Orang yang sudah punya jabatan, terkadang segan untuk belajar, karena ia merasa bahwa ketika belajar, dia akan berkumpul bersama orang-orang yang pemula. Dia merasa malu untuk dianggap pemula juga, padahal memang begitu kenyataannya. Dia merasa malu untuk dianggap orang yang tidak tahu, padahal memang begitu kenyataannya.
Belajarlah sebelum menjadi pemimpin
Sebelum terjadi hal yang demikian, selayaknya kita mengerahkan segala kemampuan kita untuk mendapatkan ilmu di masa-masa luang kita. Karena di dalamnya terdapat semangat, kuatnya badan, tajamnya pikiran, dan sedikitnya kesibukan sebelum berbagai tanggung jawab menghampiri dan tingginya kedudukan di masyarakat. Amirul mukminin, ‘Umar bin Al-Khattab radhiallahu ‘anhu mengatakan,
تفقهوا قبل أن تسودوا
“Belajarlah (fikih) sebelum kalian menjadi pemimpin.”
Makna dari perkataan ini adalah, bersungguh-sungguhlah dalam mengerahkan segala kemampuan sebelum engkau menjadi orang yang dihormati. Karena ketika engkau sudah terlanjur menjadi orang yang dihormati banyak orang, engkau akan segan untuk belajar disebabkan tingginya kedudukanmu di masyarakat, dan banyaknya kesibukanmu.
Inilah makna dari perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
تفقه قبل أن ترأس، فإذا رأست فلا سبيل إلى التفقه
“Belajarlah sebelum engkau menjadi pemimpin. Jika engkau sudah menjadi pemimpin, maka tidak ada jalan untuk belajar.”
Jika sudah menjadi pemimpin, tetap harus belajar
Al-Kusymaihani di dalam riwayatnya mengatakan, Abu Abdillah (maksudnya Al-Bukhari) menambahkan,
وبعد أن تُسَوَّدوا
“Dan (juga) setelah menjadi pemimpin.”
Al-Bukhari rahimahullah menambahkan ini untuk menjelaskan hal tersebut agar tidak disalahpahami bahwasanya kepemimpinan dan tanggung jawab akan menghalangi seseorang dari belajar. Namun, maksud Umar radhiallahu ‘anhu adalah kepemimpinan bisa menjadi penghalang, karena kepemimpinan atau jabatan akan membuahkan sifat angkuh dan segan yang akan menghalangi seseorang bermajelis bersama orang-orang yang mau belajar.
Kesombongan dan keangkuhan rawan timbul ketika mempunyai jabatan dan kepemimpinan
Dia malu untuk belajar, padahal Mujahid rahimahullah mengatakan tentang mengapa orang tidak mau belajar, yaitu adalah rasa malu dan rasa sombong.
لا يتعلم العلم مستحيي ولا مستكبر
“Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mau belajar.”
Orang yang malu, tidak bisa mendapatkan ilmu, karena dia malu ketika bertanya, dan juga malu ketika belajar. Dan orang yang sombong pun bahkan tidak tertarik dengan ilmu, apalagi ingin mendapatkannya. Banyak orang malu mengatakan, “Aku takut bertanya tentang masalah ini.” Atau orang yang sombong berkata, “Ini perkara yang mudah, aku tidak perlu bertanya tentang ini.” Namun ternyata, apa yang ia sangka ia tahu, salah. Orang yang sombong, tidak akan mencari dan mendapatkan sesuatu yang dia anggap remeh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, apa hakikat sombong itu. Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الكِبْر: بطر الحق، وغَمْط الناس
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)
Ya, dia menolak kebenaran, karena ketika dia salah, dia lah yang merasa benar. Karena apa? Karena jabatannya yang tinggi, karena dia sudah banyak dihormati orang lain, sudah banyak yang mengenalnya, maka dia tidak mau untuk menerima kesalahan karena itu akan menurunkan harga dirinya. Padahal tidak demikian.
Mengakui ketidaktahuan diri, adalah setengah dari ilmu. Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, Abu Darda radhiallahu ‘anhu mengatakan,
قول الرجل فيما لا يعلم: لا أعلم: نصف العلم
“Perkataan seseorang tentang apa yang tidak diketahui, “Aku tidak tahu” adalah separuh ilmu.”
Pura-pura tahu adalah pakaian kedustaan
Jika seseorang memaksakan diri untuk menjawab perihal yang sebenarnya tidak ia ketahui, maka ia akan menghadapi permasalahan yang besar. Jika orang yang sedikit ilmunya, terbatas pengetahuannya, lemah ketakwaannya karena khawatir hilangnya harga dirinya di hadapan orang-orang, enggan mengatakan, “Aku tidak tahu”, maka inilah kebodohan sesungguhnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
المتشبع بما لم يعط كلابس ثوبي زور
“Orang yang berbangga dengan sesuatu yang tidak ia dapatkan, seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (HR. Muslim no. 2130)
Sebagaimana orang yang pura-pura kenyang, padahal ia tidak pernah makan. Sebagaimana orang yang pura-pura pintar, padahal ia tidak pernah belajar. Dan kepura-puraan ini adalah kedustaan. Allah Ta’ala berfirman,
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 3)
Wanita dengan berbagai tanggung jawabnya juga harus belajar
Tidak hanya laki-laki yang mempunyai tanggung jawab yang besar. Wanita juga tidak kalah banyak tanggung jawabnya. Bagi wanita, ia yang sudah menikah, bertambahlah tanggung jawabnya sebagai istri, kemudian bertambahlah tanggung jawabnya menjadi seorang ibu. Satu anak, dua anak, dan seterusnya. Hal ini seharusnya tidak menurunkan semangatnya dalam belajar. Aisyah radhiallahu ‘anha, mengatakan,
نعم النساء نساء الأنصار لم يمنعهن الحياء أن يتفقهن في الدين
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu mereka tidak menghalangi mereka untuk mempelajari agama.” (HR. Muslim no. 332)
Allahu a’lam.
Baca juga: Hukum Wanita Belajar Daring (Online) Campur Baur dengan Laki-laki
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Al-’Asqalani, Ibnu Hajar. 1426 H. An-Nuktu ‘ala Shahihil Bukhari. Al-Maktabah Islamiyyah. Kairo.
- Al-’Utsaimin, Muhammad bin Shalih. 2004 M. Syarhu Kitab Bad-ul Wahyi wal Ilmi wal Iman.
- An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarif. 1417 H. At-Tibyan fii Adabi Hamatil Quran. Dar Ibnu Hazm.
- At-Tuwaijiri, Hamud bin Abdillah. 1413 H. Taghlizhul Malami ‘alal Mustasri’iin ilal Fataya wa Taghyiril Ahkam. Darus Shami’iy, Riyadh.
- Ibrahim, Muhammad bin. 1436 H. Al-Mukhtashor Al-Mu’lim bi Adabil Mu’allim wal Muta’allim. Maktabah Al-Aqidah Al-Islamiyyah, Kairo.