Hidup berdampingan dengan manusia lainnya tentu tak akan luput dari yang namanya gesekan. Terkadang kita menyakiti. Pun juga terkadang kita disakiti. Tidak ada hubungan antar manusia yang selalu mulus. Bahkan dengan orang yang kita sayangi atau orang yang menyayangi kita sekali pun. Salah paham, beda kepentingan, dan semisalnya adalah hal yang pasti terjadi.
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“…dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar? dan adalah Rabbmu Maha Melihat.” (QS. Al-Furqan: 20)
Ketika kita tersakiti, hati kita barangkali akan terluka. Kita bisa jadi juga tidak terima. Namun, ada hal yang lebih membuat sesak daripada sesuatu yang dilakukan saudara kita. Yaitu ketika berat bagi kita untuk memaafkannya.
Iya, sulit memaafkan akan membuat jiwa kita tersiksa. Kedongkolan dan kebencian akan membuat dada kita sesak adanya. Sebagian orang baru mau memaafkan ketika orang yang menurutnya berbuat salah mau mengakui kesalahannya. Ia baru mau membuka pintu maaf jika pihak tersebut memohon maaf kepadanya.
Padahal yang seperti ini akan rentan membuat dirinya kecewa. Manusia dengan segala keterbatasannya bisa jadi tak menyadari kekeliruannya. Berharap orang lain minta maaf adalah syarat yang akan membuat hati kita semakin terluka.
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)
Saudariku, boleh jadi orang lain memang salah. Boleh jadi kita memang berhak dimintai maaf darinya. Namun, jika pihak tersebut enggan meminta maaf, maukah kita terus-terusan mengotori hati kita dengan dendam dan kebencian? Mari kita ingat kembali firman Allah berikut ini.
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)
“(yaitu) di hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
Pada hari itu, manusia dengan hati yang bersih lah yang akan beruntung. Dan hati yang bersih tidak mungkin kita dapatkan tanpa diusahakan. Tidak mungkin kita raih tanpa dilatih. Maka coba kita jadikan momen disakiti orang lain ini sebagai saat untuk berlatih memiliki hati yang selamat. Sebagai kesempatan untuk memiliki hati yang bersih.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564)
Jika berat sekali rasanya memaafkan orang lain, bisa jadi hal tersebut karena hati kita masih berharap pada manusia. Kita ingin pengakuan, kedudukan, dan penghormatan dari mereka. Padahal manusia itu makhluk yang tak berdaya. Manusia penuh keterbatasan dalam memenuhi ekspektasi orang lain.
ذكر الناس داء وذكر الله دواء
“Mengingat manusia adalah penyakit dan mengingat Allah adalah obat.” (Ungkapan Ibnu ‘Aun rahimahullah)
Baca juga: Bertaubatlah dari Dosa Durhaka kepada Orang Tua
Saudariku, inilah saat yang tepat untuk melatih hati bergantung pada Allah saja. Bahwasanya mau orang lain minta maaf atau tidak, jika benar hati kita hanya berharap kepada Allah, hal tersebut tak akan ada pengaruhnya lagi bagi kita. Apapun yang dilakukan manusia pada kita tak akan membuat kita kecewa. Karena kita tak lagi butuh pengakuan dan kedudukan di hadapan mereka.
Bukankah hidup yang demikian itu yang akan begitu nyaman bagi kita? Ketika perbuatan makhluk tak lagi berarti apa-apa. Ketika baik dan tidaknya makhluk tak membuat perilaku kita berbeda. Karena hati kita hanya berharap balasan kepada Allah semata.
Sebagai penutup, mari kita ingat kisah berikut. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa suatu hari para sahabat sedang duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu, Nabi mengatakan bahwa akan muncul seorang penghuni Surga. Kemudian muncullah seorang laki-laki Anshar yang jenggotnya masih basah terkena air wudhu sambil menggantungkan kedua sandal di tangan kirinya. Keesokan harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal yang sama dan muncullah laki-laki yang sama. Keesokan harinya lagi, hal ini pun terjadi.
Seorang sahabat, yaitu Abdullah bin Amr bin Ash pun ingin tahu tentang sosok laki-laki ini. Beliau meminta izin untuk menginap di rumah laki-laki tersebut untuk mengamati amalan apa yang membuat dirinya dikatakan sebagai penghuni Surga. Selama tiga malam beliau menginap di sana, beliau tidak melihat adanya amalan istimewa dari laki-laki ini. Hingga akhirnya beliau bertanya amal apa yang membuat laki-laki ini sampai disebut Nabi sebagai penghuni Surga. Laki-laki itupun menjawab, “Tidak ada amalanku, kecuali seperti yang kau lihat.”
فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ
‘Tatkala aku berpaling pergi, ia pun memanggilku dan berkata bahwa amalannya hanyalah seperti yang terlihat, hanya saja ia tidak memiliki perasaan dendam dalam hati kepada seorang muslim pun dan ia tidak pernah hasad kepada seorang pun atas kebaikan yang Allah berikan kepada yang lain.’ Abdullah berkata, ‘Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga, pen.) dan inilah yang tidak kami mampui.” (HR. Ahmad, 3: 166. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Jangan pernah meremehkan kondisi hati yang bersih. Jangan pernah meremehkan amalan hati. Karena amalan ini begitu berat di sisi Allah. Amalan yang akan mengantarkan ke Surga –biidznillah–
Baca juga: Ikhlas dan Jangan Berbangga Diri
—
Penulis: Rahma Aziza Fitriana
Artikel Muslimah.or.id