Dalam Islam, hubungan orang tua dan anak bukanlah sekadar ikatan darah. Ia adalah amanah, ujian, sekaligus jalan menuju kebaikan dan keberkahan. Allah Ta’ala telah menempatkan keduanya dalam posisi mulia, sehingga hubungan ini melahirkan manfaat timbal balik, baik di dunia maupun di akhirat.
Allah Ta’ala berfirman,
ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.” (QS. An-Nisa: 11)
Ayat ini datang dalam konteks pembahasan warisan, namun kandungan maknanya melampaui persoalan harta semata. Allah mengingatkan bahwa hubungan antara orang tua dan anak bukan hanya ikatan darah, tetapi juga ikatan manfaat yang Allah tetapkan sesuai dengan hikmah dan kasih sayang-Nya.
Manusia tidak bisa memastikan siapa yang lebih banyak memberi kebaikan. Terkadang orang tua menjadi jalan manfaat besar bagi anak-anaknya melalui nafkah, kasih sayang, doa, dan warisan ilmu (pendidikan). Terkadang justru anak menjadi jalan manfaat bagi orang tuanya, baik ketika masih hidup dengan bakti dan doa, maupun setelah wafat melalui pahala amal jariyah.
Latar belakang jahiliyah: Anak perempuan yang dikubur hidup-hidup
Pada masa jahiliyah, bangsa Arab memiliki anggapan keliru bahwa anak perempuan adalah aib, beban, bahkan sumber kesusahan. Sebagian mereka tega mengubur anak perempuan hidup-hidup karena takut miskin atau malu terhadap masyarakat.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ ؛ أَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS. At-Takwir: 8-9)
Islam datang membongkar tradisi keji itu. Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa orang tua tidak tahu siapa yang lebih banyak memberi manfaat: bisa jadi anak yang diremehkan justru menjadi penyelamat bagi orang tuanya. Anak perempuan yang dianggap hina oleh masyarakat jahiliyah, justru dimuliakan dalam Islam hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ ابْتُلِىَ مِنَ الْبَنَاتِ بِشَىْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, kemudian dia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak perempuan tersebut akan menjadi penghalang dari siksa api neraka.” (HR. Muslim no. 2629)
Dengan hadis ini, Allah menutup jalan anggapan jahiliyah. Manfaat anak, baik laki-laki maupun perempuan tidak ditentukan oleh logika sempit manusia, tetapi oleh hikmah Allah Ta’ala.
Anak yang cacat: Hikmah di balik amanah
Dalam kehidupan, ada orang tua yang diuji dengan anak yang cacat, entah secara fisik, mental, atau keduanya. Secara pandangan duniawi, anak semacam ini sering dianggap beban. Namun Allah Ta’ala dalam surah An-Nisa ayat 11 di atas mengingatkan bahwa manfaat tidak selalu tampak pada logika manusia. Bisa jadi anak yang cacat itulah jalan terbesar pahala bagi orang tuanya.
– Dengan hadirnya anak tersebut, orang tua semakin belajar sabar, ikhlas, dan tawakal. Ia semakin banyak menangis dan bersimpuh di hadapan Allah Ta’ala.
– Perhatian dan kasih sayang yang tercurah kepadanya akan menjadi ladang pahala tanpa putus.
– Doa dan kebaikan yang lahir dari kelembutan hati orang tua bisa menjadi sebab Allah merahmati keluarga itu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ
“Tidaklah seorang mukmin tertimpa suatu musibah berupa rasa sakit (yang tidak kunjung sembuh), rasa capek, rasa sakit, rasa sedih, dan kekhawatiran yang menerpa, melainkan dosa-dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim no. 2573)
Maka seorang anak yang cacat sejatinya bukan penghalang untuk bahagia, tetapi ia sebagai penghapus dosa, pengundang pahala, bahkan bisa menjadi sebab orang tuanya masuk ke dalam surga.
Orang tua: Sumber doa dan kasih sayang
Orang tua adalah sebab keberadaan anak di dunia. Dengan perjuangan dan kasih sayang mereka, seorang anak bisa tumbuh, belajar, dan meniti jalan hidupnya. Tidak hanya itu, doa orang tua adalah salah satu doa yang paling mustajab. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi: doa orang tua, doa orang yang dizalimi, dan doa musafir.” (HR. Abu Daud no. 1536, lihat As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1797)
Betapa besar manfaat yang anak peroleh dari orang tuanya. Kasih sayang, pengorbanan, dan doa mereka menjadi benteng sekaligus sumber keberkahan dalam menjalani hidup.
Anak: Amal jariyah yang terus mengalir
Sebaliknya, anak juga bisa menjadi sebab pahala yang tak putus bagi orang tuanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Seorang anak yang saleh bukan hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga menjadi tabungan amal bagi kedua orang tuanya. Setiap doa, setiap amal kebaikan yang ia lakukan, menjadi sebab pahala yang terus mengalir kepada mereka.
Saling menolong di dunia dan akhirat
Hubungan orang tua dan anak tidak berhenti di dunia. Di akhirat pun, dengan izin Allah, keduanya bisa saling memberi manfaat. Doa anak bisa meringankan beban orang tuanya. Bahkan, amal saleh anak bisa menjadi syafaat bagi mereka. Demikian pula orang tua yang saleh, dengan izin Allah, bisa menjadi sebab keselamatan anak-anaknya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ أَلَتْنَٰهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍ ۚ كُلُّ ٱمْرِئٍۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (di surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka…” (QS. Ath-Thur: 21)
Ayat ini menunjukkan betapa kasih sayang Allah menjadikan keluarga yang beriman dapat berkumpul kembali di surga, meski amal mereka berbeda-beda.
Pengetuk jiwa
Maka, berbaktilah kepada orang tua dengan sebaik-baiknya. Mari kita hargai setiap momen bersama orang tua. Berikan mereka kasih sayang, hormat, dan doa yang tulus, karena mereka adalah anugerah Allah yang membawa kita kepada kebaikan yang tak terhingga. Dalam setiap langkah kita, ingatlah bahwa manfaat terbesar yang kita terima dan berikan kepada orang tua adalah dalam bentuk doa dan bakti yang tak putus. Semoga kita menjadi anak yang saleh, yang terus mengalirkan berkah kepada orang tua, dan mendapatkan cinta serta rida keduanya.
Dan bagi orang tua, bimbinglah anak menuju kebaikan dengan sabar dan doa. Sebagai orang tua, mari kita terus berusaha menjadi teladan yang baik bagi anak-anak kita. Meskipun kita sering merasa lelah dan tak terbalaskan, percayalah bahwa setiap kebaikan yang kita tanamkan pada mereka akan menghasilkan buah yang indah. Jangan pernah lelah untuk memberi, karena sejatinya, setiap pengorbanan kita untuk anak-anak adalah investasi yang akan kembali dalam bentuk doa, kebahagiaan, dan keberkahan yang tak ternilai.
Semoga hubungan ini menjadi jalan keberkahan di dunia, serta pertemuan yang indah kembali di surga-Nya. Aamiin.
***
Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Qawaa’id Qur’aaniyyah, karya Syekh Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil.