Menjauhi kefasikan (maksiat) dalam ibadah haji
Kefasikan mencakup semua perkara yang mengeluarkan seorang hamba dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan mengerjakan sesuatu dari perbuatan maksiat dan dosa. Sesungguhnya haji mabrur tidak akan didapatkan apabila telah bercampur dengan dosa dan dinodai oleh kemaksiatan. Oleh karena itu, wajib bagi orang yang berhaji dan menginginkan kebaikan untuk dirinya sendiri, agar ia menjauhi segala bentuk dosa dan maksiat dalam ibadah hajinya.
Termasuk dalam perkara di atas sebagaimana yang dinasihatkan oleh para ulama adalah dosa-dosa yang dikerjakan seorang muslim sebelum ia menunaikan ibadah haji, yang ia telah terbiasa mengerjakannya. Wajib untuk bertobat dari dosa-dosa tersebut apabila ia menginginkan haji yang mabrur.
Nasihatku untukmu yang telah berhaji agar engkau menyempurnakan hajimu dengan tobat yang jujur dan sungguh-sungguh kepada Allah dari dosa-dosamu dan kesalahan-kesalahanmu agar engkau mendapatkan pahala yang agung dan ganjaran yang mulia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
من حج لله فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه
“Barang siapa yang mengerjakan ibadah haji untuk Allah dan ia tidak berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan, maka ia kembali seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521)
Menjauhi perdebatan ketika berhaji
Ibadah haji adalah tempat belajar yang paling mulia untuk menerapkan adab-adab dan akhlak. Agar seorang muslim mengembangkan dirinya dengan adab-adab yang mulia dan interaksi yang baik, di antaranya menjauhi perdebatan dan perselisihan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ
“Janganlah kalian berdebat ketika berhaji.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Asy-Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan perdebatan yaitu debat kusir, perseteruan, dan perselisihan yang menyebabkan timbulnya keburukan dan menimbulkan permusuhan. Sedangkan maksud dari ibadah haji adalah kehinaan dan ketundukan kepada Allah, serta mendekatkan diri kepada-Nya dengan segala bentuk pendekatan yang memungkinkan, bersih dari terjerumus ke dalam keburukan. Dengan demikian, seseorang akan memperoleh haji yang mabrur, yang balasannya adalah surga. Walaupun dosa-dosa yang kita sebutkan di atas dilarang di manapun dan kapanpun, namun ia menjadi lebih terlarang lagi pada saat melaksanakan ibadah haji.”
Berbuat baik dan memuliakan jemaah haji
Dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الحاج والمعتمر وفد الله دعاهم فأجابوه وسألوه فأعطاهم
“Orang yang berhaji dan berumrah adalah utusan Allah. Allah memanggil mereka dan mereka menjawab panggilan itu, mereka meminta (berdoa) kepada-Nya dan Allah mengabulkan permintaan mereka.” (HR. Ad-Daruquthni no. 3112)
Di antara tanda haji mabrur adalah orang yang berhaji melakukan kebaikan kepada utusan Allah dan tamu-tamu-Nya dengan berbagai macam kebaikan, baik berupa memberikan makan, minum, menebar salam, berkata lemah lembut, memberikan petunjuk kepada yang tersesat, mengajarkan yang tidak mengetahui hukum haji, membantu yang membutuhkan, dan bentuk-bentuk kebaikan lainnya.
Termasuk berbuat baik kepada jemaah haji adalah tidak mengganggu mereka. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat yang mengerjakan ibadah haji,
أيها الناس السكينة السكينة
“Wahai manusia, tenanglah! Tenanglah!” (HR. Abu Dawud no. 1935 dan At-Tirmidzi no. 885)
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat manusia berdesak-desakan saat melempar jumrah, beliau bersabda kepada mereka,
يا أيها الناس لا يقتل بعضكم بعضا
“Wahai manusia, janganlah sebagian kalian membunuh yang lain.” (Shahih Abu Dawud no. 1966)
Hendaklah menunaikan ibadah haji dengan harta yang halal
Di antara karakteristik haji mabrur adalah bersumber dari harta yang baik. Wajib bagi orang yang berhaji untuk memilih nafkah yang baik dan sumber yang halal untuk hajinya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ان الله طيب لايقبل الا طيبا
“Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik-baik.” (HR. At-Tirmidzi no. 2989)
Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Dalam hadis ini terdapat isyarat bahwa suatu amalan itu tidak diterima dan tidak akan berkembang kebaikannya kecuali dari sumber yang halal. (Juga isyarat) bahwa sumber yang haram akan merusak amal ibadah itu dan mencegahnya untuk diterima.”
Asy-Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hendaknya pelaksanaan haji bersumber dari harta yang mubah, bukan dari harta yang haram; bukan bersumber dari riba, bukan dari hasil menipu, bukan dari hasil judi dan yang lainnya di antara sumber-sumber yang diharamkan. Akan tetapi dari harta yang halal.”
Seyogyanya bagi orang yang berhaji yang mengharapkan hajinya diterima agar ia bersemangat untuk mendapatkan sumber harta dan nafkah yang halal.
Memperbanyak zikir mengingat Allah ketika berhaji
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sebaik-baik orang yang mengerjakan segala macam amal saleh adalah yang paling banyak mengingat Allah. Orang yang paling baik ketika berpuasa adalah yang paling banyak mengingat Allah ketika mereka berpuasa. Orang-orang yang paling baik sedekahnya adalah yang paling banyak mengingat Allah ketika bersedekah. Orang yang paling baik berhaji adalah orang yang paling banyak mengingat Allah ketika berhaji. Begitu pula dengan amal ibadah lainnya.”
Kaidah yang agung ini mencakup semua jenis ibadah. Maka, orang yang paling agung ibadahnya pada setiap ketaatan adalah yang paling banyak mengingat Allah (berzikir) dalam ketaatannya. Jemaah haji yang paling banyak pahalanya di sisi Allah adalah yang paling banyak berzikir kepada Allah di dalam hajinya. Sedangkan jemaah umrah yang paling banyak pahalanya di sisi Allah adalah yang paling banyak berzikir kepada Allah pada ibadah umrahnya. Begitulah pada setiap ketaatan yang lain.
Oleh karena itu, jemaah haji tidaklah berada di atas derajat yang sama dalam haji dan pahala mereka karena di antara jemaah ada yang memperbanyak zikir, ada yang pertengahan, dan ada yang sedikit mengingat Allah. Adapula yang lalai, terbuai, dan berpaling dari keutamaan ini. Allahul musta’an.
Hendaknya kita bersemangat untuk merenungi rahasia-rahasia haji dan ibrah-nya serta manfaat-manfaatnya, baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Merenungi manfaat-manfaat haji dan ibrah-nya merupakan sebab-sebab mendapatkan haji mabrur dan keistikamahan. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
لِّيَشْهَدُوا۟ مَنَٰفِعَ لَهُمْ
“Agar mereka menyaksikan manfaat-manfaatnya.” (QS. Al-Hajj: 28)
Huruf lam dalam ayat di atas adalah lam at-ta’lil, yaitu lam yang menjelaskan tujuan atau alasan mengapa suatu perbuatan dilakukan atau diperintahkan. Hal ini karena ayat tersebut berkaitan dengan firman Allah Tabaraka wa Ta’ala sebelumnya,
وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Yaitu mereka datang untuk mengerjakan ibadah haji dengan berjalan kaki, mengendarai kendaraan agar mereka menyaksikan dan menghadiri manfaat-manfaat yang kembali kepada mereka. Karena ibadah haji penuh dengan manfaat-manfaat yang agung, baik secara agama maupun duniawi.
Allah menjadikan konteks manfaat di atas menjadi nakirah (umum) sebagai bentuk isyarat akan banyaknya dan macam-macamnya. Maka sepantasnya bagi orang yang berhaji untuk menyaksikan berbagai manfaat yang agung, pelajaran yang beragam, nasihat yang menyentuh dalam ibadah haji, agar semua itu bisa menghidupkan hati mereka, menguatkan iman mereka, menyucikan jiwa mereka, dan memperbaiki keadaan mereka.
[Selesai]
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Diringkas dari kitab ‘Asyru Sifatin Li Al-Hajj Al-Mabrur, karya Syekh ‘Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.