Merasa tersakiti, dendam dan amarah merupakan emosi yang saling berkaitan dan lumrah terjadi pada diri setiap insan. Perasaan tersakiti muncul ketika seseorang mendapatkan perlakuan yang menurutnya tak adil, merugikan maupun melukai hati. Dan seringkali perasaan ini menyebabkan munculnya rasa dendam dan amarah yang bergejolak, yang tentunya berdampak negatif apabila tidak dikelola dengan baik.
Apabila diluapkan, kerusakan yang ditimbulkan akan sangat besar, bahkan akan memperburuk masalah yang sedang dihadapi. Apabila dipendam, maka akan sangat berbahaya bagi mental dan fisik seseorang. Oleh sebab itu, mengelola emosi merupakan suatu hal yang penting untuk dipelajari. Terlebih bagi seorang muslim, karena kita telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan Al-Qalb (hati) bagaikan seorang raja. Apabila sang raja baik, maka baiklah keadaan seluruh anggota kerajaannya. Apabila sang raja buruk, maka buruklah keadaan seluruh anggota kerajaannya.
Islam menawarkan solusi terbaik dalam menyikapi permasalahan ini, yaitu dengan memaafkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran,
وَجَزَٰٓؤُا۟ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syura: 40)
Cukuplah firman Allah {فَأَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ} (Maka pahalanya atas tanggungan Allah) menunjukkan keutamaan yang besar dari perbuatan memaafkan. Karena tidak ada yang mengetahui kadar balasannya kecuali Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)
Pentingnya membersihkan hati
Perbuatan memaafkan yang telah disinggung di atas, juga mengisyaratkan kepada kita, bukan hanya untuk mengelola emosi dengan baik, tetapi juga untuk menunjukkan pentingnya membersihkan hati dari berbagai penyakit hati. Seperti rasa iri, dengki, sombong, dan seterusnya.
Dari Abdillah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu sering berdoa, beliau mengatakan,
اللَّهُمَّ طَهِّرْنِي بِالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَالْمَاءِ الْبَارِدِ. اللَّهُمَّ طَهِّرْ قَلْبِي مِنَ الْخَطَايَا، كَمَا طَهَّرْتَ الثَّوْبَ الأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَبَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ ذُنُوبِي، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Ya Allah, sucikan aku dengan salju, embun, dan air yang dingin. Ya Allah, sucikan hatiku dari kesalahan-kesalahan, sebagaimana Engkau mensucikan baju yang putih dari kotoran-kotoran. Jauhkan antara diriku dan dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat.” (HR. Muslim no. 476 dan Ahmad no. 19402)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وسألت شيخ الإسلام عن معنى دعاء النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: اللَّهُمَّ طَهِّرْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ»، كيف يطهر الخطايا بذلك؟ وما فائدة التخصيص بذلك؟ وقوله – في لفظ آخر – : «وَالْمَاء الْبَارِد»، والحار – أبلغ في الإنقاء
“Aku bertanya kepada Syekhul Islam Ibnu Taimiyah tentang makna doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Bagaimana mensucikan diri dari kesalahan-kesalahan dengan hal-hal yang disebutkan? Dan apa faidah pengkhususan dengan hal itu? Dan doa Nabi dalam lafaz yang lain ‘dan air yang dingin’, sedangkan air yang panas lebih maksimal dalam membersihkan.”
Beliau menjawab,
الخطايا توجب للقلب حرارة ونجاسة وضعفًا؛ فيرتخي القلب وتضطرم فيه نار الشَّهوة وتنجّسه، فإنَّ الخطايا والذُّنوب له بمنزلة الحطب الَّذِي يمُدُّ النَّار ويوقدها، ولهذا كُلَّما كثرت الخطايا؛ اشتدَّت نارُ القلب وضعفه. والماء يغسل الخبث ويطفىء النَّار؛ فإن كان باردًا أورث الجسم صلابة وقوة، فإن كان معه ثلج وبرد؛ كان أقوى في التَّبريد وصلابة الجسم، وشدَّته ؛ فكان أذهب لأثر الخطايا
“Kesalahan-kesalahan itu akan menimbulkan rasa panas, kotor, dan lemah pada hati. Menyebabkan hati menjadi kosong dan membuat api syahwat bergejolak dan mengotorinya. Sesungguhnya, kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa di dalam hati adalah seperti bara yang menambah api dan membuatnya bergejolak. Oleh karena itu, setiap kesalahan bertambah, api di dalam hati akan bertambah kuat dan menyebabkan hati bertambah lemah. Sedangkan air itu membersihkan kotoran dan memadamkan api. Apabila air tersebut dingin, maka ia akan memberikan kepada anggota badan, kekuatan dan ketangguhan. Dan apabila air tersebut salju atau embun, maka hal itu menjadi lebih efektif untuk mendinginkan dan menguatkan anggota badan. Sehingga hal-hal yang disebutkan di dalam doa lebih ampuh untuk menghilangkan bekas-bekas dosa.“ (Ighatsatu Al-Lahfan, 1: 79)
Syekh ‘Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahullah berkata di dalam kitab beliau, Ahadits Ishlah Al-Qulub (hal. 81), “Dan Allah ‘Azza wa Jalla menyeru para hamba-Nya agar mensucikan hati-hati mereka dan membersihkannya dari cacat-cacat di dalam hati dan penyakit-penyakitnya. Agar menjadi hati yang suci lagi bersih. Al-Qur’an dan Sunnah telah menunjukkan pentingnya penyucian dan pembersihan hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلْمُدَّثِّرُ * قُمْ فَأَنذِرْ * وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ * وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu, agungkanlah! Dan pakaianmu, bersihkanlah.” (QS. Al-Mudatstsir: 1-4)
[Bersambung]
Baca juga: Memaafkan Tanpa Tapi
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Kajian Meredam Amarah & Memaafkan, Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA.
- Bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr, ‘Abdurrazzaq. 1444 H. Ahadits Ishlahul Qulub. Dar Al-Imam Muslim, Madinah Al-Munawwarah.
- Bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr, ‘Abdurrazzaq, Fikih Asma’ul Husna, Terj. Abdurrahman Thayyib, Lc. dan Sulhan Jauhari, Lc, Jakarta: Darus Sunnah, Cet. 13, 2015.
- An-Nawawi, Riyadush Shalihin, Terj. Izzudin Karimi, Lc. Jakarta: Darul Haq, Cet. 8, 2018.



