Muslimah.or.id
Donasi muslimah.or.id
  • Akidah
  • Manhaj
  • Fikih
  • Akhlak dan Nasihat
  • Keluarga dan Wanita
  • Pendidikan Anak
  • Kisah
No Result
View All Result
  • Akidah
  • Manhaj
  • Fikih
  • Akhlak dan Nasihat
  • Keluarga dan Wanita
  • Pendidikan Anak
  • Kisah
No Result
View All Result
Muslimah.or.id
No Result
View All Result
Donasi muslimahorid Donasi muslimahorid

Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Asma (Nama) dan Sifat Allah

Umi Farikhah oleh Umi Farikhah
15 Desember 2011
di Akidah
6
Share on FacebookShare on Twitter

Daftar Isi

Toggle
  • Kaidah umum terkait nama dan sifat Allah
    • Kewajiban kita terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang membahas tentang asma dan sifat Allah
  • Kaidah dalam memahami asma (nama) Allah
    • Asma Allah seluruhnya husna (paling baik)
    • Nama Allah tidak dibatasi pada bilangan tertentu
    • Nama Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal, tetapi harus dengan dalil syar’i
    • Seluruh nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas: (1) Dzat Allah, (2) sifat yang terkandung di dalam nama tersebut, dan (3) adanya pengaruh yang dihasilkan jika nama tersebut adalah nama yang muta’adi (membutuhkan objek)
  • Kaidah dalam memahami sifat Allah
    • Sifat Allah seluruhnya tinggi, sempurna, mengandung pujian, dan tidak ada kekurangan dari sisi mana pun
    • Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan kesempurnaan sama sekali, maka mustahil sifat itu dimiliki Allah
    • Jika sifat tersebut di satu sisi menunjukkan kesempurnaan sedangkan di sisi lain menunjukkan kekurangan, maka sifat ini tidak dinisbatkan dan tidak dinafikan (ditolak) dari Allah secara mutlak; akan tetapi, perlu dirinci
    • Sifat Allah terbagi menjadi dua, yaitu tsubutiyah dan salbiyah
    • Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu sifat dzatiyah dan sifat fi’liyah
    • Seluruh sifat Allah bisa menerima tiga pertanyaan
  • Bagaimana membantah Mu’athilah?

Kaidah umum terkait nama dan sifat Allah

Kewajiban kita terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang membahas tentang asma dan sifat Allah

Dalam memahami nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, kita wajib untuk menetapkan maknanya apa adanya, berdasarkan dzahir nash dan tidak memalingkannya ke makna lain. Karena Allah menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa Arab, yang bahasa tersebut sudah jelas. Di samping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berbicara dengan bahasa Arab, sehingga wajib bagi kita menetapkan makna kalam Allah dan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan apa yang ditunjukkan secara makna bahasa tersebut. Mengubahnya dari makna dzahir merupakan perbuatan terlarang, karena ini termasuk berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu. Allah berfirman,

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Katakanlah, ‘Rabbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)

Sebagai contoh, firman Allah Ta’ala,

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ

Donasi Muslimahorid

“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbentang. Dia menafkahkan sebagaimana dia kehendaki.” (QS. Al-Ma’idah: 64)

Secara dzahir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai dua tangan yang hakiki. Maka wajib menetapkan dua tangan Allah tersebut. Jika ada orang yang mengatakan kedua tangan tersebut maksudnya kekuatan, maka kita katakan: ini termasuk memalingkan makna Al-Qur’an dari dzahirnya. Kita tidak boleh berkata demikian karena ini berarti kita berkomentar tentang Allah tanpa dasar ilmu.

Kaidah dalam memahami asma (nama) Allah

Asma Allah seluruhnya husna (paling baik)

Nama Allah adalah kebaikan yang paling tinggi karena nama Allah mengandung sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dari segala sisi.

وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى

“Dan hanya milik Allah asmaul husna.” (QS. Al-A’raf: 180)

Contoh: Ar-Rahman adalah salah satu dari nama-nama Allah, menunjukkan atas sifat yang agung yaitu memiliki rahmat yang luas.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa ad-dahr (waktu) bukan termasuk salah satu dari nama Allah karena tidak mengandung makna yang terpuji. Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ

“Janganlah kalian mencela dahr (masa) karena Allah adalah ad-dahr.” (HR. Muslim)

Maka maknanya adalah Allah-lah yang menguasai masa. Kita palingkan ke makna tersebut dengan dalil hadis,

وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Aku adalah ad-dahr. Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku yang membolak-balikkan siang dan malam.” (HR. Bukhari)

Nama Allah tidak dibatasi pada bilangan tertentu

Kaidah ini didasari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masyhur, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Lalu bagaimana menggabungkan dengan hadis berikut,

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Sesungguhnya ada 99 nama milik Allah; barang siapa menjaganya, niscaya akan masuk surga” (HR. Bukhari)

Makna hadis ini adalah: Di antara nama Allah ada 99 nama; yang jika kita menjaganya., kita akan masuk surga. Dan tidaklah dimaksudkan di sini membatasi nama Allah hanya 99. Kita bisa melihat hal ini dengan contoh perkataan, “Saya mempunyai 100 dirham untuk disedekahkan.” Maka pernyataan ini tidak menafikan kalau saya mempunyai dirham yang lain yang saya peruntukkan untuk selain sedekah.

Nama Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal, tetapi harus dengan dalil syar’i

Nama Allah adalah tauqifiyah, yaitu harus ditetapkan berdasarkan dalil syariat, tidak boleh menambahnya dan tidak boleh menguranginya karena akal tidak mungkin mencapai semua yang menjadi hak Allah dari nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini, kita wajib untuk mencukupkan diri dengan dalil syar’i. Hal ini karena menamai Allah dengan nama yang tidak Allah namakan diri-Nya dengan nama tersebut atau mengingkari nama yang Allah menamai diri-Nya dengan nama tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak Allah Ta’ala. Kita wajib mempunyai adab yang baik kepada Allah Ta’ala.

Seluruh nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas: (1) Dzat Allah, (2) sifat yang terkandung di dalam nama tersebut, dan (3) adanya pengaruh yang dihasilkan jika nama tersebut adalah nama yang muta’adi (membutuhkan objek)

Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan sifat Allah kecuali dengan menetapkan semua hal tersebut.

Contoh nama Allah yang bukan muta’adi: Al-‘Adzim (Yang Maha Agung). Tidak sempurna mengimani nama ini sampai mengimani dengan menetapkan dua hal:

1) Menetapkan Al-‘Adzim sebagai nama Allah yang menunjukkan pada Dzat Allah.

2) Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Al-‘Udzmah (keagungan).

Contoh nama Allah yang muta’adi: Ar-Rahman. Tidak sempurna mengimaninya sampai mengimani dengan menetapkan tiga hal:

1) Menetapkan Ar-Rahman sebagai nama Allah yang menunjukkan pada Dzat Allah.

2) Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Ar-Rahmah.

3) Menetapkan adanya pengaruh dari nama itu, yaitu merahmati siapa saja yang Allah kehendaki.

Kaidah dalam memahami sifat Allah

Sifat Allah seluruhnya tinggi, sempurna, mengandung pujian, dan tidak ada kekurangan dari sisi mana pun

Seperti Al-Hayah (hidup), Al’-Ilmu (mengetahui), Al-Qudrah (kehendak), As-Sama’ (mendengar), Al-Bashar (melihat), Al-Hikmah, Ar-Rahmah, Al-‘Uluw (tinggi), dan lain-lain. Allah berfirman,

وَلِلّهِ الْمَثَلُ الأَعْلَىَ

“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi.” (QS. An-Nahl: 60)

Karena Allah adalah Rabb yang maha sempurna, maka sifatnya harus sempurna.

Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan kesempurnaan sama sekali, maka mustahil sifat itu dimiliki Allah

Seperti Al-Maut (mati), Al-Jahl (bodoh), Al-‘Ajz (lemah), As-Samam (tuli), Al-‘Ama (buta), dan lain-lain. Oleh karena itu, Allah membantah orang yang mensifati diri-Nya dengan kekurangan dan mensucikan diri-Nya dari kekurangan tersebut. Allah tidak mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan mengurangi keberadaan-Nya sebagai Rabb semesta alam.

Jika sifat tersebut di satu sisi menunjukkan kesempurnaan sedangkan di sisi lain menunjukkan kekurangan, maka sifat ini tidak dinisbatkan dan tidak dinafikan (ditolak) dari Allah secara mutlak; akan tetapi, perlu dirinci

Kita menetapkan sifat tersebut dalam keadaan yang menunjukkan kesempurnaan dan kita menolak sifat tersebut dalam keadaan yang menunjukkan kekurangan. Contohnya adalah sifat Al-Makr, Al-Kaid, Al-Khida’ (makna ketiganya adalah tipu daya).

Sifat ini merupakan sifat yang sempurna jika dalam rangka menghadapi semisalnya (membalas orang yang berbuat tipu daya). Karena hal ini menunjukkan bahwa yang mempunyai sifat ini (Allah) tidak lemah menghadapi tipu daya musuh-musuh-Nya. Dan sifat ini merupakan sifat yang kurang dalam keadaan selain di atas. Maka kita menetapkan sifat tersebut untuk Allah dalam keadaan yang pertama, bukan yang kedua.

Allah Ta’ala berfirman,

وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللّهُ وَاللّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al-Anfal: 30)

إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْداً وَأَكِيدُ كَيْداً

“Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.” (QS. At-Thariq: 15-16)

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.” (QS. An-Nisa’: 142)

Jika dikatakan Apakah Allah disifati dengan Al-Makr? Maka jangan menjawab, “Ya”; dan jangan pula menjawab, “Tidak.” Akan tetapi katakanlah, “Allah berbuat makar terhadap orang yang pantas mendapatkannya.” Wallahu a’lam.

Sifat Allah terbagi menjadi dua, yaitu tsubutiyah dan salbiyah

Tsubutiyah yaitu sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya seperti Al-Hayah, Al-Alim, Al-Qudrah. Sifat ini wajib kita tetapkan pada Allah sesuai dengan keagungan-Nya karena Allah sendiri menetapkan sifat tersebut untuk diri-Nya dan Allah lebih mengetahui tentang sifat diri-Nya.

Salbiyah yaitu sifat yang Allah nafikan (tiadakan) untuk diri-Nya seperti sifat zalim. Sifat ini wajib kita nafikan pada Allah karena Allah telah menafikan sifat tersebut pada diri-Nya. Dan kita wajib untuk menetapkan pada Allah sifat yang merupakan lawannya, yaitu sifat yang menunjukkan sifat kesempurnaan. Penafian tidak sempurna tanpa menetapkan kebalikannya.

Contohnya, firman Allah Ta’ala,

وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَداً

“Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang jua pun.” (QS. Al-Kahfi: 49)

Kita wajib menafikan sifat zalim dari Allah disertai dengan keyakinan menetapkan sifat adil bagi Allah, dan sifat adil tersebut dalam bentuk yang paling sempurna.

Baca juga: Faedah Memahami Nama dan Sifat Allah Azza wa Jalla

Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu sifat dzatiyah dan sifat fi’liyah

Sifat dzatiyah, yaitu sifat yang terus-menerus ada (selalu melekat) pada diri Allah, seperti sifat As-Sama’ dan Al-Bashar.

Sifat fi’liyah, yaitu sifat yang terikat dengan kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, maka Dia melakukannya; dan jika Allah tidak menghendaki, maka Dia tidak melakukannya. Contohnya sifat istiwa’ di atas arsy dan sifat maji’ (datang).

Dan ada beberapa sifat yang termasuk sifat dzatiyah sekaligus fi’liyah jika dilihat dari dua sisi. Contohnya sifat kalam (berbicara). Dilihat dari sisi asalnya, sifat tersebut merupakan sifat dzatiyah karena Allah senantiasa berbicara. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, kalam merupakan sifat fi’liyah karena Allah berbicara tergantung pada kehendak-Nya. Dia berbicara kapan dan bagaimana Dia kehendaki.

Seluruh sifat Allah bisa menerima tiga pertanyaan

1) Apakah sifat itu hakiki, mengapa?

2) Apakah boleh menanyakan kaifiyah-nya (bagaimananya) (takyif)? Dan mengapa?

3) Apakah boleh menyerupakannya sengan makhluk (tamtsil)? Dan mengapa?

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah,

1) Benar, sifat Allah hakiki karena asal sebuah perkataan adalah mempunyai makna hakiki. Maka tidak boleh memalingkannya kecuali dengan dalil yang sahih.

2) Tidak boleh menanyakan kaifiyah-nya karena firman Allah Ta’ala,

وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْماً

“Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (QS. Thaha: 110)

Dan karena akal tidak mungkin mengetahui kaifiyah sifat Allah.

3) Tidak boleh menyerupakan dengan sifat makhluk karena firman Allah Ta’ala,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy-Syura: 11)

Karena Allah sempurna, tidak ada puncak sifat kebaikan yang lebih tingi dari-Nya sehingga tidak mungkin diserupakan dengan makhluk karena makhluk itu penuh kekurangan.

Perbedaan antara tamtsil dan takyif yaitu:

Tamtsil berarti menyebutkan kaifiyah sifat Allah dengan mengaitkannya dengan sifat makhluk. Sedangkan takyif adalah menyebutkan kaifiyah sifat Allah tanpa mengaitkannya dengan makhluk.

Contoh tamtsil: Perkataan “tangan Allah itu seperti tangan manusia.”

Contoh takyif: Membayangkan kaifiyah (bagaimana) tangan Allah dengan suatu gambaran tertentu dengan tidak menyerupakannya dengan tangan makhluk. Maka hal ini tidak boleh.

Bagaimana membantah Mu’athilah?

Mu’athilah adalah orang yang mengingkari atau menolak sebagian asma Allah atau sifat Allah dan memalingkan nash dari makna dzahirnya. Mereka jiga disebut muawwilah.

Kaidah umum dalam membantah mereka adalah kita katakan kepada mereka bahwa pendapat mereka menyelisihi dzahir nash, menyelisihi jalan para salaf dalam memahami asma dan sifat Allah, penyelisihan mereka tidak didasari dalil yang shahih dan pada beberapa sifat bisa disertai bantahan-bantahan khusus yang keempat, atau lebih.

***

Penerjemah: Tim penerjemah Muslimah.or.id

Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Artikel Muslimah.or.id

 

Sumber: Syarah Lum’atul I’tiqad, Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin (Pendahuluan Syaikh Utsaimin sebelum menjelaskan kitab Lum’atul I’tiqad).

ShareTweetPin
Muslim AD Muslim AD Muslim AD
Umi Farikhah

Umi Farikhah

Artikel Terkait

Beriman Kepada Malaikat

Beriman kepada Malaikat

oleh Redaksi Muslimah.Or.Id
27 Maret 2008
51

Ukhty sekalian tentu telah mengetahui bahwasanya yang menyampaikan wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Malaikat...

Adakah Kita Tergesa-gesa dalam Berdo’a ?

oleh Rizki Ratih MD
28 Februari 2016
0

Pernahkah kita berulang kali berdo’a namun tak juga Allah kabulkan? Sudah berusaha semaksimal yang kita bisa namun apa yang kita...

Melegalkan Maksiat dengan Alasan Takdir

oleh Maria Nova Nurfitri
17 September 2014
3

Seringkali kita menemukan sebagian orang melegalkan kemaksiatan dengan alasan perbuatan tersebut sudah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Benarkah keyakinan seperti ini?

Artikel Selanjutnya
Problem Mencuri pada Anak-Anak

Problem Mencuri pada Anak-Anak

Komentar 6

  1. Azka says:
    14 tahun yang lalu

    Tolong dijelaskan apa bila Allah mempunyai tangan hakiki, seperti apa tangan Allah itu?
    Apakah juga ada jarinya? apa juga mempunyai kuku? apa juga kuku-kuku jari Allah itu bisa tumbuh panjang? dan bagaimana Allah memotong kuku-kuku itu? dan potongan kuku-kuku itu dimana?
    Lalu bagaimana cara memahami firman ALlah: “Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah”. Jika manusia mempaunyai tangan, dan ALlah mempunyai tangan, lalu dimana perbedaan Allah dengan manusia? Jika Allah dan manusia tdk ada bedannya, lalu kenapa kita menyembah ALlah, tdk menyembah manusia saja?

    Balas
    • www.muslimah.or.id says:
      14 tahun yang lalu

      Ukhti @Azka..
      Sepertinya ukhti belum membaca secara lengkap dan teliti artikel di atas. Karena terdapat kaidah untuk memahami asma dan sifat Allah.
      1. Sifat Allah itu hakiki.
      2. Namun terlarang menanyakan bagaimananya, bentuknya, karena tidak ada yang pernah melihatnya dan Allah sendiri tidak pernah menjelaskannya. Lalu bagaimana seseorang bisa menggambarkan sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Kita mengimani, dan mengimani itu bukan berarti tahu bentuk dan rupa sebagaimana ukhti @Azka mengimani keberadaan Allah tanpa tahu bagaimana rupa dan bentuk Alah.
      3. Kaidah lainnya adalah tidak boleh menyerupakan ALlah dengan makhluk. Jadi jangan pernah menyamakan, membayangkan dengan rupa dan bentuk makhluk. Kita tetapkan sifat bagi Allah sesuai yang Allah tetapkan tanpa menyerupainya dengan makhluk. Karena ALlah sendiri yang menetapkan sifat bagi diri-Nya.

      ?Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.? (Qs. Asy-Syuura: 11).

      Perhatikan, Allah menetapkan tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan di akhir ayat Allah menetapkan Allah maha mendengar dan maha melihat. Jangan dibayangkan mata dan telinga yang sama dengan makhluk. Padahal pada makhluk, nama yang sama tidak berarti hakikatnya sama bukan?

      Silakan baca kembali artikel di atas dan artikel2 lain yang berkaitan dengan ini. Yang perlu diingatkan kembali adalah, kewajiban kita mengimani…kalau kita belum paham, maka bukan berarti kita menolak dan mengingkari apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya.

      Balas
  2. ye says:
    13 tahun yang lalu

    Ass. Terima kasih ilmunya.
    Saya ingin tau makna dari ” ada nama tanpa sifat,ada sifat tanpa nama” itu maksudnya apa ya ? Tolong di jelaskan.
    Mohon bantuannya.
    Wass.

    Balas
    • muslimah.or.id says:
      13 tahun yang lalu

      @ Ye
      Perlu diluruskan bahwa semua nama Allah Ta’ala itu menunjukkan atas sifat Allah. Contoh nama Allah Ar-Rahman menunjukkan atas sifat Allah yaitu Ar Rahmah Yang Maha Pengasih kepada makhlukNya. Begitu juga nama Allah As- Sami’ menunjukan atas sifat Allah Ta’ala As Sam’ mendengar segala sesuatu. Dan nama-nama Allah yang lainnya semua menunjukkan atas sifat kesempurnaan bagi Allah.
      Lain halnya dengan sifat. Tidak semua sifat Allah Ta’ala itu menjadi nama Allah. Karena sifat Allah Ta’ala itu ada yang fi’liyyah dan dzatiyyah. Sifat fi’liyyah adalah perbuatan Allah Ta’ala seperti maji’ (datang), sifat nuzul (turun), sifat ityan (datang) dan perbuatan Allah Ta’ala lainnya yang tidak terhitung. Dan kita tidak boleh mengatakan karena sifat Allah maji’ maka nama Allah adalah Al-Jai, atau sifat Allah Ta’ala nuzul maka nama Allah adalah An-Nazil. Sehingga sifat fi’liyyah tidak bisa dijadikan sbg nama-nama Allah. Karena kita hanya sebatas dikhabarkan maka kita tetapkan perbuatan tersebut adalah sifat bagi Allah.

      Balas
  3. Najat says:
    13 tahun yang lalu

    Ingin minta jelaskan maksud dua tangan Allah pada ayat ini. salah satunya pada ”Dua Tangan dalam Futuhat aL-Makiyyah” kita kembali pada ayat Al-Qur’an dimana Allah berkata kepada iblis (” Apa yang menghalangimu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku sendiri? QS, 38:75)

    Balas
  4. Laila says:
    11 tahun yang lalu

    bisa dijelasin?? contoh perilaku Asmahul Husna Al – Adzim (Maha Agung) ???

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Donasi Muslimahorid Donasi Muslimahorid Donasi Muslimahorid
Logo Muslimahorid

Kantor Sekretariat Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (YPIA).

Pogung Rejo RT 14 RW 51 no. 412
Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I Yogyakarta, Indonesia, 55284.

Media Partner

YPIA | Muslim.or.id | Radio Muslim | FKIM

Buletin At Tauhid | MUBK | Mahad Ilmi | FKKA

Kampus Tahfidz | Wisma Muslim | SDIT Yaa Bunayya

Wisma Muslimah | Rumah Tahfidz Ashabul Kahfi

Ikuti Kami

  • Tentang Kami
  • Donasi
  • Pasang Iklan
  • Kontak

© 2025 Muslimah.or.id - Meraih Kebahagiaan Muslimah di Atas Jalan Salaful Ummah.

Kami Ingin Tahu Pendapat Anda Tentang Website Muslimah.or.id

No Result
View All Result
  • Akidah
  • Manhaj
  • Fikih
  • Akhlak dan Nasihat
  • Keluarga dan Wanita
  • Pendidikan Anak
  • Kisah

© 2025 Muslimah.or.id - Meraih Kebahagiaan Muslimah di Atas Jalan Salaful Ummah.