Pembelaan dan kasih sayang Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ
“Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tiada (pula) benci kepadamu.” (QS. Adh-Dhuha: 3)
Allah menggunakan kata رَبُّكَ (Rabbmu). Nama Allah, Ar-Rabb, mengandung sifat rububiyah dan tarbiyah. Seolah-olah Allah ingin menenangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. As-Sa’di mengatakan, “Allah tidak pernah meninggalkanmu sejak Allah perhatian terhadapmu. Allah tidak pernah melupakanmu sejak mendidikmu dan memperhatikanmu. Bahkan Allah senantiasa mendidikmu dengan tarbiyah yang terbaik. Allah juga meninggikan derajatmu tahap demi tahap.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 928)
Allah tabaraka wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَٱصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami.” (QS. At-Thur: 48)
Penglihatan Allah senantiasa mengawasi, memelihara, melindungi, dan menjaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla tidak meninggalkan Nabi, tetapi justru meliputi beliau dengan ilmu, rahmat, perhatian, dan lain sebagainya yang berkonsekuensi meninggikan beliau di dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah,
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (QS. Al-Insyirah: 4)
Hal ini merupakan bantahan akan prasangka orang-orang musyrik terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah meninggalkan beliau, yang hal ini juga merupakan sebab turunnya surah ini.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Jundub, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, sehingga beliau tidak bangun (untuk salat) selama satu malam atau dua malam. Lalu datang seorang perempuan (dikatakan ia adalah Ummu Jamil binti Harb, istri Abu Lahab), dia berkata, ‘Hai Muhammad, aku rasa setanmu (yakni malaikat pembawa wahyu) telah meninggalkanmu.’ Lalu Allah menurunkan ayat,
وَٱلضُّحَىٰ * وَٱلَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ * مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ
“Demi waktu dhuha (ketika matahari sepenggalah naik). Dan demi malam apabila telah sunyi. Rabbmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu.” (HR. Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Jarir)
Kemudian Allah berfirman, وَمَا قَلَىٰ (yang maknanya), ‘Dan Allah tidak membencimu’. Pada bagian ini, Allah tidak menggunakan kata ganti untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menjadi وَمَا قَلَيٰكَ ‘Dan Allah tidak membencimu’. Akan tetapi, Allah mengatakan وَمَا قَلَىٰ ‘Dan Allah tidak membenci’. Hal ini karena kalimat ‘Allah membencimu’ itu berat didengar oleh Nabi, meskipun kalimat tersebut memang ditujukan kepada beliau. Lalu, tatkala disebutkan bahwa Allah tidak membenci Nabi, maksudnya adalah Allah membela dan memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Salah satu kaidah dalam memahami sifat-sifat Allah adalah tidak satu pun sifat yang dinafikan dari Allah, kecuali melazimkan kesempurnaan sifat dari lawannya. Pada ayat ini, Allah menafikan sifat benci kepada Nabi untuk memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal tersebut menunjukkan bahwa Allah mencintai Nabi. Bahkan manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab itu, Allah memilih beliau untuk mengemban risalah yang paling agung, untuk umat yang paling utama dan menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam penutup para nabi. Sehingga tidak ada lagi nabi sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khalilur Rahman (Kekasih Ar-Rahman). Dimana Khalil (kekasih) adalah bentuk cinta yang paling tinggi. Tidak ada di antara para hamba Allah ‘azza wa jalla sejauh yang kita ketahui yang merupakan kekasih Allah kecuali Ibrahim dan Muhammad ‘alaihimash shalatu was salam. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إن الله اتخذني خَليلاً كما اتخذ إِبْرَاهِيْمَ خليلا
“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku kekasih sebagaimana telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih.” (HR. Muslim no. 532)
Kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang senantiasa naik setiap saat di sisi Allah Ta’ala
Kemudian, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ
“Dan sungguh yang kemudian itu lebih baik bagimu dari yang permulaan.” (QS. Adh-Dhuha: 4)
As-Sa’di mengatakan inilah dalil bahwa tingkatan atau level Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu naik setiap saat. Seiring berjalannya waktu, makin tinggi pula kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah dan semakin dekat dengan-Nya. Dengan demikian, kedudukan Nabi di sisi Allah menjadi sempurna tatkala beliau meninggal dunia, sehingga kedudukan beliau pun lebih afdhal. (Tafsir As-Sa’di, hal. 928)
Hal ini tidak berarti bahwa keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang telah meninggal dunia- menjadikan suatu doa lebih mustajab jika meminta kepada beliau agar berdoa kepada Allah. Anggapan ini tidak pernah ada dalam benak para sahabat. Bahkan, berdoa dengan cara seperti itu tidak pernah dilakukan oleh para sahabat karena mereka menganggap itu tidak berguna.
Akhirat lebih baik dan lebih utama daripada dunia
Terkait ayat keempat dalam surah Adh-Dhuha, sebagian ulama mengatakan bahwasannya ayat ini merupakan dalil akan keutamaan kehidupan akhirat daripada kehidupan di dunia. Ibnu Katsir mengatakan, وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ “Dan sungguh, yang kemudian (akhirat) itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan (dunia).” Yakni, alam akhirat jelas lebih baik bagimu daripada alam dunia ini.
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling zuhud di dunia, dan orang yang paling semangat dalam meninggalkan dunia, sebagaimana yang sudah diketahui dengan jelas dalam biografi hidup beliau. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disuruh memilih di akhir masa hidupnya, antara kekal di dunia sampai dunia berakhir kemudian masuk surga, dengan berpulang ke sisi Allah subhanahu wa ta’ala, maka beliau memilih apa yang ada di sisi Allah daripada dunia yang hina ini. (Tafsir Ibnu Katsir, 9: 631)
Syaikh ‘Utsaimin mengatakan, “Demikian karena di dalam akhirat terdapat (kenikmatan) yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbetik dalam hati manusia. Dan tempat tongkat kecil salah seorang dari kita di dalam surga lebih bagus daripada dunia dengan segala isinya. Hal itu sebagaimana disebutkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Juz Amma Syaikh ‘Utsaimin, hal. 342)
[Bersambung]
Kembali ke bagian 1 Lanjut ke bagian 3
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir Jakarta, Cetakan Kedelapan Rabi’ul Awwal 1435/ Januari 2014.
Tafsir Juz Amma Syaikh ‘Utsaimin, Darul Falah Jakarta, Cetakan Pertama 2007.
Tafsir Juz Amma, Ustadz Dr. Firanda Andirja, Cetakan Pertama Oktober 2018.
Shahih Al-Bukhari, Pustaka As-Sunnah Jakarta, Cetakan Pertama April 2010.