasangan (tidak melakukan seks bebas).
- C (Condom) : Jika tidak bisa menjalani A dan B – alias “tidak kuat imannya”, seperti yang dikutip dari kata-kata Menteri Kesehatan dalam video sebelumnya – maka gunakanlah kondom.
Merujuk kepada penjelasan lebih lanjut tentang pencegahan penularan HIV melalui metode ABC, maka ketika ditelaah lebih lanjut bisa dikatakan bahwa ketiga cara tersebut tersusun berdasarkan urutan prioritas. Posisi kondom terletak pada urutan terakhir dan ditujukan hanya untuk populasi tertentu: individu dengan perilaku seks berisiko.
Konsekuensi PKN
1. Kesalahan persepsi
Di lapangan, pada kenyataannya (terlepas dari kesalahan koordinasi atau hal lain) pelaksanaan PKN melenceng dari target individu dan tempat: menyebarkan kondom di area kampus atau di tempat umum; bukan di area risiko tinggi-penularan. Ditambah lagi dengan informasi terkait PKN yang simpang siur dan mendapat “bumbu” kata-kata “silakan dicoba dengan pacarnya” dari individu/oknum yang menyebarkan kondom. Hal ini menyebabkan kesalahan dalam interpretasi PKN di kalangan generasi muda terutama remaja usia-sekolah. Perlu diingat bahwa generasi muda belum memiliki penyaring yang efektif dan tepat dalam memproses informasi.
Mereka bisa saja berpikir, “Tidak mengapa melakukan seks asal pakai kondom.”
Ingat! Yang salah sejak awal adalah perilaku seks berisiko; bukan memakai atau tidak memakai kondom.
Penafsiran seperti ini bisa membentuk kerangka berpikir yang salah di kalangan generasi muda. Apakah memang pesan ini yang ingin disampaikan oleh PKN?
2. Meningkatnya perilaku berisiko
Berdasarkan hasil evaluasi program pencegahan penularan HIV dari negara-negara lain, disebutkan bahwa jika metode atau program untuk menurunkan risiko penularan HIV yang disebabkan oleh perilaku seks berisiko seperti PKN dianggap berhasil maka hal ini justru dapat dikompensasi dengan peningkatan perilaku seks berisiko [4]. Dengan kata lain, jika program ini berhasil menekan angka penularan HIV maka individu dengan perilaku berisiko semakin bermunculan, semakin menjadi, dan sebagainya. Oleh karena itu, program yang bertujuan mengubah perilaku seks berisiko harus tetap menjadi pondasi untuk mencegah penularan HIV; pusat dari segala permasalahan ini adalah perilaku seks berisiko.
Apa yang bisa dilakukan?
Perkuat sosialisasi A (Abstinence) dan B (Be faithfull) sebagai cara pencegahan penularan HIV, baik terhadap individu dengan perilaku seks berisiko maupun tidak. Sosialisasi ini bisa dilakukan melalui pendidikan dan pemahaman keagamaan sejak usia dini, utamanya, dan pendidikan kesehatan. Di sinilah letak peran penting orang tua atau orang terdekat untuk mengontrol, mengarahkan, atau mendukung perubahan perilaku berisiko.
Adapun untuk individu dengan perilaku seks berisiko, selain tetap melakukan penguatan A dan B, terdapat tambahan perlakuan khusus agar bisa mengubah perilaku. Para ahli merekomendasikan beberapa prinsip yang bisa dilakukan agar intervensi untuk merubah perilaku bisa efektif [4].
Yang perlu digarisbawahi terkait prinsip ini adalah bahwa (1) mengubah perilaku itu sangat sulit sehingga membutuhkan waktu. Selanjutnya, prinsip ini mengatakan bahwa (2) partisipasi dari pihak-pihak yang terkait mutlak diperlukan (perlu kontrol dari sistem/lingkungan sekitar untuk mengubah perilaku). Selain itu, dalam konteks mengubah perilaku seks berisiko, (3) hendaknya intervensi yang dipilih – sebagai usaha untuk mengubah perilaku – bukan intervensi yang “terkesan” memfasilitasi, dalam hal ini dengan menyebar kondom; kegiatan PKN identik dengan penyebaran kondom. Sebagai tambahan, perlu diterapkan “efek jera”, yang tentu saja disesuaikan dengan target perilaku yang ingin diubah. [4]
Ke depan, jika pendidikan dan pemahaman keagamaan berhasil secara tepat dan benar, pemerintah tidak perlu khawatir lagi untuk menciptakan program pencegahan penularan HIV yang muncul akibat segala jenis “perilaku berisiko”.
Bukan rahasia lagi, iman merupakan benteng sekaligus pondasi untuk mengatasi segala jenis permasalahan perilaku, termasuk akar dari permasalahan penularan HIV ini yaitu perilaku seks berisiko.
Daftar Referensi:
- Mboi, N. 2013. Memutus Rantai Penularan HIV/AIDS. Video file: http://www.youtube.com/watch?v=rkzEymXjQbI&feature=youtu.be diakses pada tanggal 3 Desember 2013.
- Aggleton, P., Chase, E. and Rivers. 2004. HIV/AIDS Prevention and Care Among Especially Vulnerable Young People: A Framework for Action. Thomas Coram Research Unit, University of London (published paper), tersedia online di http://www.safepassages.soton.ac.uk/pdfs/evypframework.pdf.
- Cassell, M.M., Halperin, D.T., Shelton, J.D. and Stanton, D. 2006. Risk Compensation: The Achilles’ Heel of Innovations in HIV Prevention? British Medical Journal, 332, 605–607.
- National Institute for Health and Care Excellence. 2007. Behaviour Change: The Principles for Effective Interventions. NICE Public Health Guidance, tersedia online di http://www.nice.org.uk/ph6.
—
Penulis:
Ns. Arcellia Farosyah, S.Kep., Msc.
Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia.