Hukum memaafkan
Ketika seseorang dizalimi, maka ada tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, ia membalas orang yang telah menzaliminya tersebut. Apabila ia membalas dengan balasan yang setimpal, maka hal ini diperbolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَجَزَٰٓؤُا۟ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS. Asy-Syura: 40)
Adapun jika ia membalas, namun secara berlebihan, maka tidak diperbolehkan. Allah Ta’ala berfirman,
وَجَزَٰٓؤُا۟ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syura: 40)
Kemungkinan kedua, ia tidak membalas, namun juga tidak memaafkan. Seperti seseorang yang menolak untuk memberikan maaf dan ingin menuntut haknya kelak di hari kiamat. Hal ini juga diperbolehkan.
Kemungkinan ketiga, ia memaafkan dengan kesabarannya. Dan inilah yang paling utama. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushshilat: 35)
Pemaaf adalah sifat yang bisa diusahakan
Memaafkan bukanlah suatu hal yang mudah. Namun, bukan juga suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Ia dapat diraih jika kita benar-benar mengusahakannya. Berusaha untuk berlapang dada, melepaskan beban emosional, dan mengambil segala hikmah yang bertabur atas apa yang telah berlalu.
Memaafkan bukanlah simbol kelemahan. Ia menunjukkan kedewasaan dan bentuk perdamaian terhadap masa lalu. Dengan memaafkan, terbuka pintu-pintu kebaikan yang banyak, hidup terasa lebih mudah dan dada menjadi lapang. Jika rasa manis dari memaafkan telah dirasa, hati pun menjadi mudah untuk melakukannya. Lagi dan lagi. Hingga sifat pemaaf melekat di dalam diri.
Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ، مَنْ يَتَحَرَّى الْخَيْرَ يُعْطَهُ، وَمَنْ يَتَّقِ الشَّرَّ يُوقَهُ
“Sesungguhnya ilmu hanya didapatkan dengan mempelajarinya dan sikap bijak didapatkan dengan terbiasa melakukannya. Barangsiapa yang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kebaikan, maka dia akan diberikan kebaikan tersebut. Dan barangsiapa yang berusaha untuk menjauhi keburukan, maka ia akan dilindungi dari keburukan tersebut.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath no. 2663)
Sebuah kisah untuk direnungkan
Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ( يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ) فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الشِّمَالِ ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ ، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى ، فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ حَالِهِ الْأُولَى ، فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ : إِنِّي لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا ، فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ . قَالَ نَعَمْ قَالَ أَنَسٌ : وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنْ اللَّيْلِ شَيْئًا ، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ حَتَّى يَقُومَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ . قَالَ عَبْدُ اللَّهِ : غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا . فَلَمَّا مَضَتْ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ أَحْتَقِرَ عَمَلَهُ قُلْتُ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ ، وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ : ( يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ) فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ ، فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ فَأَقْتَدِيَ بِهِ ، فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ ، فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ ، قَالَ : فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي فَقَالَ : مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ ؛ غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ : هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ
“Dahulu, kami sedang duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, ‘Akan muncul kepada kalian saat ini seorang lelaki dari penghuni surga.’ Maka muncullah seorang lelaki dari kalangan Anshar, jenggotnya basah dari bekas wudu, dengan kondisi kedua sandalnya bergelantungan di tangan kirinya.
Keesokannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sama seperti sebelumnya dan muncullah lelaki kemarin dengan kondisi seperti kali pertama. Dan ketika terjadi pada hari ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti pada kali pertama dan kedua. Maka muncullah lelaki tersebut dengan kondisi seperti pertama kali. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (lalu pergi), ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash mengikuti laki-laki tersebut dan ia berkata kepadanya, ‘Aku berselisih dengan ayahku dan aku bersumpah tidak akan menemuinya selama tiga hari. Jika menurutmu engkau bersedia menampungku hingga hal ini berlalu, maka silakan lakukan.’ Lelaki tersebut pun menjawab, ‘Iya.’
Anas mengatakan, ‘Abdullah mengatakan bahwa ia menginap selama tiga malam di rumah lelaki itu. Dan ia tidak melihat lelaki tersebut menegakkan salat malam sekali pun. Kecuali apabila ia terbangun di malam hari, ia mengubah posisi tidurnya, kemudian berzikir mengingat Allah dan bertakbir sampai tiba waktu subuh. Abdullah mengatakan, ‘Dan aku juga tidak mendengar darinya mengucapkan sesuatu apapun kecuali kebaikan.
Ketika berlalu tiga hari, aku hampir meremehkan amalan yang ia lakukan. Aku pun mengatakan, ‘Wahai hamba Allah, sesungguhnya tidak ada perselisihan dan sikap saling menjauhi antara diriku dan ayahku. Akan tetapi, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangmu tiga kali, ‘Akan muncul kepada kalian saat ini seorang lelaki penghuni surga.’ Maka muncullah engkau sebanyak tiga kali. Sehingga aku menginginkan untuk pergi ke tempatmu agar aku bisa melihat amal perbuatanmu, agar aku bisa mengambil contoh dari hal tersebut. Namun, aku tidak melihat engkau melakukan banyak amalan. Lantas apa yang menyebabkan dirimu bisa sampai pada kedudukan yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’
Lelaki tersebut menjawab, ‘Tidak ada sesuatu yang istimewa kecuali apa yang engkau lihat.’ Abdullah berkata, ‘Ketika aku berpaling darinya, lelaki tersebut memanggilku dan mengatakan, ‘Tidak ada sesuatu yang istimewa kecuali apa yang engkau lihat. Akan tetapi, aku tidak memberikan kesempatan kepada diriku untuk menipu daya seorang pun dari kaum muslimin dan diriku tidak pula memiliki sifat hasad atas kebaikan yang dikaruniakan oleh Allah kepada hamba-Nya.’ Maka ‘Abdullah mengatakan, ‘Inilah kedudukan yang membuatmu menjadi ahli surga dan inilah perkara yang tidak mampu untuk kami kerjakan.” (HR. Ahmad no. 12720)
Demikian yang dapat penulis paparkan berkaitan dengan memaafkan. Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita untuk bersikap lapang dada dan memberikan maaf serta uzur kepada saudara sesama muslim yang terjatuh dalam kesalahan.
Tidak ada manusia yang sempurna, setiap dari kita sudah pasti pernah berbuat salah. Oleh sebab itu, lapangkanlah hati, bukakanlah pintu maaf agar ketenangan menghiasi kehidupan. Dan surga telah dijanjikan bagi mereka yang memaafkan. Hanya kepada Allah kita memohon taufik.
[Selesai]
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
- Kajian Meredam Amarah & Memaafkan, Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA.
- Bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr, ‘Abdurrazzaq. 1444H. Ahadits Ishlahul Qulub. Dar Al-Imam Muslim, Madinah Al-Munawwarah.
- Bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr, ‘Abdurrazzaq. Fikih Asma’ul Husna, Terj. Abdurrahman Thayyib, Lc. dan Sulhan Jauhari, Lc. Jakarta: Darus Sunnah, Cet. 13, 2015.
- An-Nawawi. Riyadush Shalihin, Terj. Izzudin Karimi, Lc. Jakarta: Darul Haq, Cet. 8, 2018.



