Bolehkan kita berduan, safar, dan bersalaman dengan ibu dari istri ayah? Sebelum membahasnya, maka perlu kami berikan contoh supaya lebih mudah dipahami dan tidak salah memahami. Misalnya, Ahmad adalah anak kandung dari pasangan Zaid dan Zaenab. Ahmad memiliki istri bernama Salma. Zaid memiliki istri lain bernama Fathimah, dan Fathimah memiliki ibu bernama Khadijah. Apakah Ahmad mahram dengan Khadijah yang merupakan ibu dari istri ayahnya?
Telah diketahui bahwa setiap laki-laki yang memiliki hubungan nasab denganmu —seberapa tinggi tingkatannya [ayah, kakek, buyut dan ke atas]— maka istrinya (bukan ibu kandung) haram bagimu, hanya dengan akad pernikahan saja. Sebab ia adalah ayahmu, dan wanita tersebut adalah istrinya. Maka istri ayah dan istri kakek—baik kakek dari pihak ayah maupun dari pihak ibu—seluruhnya termasuk wanita yang haram dinikahi, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali yang telah terjadi pada masa lalu.” (QS. An-Nisa: 22)
Demikian juga setiap laki-laki yang memiliki hubungan nasab denganmu —seberapa rendah tingkatannya [anak, cucu, cicit dan ke bawah]— maka istrinya haram bagimu, karena dia adalah anakmu dan wanita itu adalah istrinya. Maka istri anakmu dan istri cucumu—seberapa jauh pun tingkatan cucunya—semuanya termasuk wanita yang haram dinikahi, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,
وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ
“Dan (diharamkan bagimu) istri-istri anak-anak kandungmu.” (QS. An-Nisa: 23)
Dan juga termasuk dalam ayat ini adalah istri dari cucu, karena Nabi ﷺ pernah bersabda tentang Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma,
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ
“Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemimpin.” (HR. Bukhari no. 2074)
Padahal Al-Hasan adalah anak dari putri beliau, yaitu Fathimah radhiyallahu ‘anha.
Namun, keharaman tersebut tidak mencakup ibu dan anak dari istri ayah atau istri anak. Artinya, wanita-wanita yang haram karena hubungan pernikahan (mahram muṣāharah) hanya berlaku pada pokok hubungan, tidak mencakup cabangnya. Dalam sebagian kasus, keharaman hanya berlaku pada cabang tanpa mencakup pokoknya, menurut seluruh mazhab. (Lihat Raudhah Ath-Thalibin karya An-Nawawi, 7: 112 dan Al-Fiqh ‘ala Al-Madzāhib Al-Arba‘ah karya Al-Jazairi, 4: 62)
Sehingga seorang anak laki-laki boleh menikahi ibu dari istri ayahnya. Misalnya (dalam contoh kasus di atas), Ahmad boleh menikahi Khadijah.
Begitu pula, dia boleh menikahi putri dari istri ayahnya (yang bukan anak kandung ayahnya), yang dikenal sebagai rabībah (anak tiri). Misalnya (dalam contoh kasus di atas), Ahmad boleh menikahi anak perempuan dari Fatimah (jika Fatimah memiliki anak perempuan dari suami sebelumnya).
Demikian juga, ayah boleh menikahi ibu dari istri anaknya, dan boleh pula menikahi rabībah dari anaknya. Misalnya (dalam contoh kasus di atas), Zaid boleh menikahi ibunya Salma, dan boleh pula menikahi anak tirinya Ahmad.
Jadi, keharaman tersebut terbatas hanya pada pihak yang telah ditetapkan oleh syariat, dan selain itu kembali kepada hukum asal, yaitu boleh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala,
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ
“Dan dihalalkan bagi kalian selain yang disebutkan itu.” (QS. An-Nisa: 24)
Maka berdasarkan hal ini, ibu dari istri ayahmu bukanlah mahram bagimu (Ahmad tidak mahram dengan Khadijah). Ia adalah wanita ajnabiyah (asing) yang haram secara syariat untuk berduaan dengannya, baik dalam perjalanan maupun di tempat tinggal. Begitu juga, tidak halal bagimu untuk bersalaman dengannya, menciumnya, atau melakukan hal-hal lain yang dilarang dengan wanita asing, namun diperbolehkan dengan mahram. Wallahu Ta’ala A’lam.
Baca juga: Fatalnya Perbuatan Mencium Lawan Jenis Yang Bukan Mahram
***
Penyusun: Junaidi Abu Isa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-1101