Banyak orang meremehkan dakwah tauhid dan memiliki persepsi negatif tentang tauhid. Di sisi lain mereka menggembar-nggemborkan bahwa kejayaan Islam harus dimulai dari penegakkan Khilafah Islamiyah. Ada pula kalangan yang menjadikan ekonomi sebagai syiar dakwah yang sangat diprioritaskan oleh mereka.
Tak ketinggalan pula golongan lain menjadikan sektor Islamic Science sebagai jalan pintas untuk kemajuan peradaban Islam, sedangkan mereka kurang memperhatikan pondasi tauhid umat ini!
Mungkin sempat terlintas pada benak seseorang di zaman ini bahwa di era yang katanya “high tech” ini, masih relevan kah dakwah tauhid?
Sungguh sebuah pertanyaan yang muncul dari ketidaktahuan tentang inti risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Bukankah tugas utama para pengemban risalah Allah adalah mendakwahkan tauhid dan menjauhi kesyirikan?
Ketika iman tidak lagi dipedulikan
Banyak orang barangkali menganggap bahwa maraknya pelacuran atau angka kriminalitas yang tinggi diakibatkan oleh faktor utamanya, yaitu: ekonomi yang lemah! Benarkah begitu ? Bila dilihat lebih fokus, sebenarnya berbagai perilaku menyimpang dan kemaksiatan lebih dikarenakan kelemahan iman terhadap Allah, dan minimnya penanaman akidah atau keyakinan yang benar!
Mereka tidak mengilmui dengan baik apa saja yang harus diyakini dalam Islam, perkara apa saja yang dimurkai oleh Allah. Mereka pun lebih menomorsatukan hawa nafsunya.
Ketahuilah saudariku, iman bukanlah sekedar hanya melafalkan syahadat saja. Akan tetapi, iman meliputi ucapan dan perbuatan, baik lahir maupun batin. Sebenarnya, ketidakpahaman tentang keimanan dengan baik ini nampak pada kelakuan sebagian kaum muslimin yang masih awam, seperti halnya orang Islam yang masih suka ke dukun, gemar mencari wangsit, atau percaya kepada hal-hal yang menyimpang seperti zodiak dan ramalan dukun.
Hal ini muncul karena kurangnya mereka dalam mempelajari Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan benar. Mereka mencampuradukan keimanan dan kesyirikan. Hal ini yang dilarang Allah ‘Azza wa Jalla,
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman (kesyirikan), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)
Kita terkadang tak habis pikir, sebagian anak sudah seringkali dinasihati untuk rajin salat ketika telah masuk waktunya, atau diingatkan terus-menerus agar berkata yang baik kepada orang lain. Tetapi realita anak tersebut tetap membandel dan seolah tak memperdulikan nasihat itu. Mengapa?
Di antara sebab yang terbesar adalah karena kita belum membiasakan agar iman itu benar-benar masuk ke dalam hati mereka dan menjadi bagian dari hidupnya sehari-hari.
Sesungguhnya dalam Islam, kita diperintahkan untuk menanamkan aspek tauhid kepada anak sejak dini. Perhatikanlah, bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan akidah yang benar kepada seorang anak kecil; Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Bila kamu hendak meminta, maka mintalah kepada Allah; dan bila kamu hendak memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan dia berkata bahwa hadis ini hasan shahih.)
Adalah menjadi agenda kita untuk mengajarkan keimanan yang kokoh kepada anak-anak sejak dini. Karena dengan tauhid yang kuat, niscaya anak kita akan berakhlak baik, mampu beribadah dan beramal saleh dengan ikhlas dan tampil menjadi sosok yang bertakwa dan bermanfaat bagi umat.
Tauhid adalah sumber kebahagiaan
Idealnya hanya orang mukmin dan mukminah saja yang mampu merasakan limpahan kebahagiaan sejati. Tauhid akan melahirkan ketenangan, keamanan, dan harapan yang kuat terhadap pertolongan-Nya. Sebaliknya, orang merasa seringkali hidupnya terasa sempit dan merasa menderita hidupnya, dan ini adalah parameter bahwa keimanannya belum mantap. Karena tauhid itu melahirkan kekuatan jiwa pada pemiliknya untuk selalu berharap, bertawakal kepada Allah, dan rida terhadap segala ketentuan-Nya.
Tauhid merupakan perkara yang utama dan pertama!
Apa akibatnya bila orang mendakwahkan ekonomi Islam, sementara mereka buta makna tauhid?
Bisa jadi, ia orang yang ahli dalam aspek pendidikan berbasis Islam; namun karena menyepelekan tauhid, dia terjatuh pada paham yang mengedepankan kekuatan akal!
Atau saat dia begitu antusias menjadikan jihad sebagai metode perjuangan dakwahnya, namun karena dia meremehkan pentingnya fondasi aqidah yang benar, bisa jadi dia menafsirkan ayat-ayat jihad dengan salah, bahkan mungkin memanipulasi ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk kepentingan pribadi.
Semoga dengan terus belajar tauhid, kita semakin mantap dan mampu menjalani hidup 24 jam dalam ketaatan kepada-Nya. Tanpa tauhid yang benar, kita akan tersesat.
***
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifah
Muraja’ah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah
Artikel www.muslimah.or.id
Referensi:
Al-Firqatun Najiyah (terjemah), Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Media Hidayah, cet. I, tahun 2003.