Baca pembahasan sebelumnya: Haruskah Taqlid? (Bag. 1)
Para Imam Mazhab telah melarang taqlid
Di Indonesia, kita mengenal empat mazhab besar dalam Islam, yaitu:
Mazhab Hanafi
Dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau adalah imamnya penduduk Irak, yang lahir pada tahun 80 Hijriyah dan wafat pada tahun 150 Hijriyah. Beliau pernah berkata,
“Jika aku mengatakan suatu pendapat yang menyelisihi Kitabullah dan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam, hal. 50. Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 48)
Mazhab Maliki
Dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Malik bin Anas rahimahullah. Beliau adalah Imam Darul Hijrah Madinah, yang lahir pada tahun 93 Hijriyah dan wafat pada tahun 179 Hijriyah. Beliau pernah berkata,
“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang sejalan dengan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, maka ambillah. Dan setiap pendapatku yang tidak sejalan (menyelisihi) Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah dia.” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (1: 622), Ibnu Hazm dalam Ushulul Ahkam (6: 149), dan Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam (hal. 72). Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 48)]
Mazhab Syafi’i
Dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau dilahirkan pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah. Beliau pernah berkata,
“Setiap dari perkataanku, kemudian ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku, maka hadis Nabi (harus) diutamakan. Janganlah kalian taqlid kepadaku.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafi’i (hal. 93), Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in (4: 45-46), Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Asakir (15: 9/2) dengan sanad yang shahih. Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 52)]
Mazhab Hanbali
Dinisbatkan kepada Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah. Beliau dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah dan wafat pada tahun 241 Hijriyah. Beliau pernah berkata,
“Janganlah kalian taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah).” [Diriwayatkan oleh Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam (hal. 113) dan Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in (3: 469). Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 53)]
Demikianlah pernyataan al-Aimmah al-Arba’ah (imam mazhab yang empat) tentang pentingnya berpegang teguh kepada Sunnah dan larangan mengikuti mereka tanpa didasari ilmu. Perkara ini sudah jelas, tidak bisa dipungkiri dan dipalingkan maknanya. Sikap ini timbul karena keutamaan ilmu dan ketakwaan yang mereka miliki, di mana mereka telah menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui semua Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bisa saja mereka melakukan suatu hal yang menyelisihi Sunnah karena belum sampainya hadis yang shahih kepada mereka.
Oleh karena itu, barang siapa berpegang teguh pada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih, meskipun dia harus menyelisihi para Imam Mazhab, maka dia tidak dikatakan meninggalkan mazhab tersebut atau keluar dari jalan mereka, bahkan dia telah mengikuti mereka dan berpegang teguh pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Sedangkan orang yang meninggalkan Sunnah yang sahih dengan alasan bahwa Sunnah tersebut menyelisihi pendapat para imam, maka sesungguhnya dia telah meninggalkan perkataan para imam tersebut.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka tunduk dengan ketundukan yang sebenar-benarnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Kegelapan taqlid buta
Sebagian manusia telah terjebak dalam tipuan setan yang mengakibatkan mereka bercerai berai dan bermusuhan. Beberapa golongan orang yang taqlid terhadap suatu mazhab memusuhi golongan lainnya yang berada di luar mazhab mereka. Ada pula golongan orang yang taqlid terhadap imam mereka, tidak mau kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan mereka menganggap bahwa perbedaan pendapat di antara para imam mazhab adalah rahmat dari Allah Ta’ala yang menjadikan mereka bebas untuk memilih siapa yang akan mereka ikuti tanpa didasari ilmu sama sekali.
Dalil yang mereka bawakan untuk melegalkan hal ini adalah sebuah riwayat yang batil, namun cukup populer, yang bunyinya,
اختلاف أمتي رحمة
“Perselisihan umatku adalah rahmat.”
Riwayat ini batil, bahkan riwayat ini tidak ada sumbernya. Oleh karena itu, riwayat ini jelas tidak dapat digunakan sebagai hujjah. (Lihat penjelasan Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, no. 57, 58, 59, dan 61; dan Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 58-60)
Adapun mengenai perbedaan pendapat di antara para ulama, hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat keilmuan yang dimiliki seseorang. Dan Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Sehingga apabila mereka berijtihad dan ijtihad mereka itu benar, mereka akan mendapatkan dua pahala, untuk kebenaran ijtihad mereka dan untuk usaha yang telah mereka tempuh dalam mencapai kebenaran ijtihad tersebut. Namun sekalipun ijtihad mereka itu salah, mereka tetap mendapatkan satu pahala untuk usaha yang telah mereka kerahkan dalam upaya mencapai kebenaran dalam ijtihad mereka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Apabila seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia berijtihad dan ijtihadnya salah (keliru), maka dia mendapatkan satu pahala.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Bukhari no. 7342, Muslim no. 1716, Abu Dawud no. 3574, Ibnu Majah no. 2314, Al-Baihaqi 10: 118-119, dan Ahmad 4: 198, 204, dari ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ’anhu)
Para muqallidun (orang-orang yang taqlid) menganggap bahwa perbedaan pendapat antar-mazhab bukan untuk di-tarjih (dibandingkan untuk diketahui pendapat mana yang lebih dekat dengan kebenaran), melainkan untuk ditetapkan sebagai kebenaran menurut versi mereka.
Hanya saja, para imam mujtahid akan tetap mendapatkan pahala untuk ijtihad mereka, sekalipun ijtihad mereka itu salah. Berbeda dengan orang-orang yang taqlid kepada mereka tanpa didasari ilmu, mereka tidak akan mendapatkan pahala apapun juga. Mereka senantiasa tenggelam dalam sikap jumud (kaku) dan ta’ashshub madzhabiyyah (fanatik terhadap mazhab tertentu). Itulah orang-orang yang melakukan taqlid buta, dikarenakan mata hati mereka telah buta sehingga mereka enggan menerima kebenaran.
Sikap seperti inilah yang digambarkan oleh Imam Ath-Thahawi rahimahullah dalam keterangannya, “Tidaklah taqlid kecuali orang yang fanatik atau bodoh.” (Ucapan ini dibawakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam Rasmul Mufti, 1: 23. Lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 45)
Orang-orang yang taqlid itu enggan menerima kebenaran; karena mereka khawatir jika mereka meninggalkan pendapat imamnya, maka mereka tidak lagi dikatakan sebagai pengikut imamnya atau bahkan mereka dianggap telah mencela imamnya. Padahal dalam sebuah hadis disebutkan,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ
“Mencela seorang Muslim adalah (perbuatan) fasik.” (Hadis sahih, diriwayatkan oleh Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu]
Ketika membawakan hadis tersebut, mereka tidak memahami betul makna sesungguhnya yang terkandung dalam hadis itu. Dan bagaimana mereka dapat lebih mengkhawatirkan sikap celaan terhadap imamnya, tetapi mereka tidak mengkhawatirkan perbuatan durhaka yang telah mereka lakukan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi rujukan imam mereka juga…???
Karena alasan itulah, mereka tetap teguh untuk mengikuti seluruh pendapat imam mereka, tanpa adanya upaya untuk mencari kebenaran. Dengan demikian, mereka tidak hanya berhukum dengan pendapat yang benar dari imamnya, tapi mereka juga mengambil pendapat yang salah dan berhukum dengannya. (Lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 70-73)
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma pernah berkata, “Celakalah orang-orang yang mengikuti kesalahan seorang alim. Si alim berpendapat dengan ra’yu-nya (akalnya), lalu dia bertemu dengan orang yang lebih alim darinya tentang (Sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian orang tersebut memberitahukannya (pendapat yang lebih benar dari pendapatnya), maka si alim tersebut mengikuti pendapat yang benar dan meninggalkan pendapatnya yang salah. Sedangkan para pengikutnya (tetap) berhukum dengan pendapat si alim yang salah tersebut.” (Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2: 165-166 dan I’lamul Muwaqqi’in, 3: 455)
Taqlid buta amat berbahaya bagi kehidupan umat karena dapat menimbulkan sikap jumud (kaku) yang dapat membekukan peran akal sebagai aset untuk berpikir. Selain itu, taqlid buta juga menciptakan sikap ta’ashshub madzhabiyyah (fanatik terhadap mazhab tertentu) yang dapat memecah belah umat dan menimbulkan perselisihan yang dilandasi oleh hawa nafsu. Sikap seperti ini tidak jauh berbeda dengan sikap para penganut firqah (golongan) sesat, seperti Syi’ah Rafidhah dan Khawarij.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Barang siapa yang ta’ashshub (fanatik) kepada seseorang, maka kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) yang ta’ashshub kepada salah seorang sahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. Ini adalah jalannya ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang mereka telah keluar dari syariat dengan kesepakatan umat dan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Lihat Mukhtashar Fatawa Mishniyyah, hal. 46-47)
Senada dengan Syaikhul Islam di atas, Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafy rahimahullah pun pernah berkata, “Barang siapa yang ta’ashshub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan imam yang lainnya, maka dia seperti orang yang ta’ashshub kepada seorang sahabat dan mengesampingkan sahabat yang lainnya. Seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) yang ta’ashub kepada ‘Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. Ini adalah jalannya para pengikut hawa nafsu.” (Lihat Al-Ittiba’, hal. 80)
Demikianlah, apabila seseorang telah mencapai derajat taqlid buta, maka sesungguhnya dia telah menyimpang dari jalan keselamatan dan cenderung kepada jalan kesesatan yang juga dipilih oleh para ahli bid’ah dan ahli ahwa’ (pengikut hawa nafsu).
[Bersambung]
***
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm Azh-Zhahiri, cetakan Maktabah Athif, Kairo.
Al-Masa’il Jilid 3, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Darus Sunnah, Jakarta.
Antara Taqlid dan Ittiba’, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, dimuat dalam Majalah Al-Furqon Edisi 2 Tahun V, Gresik.
I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin Jilid 3 dan 4, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
Jami Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi Jilid 1 dan 2, Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdil Barr, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
Kitabul ‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Tsuraya, Riyadh.
ditunggu sambungan artikelnya . jazaakumullohu khoiron
jazaakillah khoyroo…selalu menunggu artikel terbaru dari Muslimah.or.id…
afwan ana sangat menanti sambungan artikel tesebut
Bismillaah..
Semoga dg ilmu, kaum mislimin terbebas dari belenggu taqlid.
Barakallahufikum