Haji mabrur merupakan dambaan setiap insan, impian dan harapan bagi mereka yang telah banyak berkorban, berlelah letih mengarungi perjalanan yang panjang, yang membutuhkan bekal materi, kekuatan fisik dan mental serta kesabaran. Apa itu haji mabrur dan bagaimana karakteristik orang-orang yang mendapatkannya?
Makna haji mabrur
Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampur dengan riya’, perkataan kotor, perbuatan keji, dan ditunaikan dengan sumber harta yang halal.”
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling benar dan paling masyhur bahwa haji yang mabrur adalah haji yang tidak tercampur (ternodai) oleh dosa; diambil dari kata al-birr yang berarti ketaatan.”
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Semua pendapat ini maknanya berdekatan, yaitu maksud haji mabrur adalah haji yang menerapkan semua hukum-hukumnya, dikerjakan sesuai dengan yang diperintahkan dengan kondisi terbaik.”
Karakteristik haji mabrur
Ikhlas karena Allah
Perkara paling wajib yang harus dilakukan oleh orang yang menginginkan hajinya mabrur adalah memperhatikan keikhlasan di dalam hajinya untuk Allah. Mulai dari pelaksanaan haji sampai selesai.
Ini adalah tuntutan yang sangat berat; oleh karena itu, ketika Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memulai ibadah haji, beliau berdoa,
اللَّهُمَّ حَجَّةٌ لَا رِيَاءَ فِيهَا وَلَا سُمْعَةَ
“Ya Allah, haji yang tidak ada riya’ dan sum’ah di dalamnya.” (HR. At-Tirmidzi di dalam Asy-Syamail no. 341 dan Ibnu Majah no. 2890)
Maka riya’ dan sum’ah, keduanya perkara yang paling menodai keikhlasan dan menghapus pahala amal ibadah karena Allah tidaklah menerima sebuah amalan kecuali amalan tersebut harus suci dan bersih, sebagaimana yang Allah firmankan di dalam hadis qudsi,
أَنَا أَغْنى الشُّرَكاءِ عَن الشِّرْكِ؛ مَن عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِيَ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh dari persekutuan. Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan, namun menyekutukan Aku di dalamnya dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan ia dan sekutunya.” (HR. Muslim no. 2985)
Sesuai dengan petunjuk Nabi
Di antara karakteristik haji yang mabrur adalah pelaksanaan rukun-rukun haji harus sesuai dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لتأخذوا مناسككم
“Hendaklah kalian mengambil (dariku) cara-cara manasik kalian.” (HR. Abu Dawud no. 1970 dan Ahmad no. 15041)
Maka seyogyanya bagi orang yang telah berhaji untuk mengetahui bahwa keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat hanya didapatkan dengan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengan sunahnya. Selain itu juga, dengan mengetahui bahwa setiap amalan yang dikerjakan dengan menyelisihi petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut tertolak dan tidak diterima. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Siapapun yang mengerjakan suatu amalan yang tidak di atas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Oleh karena itu, para sahabat adalah orang yang paling berpegang teguh dalam mengikuti sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, petunjuknya, dan tata cara di dalam ibadah haji.
Merealisasikan ketakwaan kepada Allah dalam melaksanakan ibadah haji
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27)
Allah telah memperbanyak wasiat (perintah) untuk bertakwa ketika menyebutkan ayat-ayat haji. Dikarenakan dalam pelaksanaan ibadah haji, banyak sekali sebab-sebab takwa yang tidak bisa didapatkan pada ibadah yang lain. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah yang menjelaskan tentang haji,
وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰب
“Dan berbekallah kalian. Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Hendaklah kalian bertakwa kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Allah Jalla wa ‘Ala menutup ayat ini dengan firman-Nya,
وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dan bertakwalah kalian kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa hanya kepada-Nya-lah kalian kembali.” (QS. Al-Baqarah: 203)
Di dalam surah Al-Hajj ayat ke-32, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”
Dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla,
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُم
“Tidaklah sampai kepada Allah daging-dagingnya, tidak pula darah-darahnya. Akan tetapi yang sampai kepada–Nya adalah ketakwaan kalian.” (QS. Al-Hajj: 37)
Menjauhi perkataan kotor ketika menunaikan ibadah haji
Orang yang menginginkan haji mabrur, wajib baginya untuk menjauhi segala hal yang mengandung perkataan kotor.
Ar-rafats adalah segala perkara yang berkaitan dengan jima’ atau yang mengantarkan kepada jima’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَٰتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ
“Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berbuat rafats, fusuq, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Syekh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Yaitu wajib bagi kalian untuk mengagungkan ihram haji. Terkhusus yang terjadi pada bulan-bulan haji. Dan wajib bagi kalian untuk menjaga ibadah haji tersebut dari segala hal yang merusak dan mengurangi pahalanya. Di antaranya adalah ar-rafats yaitu jima’ dan pendahulunya, baik perbuatan dan perkataan, terlebih ketika berada di dekat kaum perempuan.”
[Bersambung]
Baca juga: Keutamaan Haji dan Akhlak Seorang yang Berhaji
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Diringkas dari kitab ‘Asyru Sifatin Li Al-Hajj Al-Mabrur, karya Syekh ‘Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr.