Kita hanyalah manusia, yang tak dapat dipungkiri bahwa dia adalah makhluk yang lemah. Makhluk yang senantiasa berbolak-balik hatinya. Terkadang ia seperti ini dan seperti itu. Terkadang imannya baik dan kuat, namun terkadang imannya buruk dan lemah. Di titik kelemahan itulah setan mudah sekali menggodanya, hingga ia terjerumus ke dalam dosa. Namun, sebagai hamba yang berharap atas besarnya kasih sayang Rabbnya dalam mengampuninya, dalam membebaskannya dari jerat dosa, azab neraka, dan memberikannya keselamatan di negeri akhirat, maka dia segera bertobat dan meminta ampun kepada Rabbnya. Ia mengetahui kelemahan dirinya, dia mengetahui betapa kecilnya ia di hadapan besar dan luasnya kasih sayang Allah Ta’ala.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ بَني آدم خطَّاءٌ وخيرٌ الخطَّاء التوابون
“Setiap bani Adam pasti melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertobat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2499 dan Ibnu Majah no. 4251, al-Albani mengatakan sanadnya hasan)
Setiap manusia pasti terjerumus dalam kesalahan dan kekeliruan karena memang karakternya seperti itu, yaitu disebabkan oleh kelemahannya sehingga tidak mungkin lepas dari kesalahan. Tidak ada seorang pun manusia yang bebas dan bersih dari kesalahan.
Kesalahan yang dimaksud di sini adalah maksiat dan dosa. Dengan kata lain, dia telah terjerumus ke dalam maksiat dan dosa. Memang inilah karakter manusia. Akan tetapi, dengan anugerah Allah yang sangat luas dan sifat Maha Mengetahui-Nya, Allah memahami karakter makhluk-Nya, dan membukakan pintu tobat bagi makhluk-Nya.
Karena berbagai kelemahan itu, terjatuhlah ia ke dalam dosa. Sekali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya, sehingga yang paling baik dari mereka adalah yang bertobat. Ketika manusia terjerumus ke dalam kesalahan, maka dia bersegera untuk bertobat. Tobat secara bahasa adalah kembali. Dan tobat yang dimaksud di sini adalah kembali kepada ketaatan. Karena tidak ada satu pun manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan; dan kesalahan mereka pun bermacam-macam. Namun, wajib bagi manusia, jika melakukan kesalahan, dia bersegera bertobat dan meminta ampun kepada Allah Ta’ala. Dan tobat akan menjadi penambal dari apa yang telah dilakukan sebelumnya. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا ٱلتَّوْبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسُّوْءَ بِجَهَٰلَةٍ
“Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan.” (QS. An-Nisa: 17)
Kejahilan yang dimaksud di sini bukanlah jahil karena tidak memiliki ilmu, tetapi jahil yang dimaksud di sini adalah tidak adanya sifat “hilm”.
Apa itu sifat hilm?
Secara bahasa, hilm adalah sifat tenang, dan tidak terburu-buru. Lawan katanya adalah terburu-buru atau gegabah. Definisi yang lain secara bahasa adalah akal. Bukan berarti hilm di sini adalah akal yang sebenarnya. Namun ditafsirkan seperti itu karena hilm adalah sesuatu yang menyebabkan akal bekerja dengan baik.
Secara istilah, sifat hilm dapat didefinisikan dengan beberapa definisi:
- Kokohnya jiwa dan karakter dalam menahan amarah;
 - Dapat membawa dirinya dari gangguan akhlak yang buruk;
 - Ketenangan ketika terjadi amarah;
 - Menunda diri dalam merespon kezaliman;
 - Bentuk pengendalian diri dalam merespon sesuatu yang tidak disukai ataupun mencintai sesuatu yang dilarang.
 
Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa Allah Ta’ala membuka pintu tobat untuk hamba-hamba-Nya yang bertobat dari melakukan dosa yang disebabkan oleh ketidakmampuan pengendalian diri dalam menghadapi kesalahan dan maksiat.
Terdapat sebuah syair yang berbunyi,
ألا لا يجهلن أحد علينا فنجهل فوق جهل الجاهلينا
“Janganlah ada seorang pun yang berlaku jahil (kasar) terhadap kami,
sebab jika ada, maka kami akan lebih jahil (lebih keras) dari orang yang jahil itu.”
Kata “jahil” di sini tidak hanya berarti “bodoh”, tetapi juga mengandung makna “kasar, lancang, atau berbuat sewenang-wenang.”
Sehingga makna “jahil” dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan” adalah lancang, berbuat tanpa melihat (merenungkan), dan tanpa berpikir panjang.
Kemudian Allah Ta’ala melanjutkan,
ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ
“yang kemudian mereka bertobat dengan segera.” (QS. An-Nisa: 17)
Mereka bertobat dengan segera, tanpa menunda-nunda. Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَروْا ٱللَّهَ فَٱسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمْ يُصِرُوْا عَلَىٰ مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.” (QS. Ali ’Imran: 135)
Demikianlah, hadis yang dibawakan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu di atas menceritakan kepada kita bahwa terjerumusnya seseorang ke dalam kesalahan dan dosa adalah tabiat manusia. Namun, dengan anugerah, kemurahan hati, dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, Allah membukakan pintu tobat. Itulah sebuah terapi diri dari dosa, yaitu dengan bertobat kepada Allah Ta’ala.
Baca juga: Banyak Dosa dengan Banyak Bicara Sia-Sia
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan bin Abdillah. 2015. Ithaful Kiram bi Syarhi Kitabil Jami’ fil Akhlaq wal Adab. Darul Qarthaba. Beirut.
 - Awwalan, Ma’na Al-Hilm Lughotan wa Isthilahan. Mausu’ah Al-Akhlaq was Suluk.
 
			


