Hukum menindik telinga
Hukum asalnya, seorang wanita tidak boleh mengubah ciptaan dirinya dengan penambahan atau pengurangan demi mencari keindahan, baik untuk suaminya maupun selainnya, kecuali yang memang ada pengecualian dalam nash (dalil) syariat atau yang diperlukan karena adanya mudarat, baik fisik maupun psikis.
Menindik telinga perempuan untuk tujuan berhias hukumnya boleh. Hal ini membawa maslahat, karena menjadi sarana perhiasan yang dibolehkan, baik bagi anak kecil maupun orang dewasa. Hal itu tidak dianggap sebagai mengubah ciptaan Allah yang terlarang, karena Islam sendiri telah mengizinkan wanita berhias. Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā,
أَوَمَن يُنَشَّؤُاْ فِي ٱلۡحِلۡيَةِ وَهُوَ فِي ٱلۡخِصَامِ غَيۡرُ مُبِينٖ
“Apakah orang yang dibesarkan dalam keadaan berhias, sedangkan dalam perdebatan dia tidak jelas mengemukakan alasan?” (QS. Az-Zukhruf: 18)
Menindik telinga hanyalah sarana untuk berhias. Hal ini juga ditegaskan dalam sabda Nabi ﷺ kepada Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā dalam hadis Ummu Zar‘,
كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ
“Aku bagimu seperti Abu Zar‘ bagi Ummu Zar‘.” (HR. Bukhari no. 5189 dan Muslim no. 2448)
Dalam kisah itu, Ummu Zar‘ berkata, “Ia memenuhi telingaku dengan perhiasan sehingga bergantung-gantung di dalamnya.” Maksudnya, telinganya penuh dengan perhiasan hingga anting-anting itu bergerak dan berayun. (Syarh Muslim, karya An-Nawawi, 15: 217)
Dalam hadis lain yang terdapat dalam Shahihain, ketika Nabi ﷺ mendorong para wanita untuk bersedekah, disebutkan,
جَعَلَتِ المَرْأَةُ تُلْقِي خُرْصَهَا
“Lalu para wanita melemparkan anting-anting mereka…” (HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884)
Anting (الخُرْص) di sini adalah cincin atau lingkaran yang diletakkan di telinga. (An-Nihayah, karya Ibnu Atsir, 2: 22)
Cukuplah untuk menetapkan kebolehan menindik telinga wanita bahwa Allah dan Rasul-Nya mengetahui kebiasaan tersebut dan tidak melarangnya. Seandainya hal itu terlarang, niscaya syariat telah menjelaskannya. Sebab,
تَأْخِيرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الحَاجَةِ لَا يَجُوزُ
“Tidak boleh menunda penjelasan pada waktu yang dibutuhkan.” (Tuhfatul Maudud, karya Ibnul Qayyim, hal. 215)
Hukum menindik telinga lebih dari satu lubang pada masing-masing telinga
Adapun menambah tindikan lebih dari satu lubang pada masing-masing telinga, maka hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Pendapat pertama, tidak dibolehkan. Para ulama beralasan bahwa diperlukan dalil khusus yang bisa menjadi dasar hukumnya. Sebab, ketentuan syariat yang membolehkan tindikan telinga adalah bentuk pengecualian, sehingga harus dibatasi sesuai kadar yang ditunjukkan, tidak boleh melampaui batas itu. Bahkan, penambahan tindikan justru bisa termasuk bentuk merusak dan mencacati tubuh, yang bertentangan dengan hukum asal di atas.
Lebih dari itu, perbuatan tersebut juga termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang fasik dan ahli maksiat dari kalangan Yahudi maupun Nasrani. Padahal Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4031)
Pendapat kedua, diperbolehkan. Tidak mengapa menindik telinga lebih dari sekali, berdalil bahwa hukum asalnya adalah mubah (boleh), dan tidak ada dalil yang melarangnya. Namun, syaratnya adalah hal tersebut harus sesuai dengan adat kebiasaan dan tradisi masyarakat setempat.
Dalam Al-Mausū‘ah al-Fiqhiyyah (29: 216) disebutkan,
“Dasar dalam mempertimbangkan adat (kebiasaan) adalah riwayat dari Ibnu Mas‘ūd raḍiyallāhu ‘anhu yang berkata, “Apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka itu baik di sisi Allah.” Dalam kitab-kitab ushul fikih dan kaidah-kaidah fikih disebutkan bahwa adat kebiasaan termasuk hal yang diperhitungkan dalam hukum fikih. Di antaranya adalah kaidah: al-‘ādah muḥakkamah (adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar hukum).
Adat hanya bisa dijadikan pertimbangan apabila berlaku umum atau mayoritas. Hampir tidak ada satu bab fikih pun kecuali adat memiliki pengaruh dalam hukumnya.”
Syekh Ibnu ‘Utsaimin raḥimahullāh berkata, “Jika seorang wanita berada di negeri yang menganggap perhiasan di hidung sebagai bentuk perhiasan dan memperindah diri, maka tidak mengapa menindik hidung untuk menggantungkan perhiasan di situ.” (Majmū‘ Fatāwā Ibnu ‘Utsaimin, 11: 69)
Beliau membolehkan menindik hidung untuk perhiasan apabila hal itu termasuk kebiasaan para wanita di suatu negeri. Demikian pula, boleh hukumnya menindik masing-masing telinga lebih dari satu lubang untuk menggantungkan perhiasan. Wallahu Ta’ala a’lam.
Baca juga: Menutupi Perhiasan di Tangan bagi Wanita
***
Penyusun: Junaidi Abu Isa
Artikel Muslimah.or.id