Nikmat membaca dan menulis tidaklah berbeda dari nikmat-nikmat fisik lainnya, seperti nikmat melihat, mendengar, dan berbicara. Allah Ta‘ala telah menyebutkan nikmat ini dalam firman-Nya,
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan pena.” (QS. Al-‘Alaq: 1–4)
Nikmat ini tidak dikhususkan bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan, karena mereka memiliki hak yang sama untuk mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, sebagaimana halnya kaum laki-laki. Tidak ada perbedaan di antara keduanya dalam hukum dan perolehan nikmat tersebut, kecuali berdasarkan dalil.
Disyariatkannya perempuan untuk belajar membaca dan menulis, yaitu belajar atau menuntut ilmu, juga diperkuat oleh hadis tentang Asy-Syifā’ binti ‘Abdillah radhiyallahu ‘anha. Ada seorang laki-laki Anshar datang kepadanya karena sakit (gigitan serangga), lalu meminta agar ia meruqyahnya. Asy-Syifā’ berkata,
وَاللهِ مَا رَقَيْتُ مُنْذُ أَسْلَمْتُ
“Demi Allah, aku tidak meruqyah sejak aku masuk Islam.”
Laki-laki itu pun pergi menemui Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu. Maka Rasulullah ﷺ memanggil Asy-Syifā’ dan bersabda, “Tunjukkanlah ruqyah itu kepadaku.” Setelah ia menunjukkannya, beliau bersabda,
ارْقِيهِ، وَعَلِّمِيهَا حَفْصَةَ كَمَا عَلَّمْتِيهَا الكِتَابَ
“Ruqyahlah dia, dan ajarkanlah (ruqyah itu) kepada Hafshah sebagaimana engkau telah mengajarinya menulis.” (HR. Hakim no. 6777, dan disahihkan oleh Al-Albani di dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 178)
Maka, syariat membolehkan perempuan menuntut ilmu dan mengambil manfaat dari pendidikan, tanpa batas usia tertentu.
Namun, di antara perkara yang menimpa kaum Muslimin di zaman ini adalah maraknya campur-baur (ikhtilāṭ) antara laki-laki dan perempuan di universitas, sekolah, rumah sakit, dan sebagian besar fasilitas umum serta pekerjaan pemerintah. Semua ini adalah kemungkaran yang telah meluas. Hal itu datang kepada kita dari orang-orang lemah iman yang terpesona ingin meniru orang-orang non-Muslim, lalu mengambil segala yang ada pada mereka tanpa memilah mana yang sesuai dan mana yang bertentangan dengan syariat. Akibatnya, mereka meniru akhlak buruk kaum non-Muslim, menyalahi firman Allah Ta‘ala yang ditujukan kepada para wanita mukmin,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33)
Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah memerintahkan dalam kitab-Nya agar menjaga pandangan dan kemaluan dari hal-hal yang haram, sebagaimana firman-Nya,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman agar mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.” (QS. An-Nur: 30–31)
Maka tersebarlah bentuk-bentuk tabarruj (berhias secara berlebihan) dan ikhtilāṭ (percampuran antara laki-laki dan perempuan) dengan alasan pendidikan. Sehingga jelaslah haramnya ikhtilāṭ dan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya, serta bahwa seorang Muslim wajib menjauhi belajar atau bekerja di tempat yang bercampur antara laki-laki dan perempuan.
Namun demikian, di negara-negara yang penduduknya diuji dengan meluasnya ikhtilāṭ di hampir seluruh bidang kehidupan, terutama lembaga pendidikan, hingga menjadi sangat sulit bagi seorang Muslim maupun Muslimah untuk menghindarinya, maka diperbolehkan bagi mereka sesuatu yang tidak diperbolehkan bagi selain mereka, yaitu mereka yang Allah selamatkan dari keadaan tersebut.
Keringanan (rukhshah) ini didasarkan pada kaidah fikih yang berbunyi,
ما حرم سداً للذريعة يباح للحاجة والمصلحة الراجحة
“Sesuatu yang diharamkan karena menutup jalan (sadd adz-dzari‘ah), boleh dilakukan apabila ada kebutuhan dan kemaslahatan yang kuat.”
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
والشريعة جميعها مبنية على أن المفسدة المقتضية للتحريم ، إذا عارضتها حاجة راجحة أُبيح المحرَّم
“Seluruh syariat dibangun atas prinsip bahwa apabila suatu mafsadah (kerusakan) yang menyebabkan keharaman itu dihadapkan dengan kebutuhan yang kuat, maka perkara yang haram itu menjadi boleh.” (Majmū‘ al-Fatāwā, 29: 49)
Beliau juga berkata,
ما كان من باب سد الذريعة إنما يُنهى عنه إذا لم يُحتج إليه ، وأما مع الحاجة للمصلحة التي لا تحصل إلا به فلا ينهى عنه
“Sesuatu yang termasuk dalam kategori menutup jalan menuju keburukan (sadd adz-dzari‘ah) hanya dilarang apabila tidak dibutuhkan, namun apabila terdapat kebutuhan untuk kemaslahatan yang tidak bisa diperoleh kecuali dengannya, maka hal itu tidak dilarang.” (Majmū‘ al-Fatāwā, 23: 214)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesuatu yang diharamkan karena menutup jalan menuju keburukan boleh dilakukan demi kemaslahatan yang lebih besar, sebagaimana diperbolehkannya jual beli ‘arāyā (yang secara asal termasuk riba al-faḍl), dan salat dengan sebab tertentu setelah Subuh dan Ashar, serta bolehnya memandang bagi calon suami, saksi, dokter, dan pedagang, padahal asalnya memandang itu terlarang. Demikian juga diharamkannya emas dan sutra bagi laki-laki adalah untuk menutup jalan tasyabbuh (penyerupaan) dengan wanita, namun diperbolehkan sebatas kebutuhan.” (I‘lām al-Muwaqqi‘īn, 2: 161)
Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
وما كان تحريمه تحريم وسيلة فإنه يجوز عند الحاجة
“Segala sesuatu yang diharamkan karena menjadi sarana (wasilah) menuju keharaman, maka boleh dilakukan ketika ada kebutuhan.” (Manzhūmah Uṣūl al-Fiqh, hal. 67)
Dan juga perlu diingat bahwa kaum Muslimin -begitu juga Muslimah- sangat membutuhkan ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu duniawi, dan realitas saat ini menjadi bukti akan pentingnya hal tersebut.
Maka bagi siapa saja yang terpaksa belajar di tempat campur-baur karena kebutuhan dan darurat, wajib baginya:
Pertama: Berusaha mencari tempat yang tidak ada ikhtilāṭ sejauh kemampuan, sebagai langkah pertama.
Kedua: Berkomitmen terhadap adab dan hukum syariat, seperti:
- Menjaga diri,
- Memakai pakaian syar‘idan tidak memakai wewangian,
- Menundukkan pandangan,
- Tidak berbicara dengan lawan jenis kecuali sebatas keperluan,
- Tidak bersikap lembut atau santai dalam percakapan,
- Menjauhi pergaulan dan tempat campur sebisa mungkin,
- Berusaha mengurangi kemungkaran sebisa mungkin,
- Dan memilih teman yang salehah yang bisa membantunya menjaga pandangan dan kehormatan.
Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang seorang pemuda yang tidak menemukan sekolah kecuali yang bercampur (antara laki-laki dan perempuan). Beliau rahimahullah menjawab,
“Wajib bagimu berusaha mencari sekolah yang tidak seperti itu. Jika tidak ada pilihan lain dan kamu membutuhkan untuk belajar, maka belajarlah, namun usahakan sejauh mungkin untuk menjauh dari fitnah dan perbuatan maksiat, dengan menundukkan pandangan, menjaga lisan, tidak berbicara dengan wanita, dan tidak mendekati mereka.” (Fatāwā Nūr ‘alā ad-Darb, 1: 103 dan 13: 127)
Ketiga: Apabila seseorang merasakan dirinya mulai tergoda atau terjerumus ke dalam hal-hal yang haram karena lingkungan tersebut, maka keselamatan agama harus diutamakan di atas semua kepentingan dunia, dan ia wajib meninggalkan tempat itu, serta Allah akan mencukupinya dengan karunia dan rezeki-Nya.
Wallahu Ta’ala a’lam.
Baca juga: Belajarlah Sebelum Datangnya Berbagai Tanggung Jawab
***
Penyusun: Junaidi Abu Isa
Artikel Muslimah.or.id



