Anjuran untuk berbuat baik kepada anak yatim
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَأَمَّا ٱلْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.” (QS. Adh-Dhuha: 9)
Ustaz Firanda Andirja hafizhahullah mengatakan dalam buku beliau, Tafsir Juz Amma (hal. 451-452), “Ayat ini merupakan ayat yang paling dimengerti oleh Nabi. Beliau sangat mengetahui kondisi seorang anak yatim karena beliau hidup dalam keadaan yatim pada masa kecil. Keyatiman Nabi adalah yatim yang sempurna. Beliau sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Bahkan beliau ditinggal mati oleh ibunya ketika berumur enam tahun, saat mulai merasakan kasih sayang seorang ibu. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ في الجنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Aku dan orang yang mengurus anak yatim berada di surga seperti ini (beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya yaitu telunjuk dan jari tengah).” (HR. Bukhari no. 6005)
Menghormati orang yang meminta kepada kita, baik dalam hal ilmu maupun harta
Firman Allah,
وَأَمَّا ٱلسَّآئِلَ فَلَا تَنْهَرْ
“Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” (QS. Adh-Dhuha: 10)
Yakni, sebagaimana engkau dulunya bingung hingga Allah memberikan petunjuk kepadamu, maka janganlah engkau menghardik orang yang meminta bimbingan dalam masalah ilmu kepadamu. (Tafsir Ibnu Katsir, hal. 634-635)
Ayat ini berlaku umum dan bukan hanya berkaitan dengan orang yang bertanya tentang ilmu. Ibnu Ishaq rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Yakni, janganlah engkau bertindak sewenang-wenang. Janganlah bersikap sombong, dan janganlah berlaku buruk dan kasar terhadap kaum lemah dari hamba-hamba Allah.” Qatadah rahimahullah berkata, “Yakni, perlakukanlah orang miskin dengan lembut dan penuh kasih sayang.” (Tafsir Al-Baghawi, 4: 500)
Bentuk syukur terhadap nikmat
Sebagai penutup surat ini, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).” (QS. Adh-Dhuha: 11)
Para ulama menyatakan bahwa salah satu bentuk bersyukur dengan menyebut nikmat dapat diwujudkan melalui hati, lisan, dan anggota badan. Dengan hati, kita mengingat dan mengakui bahwa semua kenikmatan yang kita rasakan berasal dari Allah. Diri kita tidak punya andil dalam mendatangkan kenikmatan-kenikmatan tersebut.
Setelah mewujudkan pengakuan hati, kita mengucapkan dengan lisan, seperti dengan mengucapkan ‘Alhamdulillah’ atau ucapan pujian lainnya. Salah satu bentuk lain dari bersyukur dengan lisan adalah menyebutkan atau menceritakannya kepada orang lain. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من أُبْلِيَ بَلَاءً فَذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ
“Barangsiapa diberi suatu pemberian, lalu dia membicarakannya, maka sungguh ia telah mensyukurinya. Dan barangsiapa menyembunyikannya (tidak membicarakannya), maka sungguh ia telah mengkufurinya.” (HR. Abu Dawud no. 4813)
Akan tetapi, hendaknya kita menceritakannya dalam konteks umum (tidak secara detail) untuk menghindari hasad yang mungkin saja muncul dari orang lain atau hanya menceritakannya kepada orang-orang terdekat ataupun yang kita percaya. Hendaknya juga menghindari rasa sombong, riya, dan pamer.
Selanjutnya, kita menampakkan nikmat tersebut melalui anggota badan. Yaitu dengan berpenampilan bagus, bersih, dan wajar. Selain itu, salah satu bentuk bersyukur kepada Allah dengan anggota badan adalah dengan melaksanakan salat. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salat, beliau berdiri hingga kedua telapak kaki beliau bengkak. Lalu, ‘Aisyah bertanya, “Mengapa engkau melakukan semua ini, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan ampunan bagimu atas dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Lalu, beliau menjawab,
أَفَلاَ أَكُونَ عَبدًا شَكُورًا
“Apakah tidak boleh jika aku termasuk hamba yang bersyukur.” (HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820)
Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim ketika mensyukuri nikmat Allah pada dirinya. Ia mensyukurinya melalui hati, lisan, dan anggota badan. Hal itu karena masih banyak pula di antara kita yang tidak bersyukur. Allah berfirman,
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِىَ ٱلشَّكُورُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’: 13)
Hanya kepada Allah kita memohon taufik.
[Selesai]
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir Jakarta, Cetakan Kedelapan Rabi’ul Awwal 1435/ Januari 2014.
Tafsir Juz Amma Syaikh ‘Utsaimin, Darul Falah Jakarta, Cetakan Pertama 2007.
Tafsir Juz Amma, Ustadz Dr. Firanda Andirja, Cetakan Pertama Oktober 2018.
Shahih Al-Bukhari, Pustaka As-Sunnah Jakarta, Cetakan Pertama April 2010.