Ada seorang janda muda sebut saja namanya Mawar. Ia punya teman yang sangat dekat sebut saja namanya Melati. Melati punya suami, sebut saja namanya Tawon. Sampai-sampai keduanya dianggap sebagai kakak angkat bagi Mawar.
Walhasil, Mawar sangat akrab sekali kepada Melati termasuk juga akrab dengan Tawon. Saking akrabnya para tetangga sudah tahu bahwa mereka ini seperti kakak-adik. Tawon dan Melati sering membantu Mawar, sering curhat dan mereka sering jalan bersama-sama.
Model pertemanan seperti ini banyak terjadi di masyarakat. Namun ada sesuatu yang perlu diwaspadai dari model pertemanan seperti ini.
PERTAMA, tidak ada istilah “kakak angkat” dalam Islam. Maka laki-laki yang dianggap sebagai kakak angkat statusnya tetap non-mahram, wajib menjaga pergaulan dengannya tidak boleh berduaan, tidak boleh berkomunikasi di luar kebutuhan, tidak boleh bersentuhan, dan adab-adab lainnya.
Adapun menganggap wanita Muslimah lain sebagai kakak dalam artian teman yang sangat dekat, maka tidak masalah.
KEDUA, seorang wanita jangan merasa aman dengan fitnah lelaki walaupun ia sudah beristri. Demikian juga laki-laki jangan merasa aman dengan fitnah wanita yang sudah bersuami. Fitnah tidak melihat sudah bersuami atau sudah beristri.
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إن الدنيا حلوةٌ خضرةٌ . وإن اللهَ مستخلفُكم فيها . فينظرُ كيف تعملون . فاتقوا الدنيا واتقوا النساءَ . فإن أولَ فتنةِ بني إسرائيلَ كانت في النساءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan Allah telah mempercayakan kalian untuk mengurusinya, Sehingga Allah melihat apa yang kalian perbuatan (disana). Maka berhati-hatilah kalian dari fitnah (cobaan) dunia dan takutlah kalian terhadap fitnah (cobaan) wanita. Karena sesungguhnya fitnah (cobaan) pertama pada Bani Isra’il adalah cobaan wanita” (HR Muslim 2742).
Perhatikan hadits di atas apakah dibedakan antara wanita gadis dengan wanita bersuami? Tenyata tidak, maka semua wanita adalah fitnah (cobaan) baik masih gadis ataupun sudah bersuami. Bahkan perhatikan ayat ini:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS. Al Ahzab: 53).
Para sahabat diperintahkan untuk meminta sesuatu dari balik hijab terhadap istri-istri Nabi. Perhatikan, mereka dalam keadaan sudah bersuami. Namun tetap diperintahkan untuk menjaga diri dari fitnah.
KETIGA, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إيَّاكُمْ والدخولَ على النساءِ . فقالَ رجلٌ منَ الأنصارِ : يا رسولَ اللهِ ، أفرأيتَ الْحَمُو ؟ قالَ : الْحَمُو الموتُ
“Waspadai! jangan kalian sembarang masuk ke rumah para wanita” Maka seorang sahabat berkata: “wahai Rasulullah, bagaimana dengan saudara ipar?”. Nabi bersabda: “saudara ipar itu maut” (HR. Bukhari no. 5232, Muslim no. 2172).
Perhatikan, saudara ipar itu suami atau istri dari saudara kandung kita. Suami atau istri dari saudara kandung saja Nabi katakan sebagai “maut” karena besarnya fitnah. Karena memang saudara ipar bukanlah mahram, tidak boleh memperlihatkan aurat kepadanya, berduaan dengannya, bersentuhan dengannya atau bersafar dengannya. Ini tidak diperbolehkan.
Maka bagaimana lagi dengan istri atau suami dari saudara angkat?
KEEMPAT, tidak boleh wanita safar ditemani suami dari “kakak angkat”. Syarat bolehnya safar adalah ia ditemani mahramnya. Tidak boleh wanita safar tanpa mahram. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تسافرُ المرأةُ إلَّا معَ ذي محرمٍ ، ولا يدْخُلُ عليها رجلٌ إلا ومعَهَا محرمٌ
“tidak boleh wanita bersafar kecuali bersama mahram, dan tidak boleh ada lelaki yang masuk ke rumahnya kecuali di sana ada mahramnya” (HR. Bukhari – Muslim).
Mahram yang dimaksud haruslah berupa laki-laki yang baligh dan berakal, baik itu ayahnya, suaminya, kakaknya, adiknya, atau pamannya.
Adapun lelaki yang bukan mahram, maka tidak sah menjadi mahram safar.
KELIMA, membantu janda tentu boleh saja. Bahkan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
السَّاعي على الأرملةِ والمسكينِ ، كالمُجاهدِ في سبيلِ اللَّهِ ، أو القائمِ الليلَ والصائمِ النهارِ
“Orang yang membantu para janda dan orang miskin, seperti mujahid di jalan Allah atau orang yang shalat malam dan puasa di siang hari” (HR. Bukhari no. 5353, Muslim no. 2982).
Namun dengan cara-cara yang tidak mendekati fitnah. Karena menjauhkan diri dari fitnah itu wajib, sedangkan membantu orang lain itu sunnah. Kaidah syar’iyyah yang ditetapkan para ulama mengatakan:
العدل واجب و الفضل مسنون
“Berbuat adil (tidak melanggar agama) itu wajib, sedangkan mencari keutamaan itu sunnah.”
Kaidah lainnya juga mengatakan:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mencari maslahah.”
Sesuatu yang wajib lebih didahulukan dari pada yang sunnah. Jangan sampai berusaha mencari pahala tambahan, namun menuai dosa.
Jangan sampai ingin membantu janda, namun malah merusak rumah tangga sendiri.
Semoga Allah memberi taufik.
***
Penulis: Ustadz Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id