Para ulama fikih menjelaskan bahwa ketika seorang anak genap berusia tujuh tahun, dalam kondisi normal dan sehat, ia memasuki tahap tamyīz (fase mampu membedakan). Pada usia ini, anak mulai dapat menggunakan akalnya untuk menilai sesuatu yang baik atau buruk, serta yang bermanfaat atau berbahaya. Fase ini juga menandai kesiapan seorang anak untuk menjalankan ibadah yang disyariatkan.
Sejak masa tamyīz, seorang anak telah memiliki kelayakan hukum dalam hal ibadah secara sempurna, yang dikenal dengan istilah ahliyyah at-ta‘abbud (kelayakan beribadah) atau ahliyyah al-adā’ ad-dīniyyah (kelayakan menunaikan agama). Artinya, anak dianggap pantas melakukan amalan ibadah seperti salat dan puasa, meskipun keduanya belum menjadi kewajiban baginya. Status ahliyyah tersebut hanya menunjukkan kelayakan untuk beribadah, namun bukan kewajiban untuk melaksanakannya (karena belum baligh). Rasulullah ﷺ bersabda,
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk salat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkannya) ketika berusia sepuluh tahun.” (HR. Abu Dawud no. 495)
Masa tamyīz ini membuat anak siap melaksanakan ibadah, tetapi belum terikat dengan kewajiban syariat. Sebab, kewajiban dalam agama baru berlaku ketika seseorang memasuki fase baligh, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: .. عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبَرَ
“Diangkat pena (catatan dosa) dari tiga golongan: … dari anak kecil hingga ia dewasa.” (HR. Abu Dawud no. 4403)
Dalam riwayat lain disebutkan: «حَتَّى يَحْتَلِمَ» — “hingga ia bermimpi (mimpi basah).”
Dengan demikian, seseorang tidak terkena beban kewajiban syariat yang bersifat amaliyah (praktik ibadah) kecuali setelah ia baligh.
Berdasarkan hal ini, anak perempuan yang sudah mencapai usia tamyīz memiliki kesiapan beragama. Maka, sebagaimana ia diperintahkan untuk salat dan berpuasa meski keduanya belum wajib baginya, ia juga diperintahkan untuk membiasakan diri memakai hijab sebelum baligh. Tujuannya agar ia terbiasa, merasa selaras dengannya, dan tidak merasa asing ketika nantinya diwajibkan.
Adapun kewajiban memakai jilbab (hijab syar‘i) berlaku ketika syarat taklif pertama telah terpenuhi, yaitu baligh. Salah satu tandanya adalah datangnya haid, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
يَا أَسْمَاءُ، إِنَّ المَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ المَحِيضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا
“Wahai Asma’, sesungguhnya apabila seorang wanita telah mencapai haid, tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud no. 4104)
Pada fase ini, wali memiliki kewajiban untuk menegakkan perintah hijab atas putrinya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka…’” (QS. al-Ahzab: 59)
Baca juga: Kalau Anak Saya Berhijab Syar’i, Bagaimana Dia Akan Dapat Jodoh?
***
Penyusun: Junaidi Abu Isa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi: