Keutamaan memaafkan
Di antara keutamaan dari sifat memaafkan adalah:
Termasuk golongan al–Muhsinun
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱصْفَحْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan (kebaikan).” (QS. Al-Maidah: 3)
Maka, memaafkan kesalahan atau kezaliman seseorang adalah tindakan yang paling utama dan yang paling terbaik. Karena tingkatan ihsan adalah tingkatan yang tertinggi di dalam agama Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Jibril ‘alaihissalam (hadis al-Arba’in An-Nawawi yang kedua) tentang tingkatan dalam agama (Islam, iman, dan ihsan). Ayat di atas juga menyebutkan bahwa di antara keutamaan memaafkan adalah mendatangkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Mendapatkan ampunan Allah dan kasih sayang-Nya
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
وَإِن تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi, serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun: 14)
Di antara nama-nama Allah yang husna adalah Al-’Afwu (Yang Maha Memaafkan). Maknanya, Allah adalah Dzat yang memaafkan dan menghapuskan kesalahan-kesalahan hamba-Nya. Al ‘Afwu lebih mendalam maknanya dan lebih tinggi tingkatannya dari Al–Ghafur (Yang Maha Mengampuni). Hal ini karena Al–‘Afwu mengisyaratkan penghapusan kesalahan yang dilakukan oleh hamba tersebut, sedangkan Al–Ghafur mengisyaratkan penutupan kesalahan. Hal ini berlaku jika keduanya disebutkan secara bersamaan. Adapun jika disebutkan secara terpisah, maka salah satunya menunjukkan makna yang lainnya.
Allah Ta’ala mencintai perbuatan memaafkan dan menyukai untuk memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ibunda kaum muslimin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Memaafkan dan mencintai perbuatan maaf. Oleh sebab itu, maafkanlah diriku.” (HR. At-Tirmidzi no. 3513, Ibnu Majah no. 3850, dan di-shahih-kan oleh al-Albani)
Berdasarkan penjelasan di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai hamba-Nya yang memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh saudaranya. Bahkan, Allah mendorong hamba-hamba-Nya untuk memaafkan, sebagaimana firman-Nya,
وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)
Meraih pahala yang besar
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa firman Allah فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ (Maka pahalanya atas (tanggungan Allah) (QS. Asy-Syura: 40) mengisyaratkan akan besarnya pahala yang didapatkan oleh seorang hamba melalui perbuatan memaafkan.
Perlu diingat pula, memberikan maaf terkandung juga di dalamnya bentuk kesabaran, padahal pahala sabar juga sangatlah besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah, yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Maka, alangkah beruntungnya seorang hamba yang memberikan maaf bagi saudaranya!
Pintu yang sangat tinggi untuk meraih surga dan keridaan Allah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَسَارِعوْا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali ’Imran: 133-134)
Memaafkan adalah bukti ketakwaan
Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an,
وَأَن تَعْفُوْا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada ketakwaan.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Sebagai bentuk meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri teladan terbaik bagi kaum muslimin dalam perbuatan memberikan maaf. Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ مِنْ يَوْمٍ أُحُدٍ؟ قَالَ: لَقَدْ لَقِيْتُ مِنْ قَوْمِكِ، وَكَانَ أَشَدُّ مَا لقِيْتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ، إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَا لِيْلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ، فَلَمْ يُجبْني إِلَى مَا أَرَدْتُ، فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُوم عَلَى وَجْهي، فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ، فَرَفَعْتُ رَأْسِي، وَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي، فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيْهَا جِبْرِيلُ عليه السلام فَنَادَانِي، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ، وَمَا رَدُّوْا عَلَيْكَ، وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيْهِمْ. فَنَادَانِيْ مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ، وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ، وَقَدْ بَعَثَنِي رَبِّي إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِي بِأَمْرِكَ، فَمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَطْبَقْتُ عَلَيْهِمُ الْأَخْشَبَيْنِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللهَ وَحْدَهُ لا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Apakah engkau pernah mengalami satu hari yang lebih berat daripada perang Uhud?” Beliau menjawab, “Aku benar-benar telah mendapatkan apa yang aku dapatkan dari kaummu, yang paling berat aku terima dari mereka adalah pada hari Aqabah. Ketika itu, aku menawarkan diriku kepada putra Abdu Yalil bin Abdu Kulal, ternyata dia tidak menyambut apa yang aku inginkan, maka aku pergi dengan sangat sedih sepanjang perjalananku. Aku tidak tersadarkan diri kecuali (ketika sampai) di Qarn Ats-Tsa’alib (miqat bagi penduduk Najd), aku angkat kepalaku, ternyata ada awan yang menaungiku. Aku memperhatikannya, ternyata di sana ada Jibril ‘alaihissalam, dia memanggilku dan mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala mendengar ucapan kaummu terhadapmu dan penolakan mereka terhadapmu. Dia mengirim malaikat penjaga gunung kepadamu agar kamu memerintahkannya untuk melakukan apa saja yang kamu kehendaki terhadap mereka.”
Malaikat penjaga gunung memanggilku, mengucapkan salam, kemudian berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung, aku diutus oleh Tuhanmu kepadamu agar kamu memerintahkanku dengan perintahmu, terserah engkau. Kalau kamu mau, aku akan menjatuhkan Akhsyabain (dua gunung) ini kepada mereka.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Justru aku berharap, semoga Allah melahirkan dari tulang sulbi mereka orang-orang yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.” (Muttafaqun ‘alaih)
[Bersambung]
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artiel Muslimah.or.id
Referensi:
- Andirja, Firanda. Meredam Amarah dan Memaafkan.
- Al-Badr, ‘Abdurrazzaqbin ‘Abdul Muhsin. 1444. Ahadits Ishlahul Qulub. Madinah Al-Munawwarah: Dar Al-Imam Muslim.
- Al-Badr, ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin. Fikih Asma’ul Husna. (Terj. A. Thayyib dan S. Jauhari). Jakarta: Darus Sunnah.
- Nawawi. 2018. Riyadush Shalihin. (I. Karimi). Jakarta: Darul Haq.


