Asal penamaan
Dinamakan bulan Rajab, dari kata rajjaba – yurajjibu yang artinya mengagungkan. Bulan ini dinamakan Rajab karena bulan ini diagungkan masyarakat Arab. (Keterangan Al-Ashma’i, dikutip dari Lathaiful Ma’arif, hal. 210)
Keutamaan bulan Rajab
Bulan Rajab termasuk salah satu empat bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَات وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus.” (QS. At-Taubah: 36)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ، الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى، وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana kondisinya, ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan, di antaranya empat bulan haram. Tiga bulan ber-turut-turut: Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan satu bulan: Rajab suku Mudhar, yaitu bulan antara Jumadi (tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keterangan: Disebut “Rajab suku Mudhar” karena suku Mudhar adalah suku yang paling menjaga kehormatan bulan Rajab, dibandingkan suku-suku yang lain. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi batasan: antara Jumadil (tsaniyah) dan Sya’ban, sebagai bentuk menguatkan makna. (Umdatul Qori, 26: 305)
Ada yang menjelaskan, disebut “Rajab suku Mudhar” untuk membedakan dengan bulan yang diagungkan suku Rabi’ah. Suku Rabi’ah menghormati bulan Ramadan, sementara suku Mudhar mengagungkan bulan Rajab. Karena itu, bulan ini dinisbahkan kepada suku Mudhar.
Hadis dhaif terkait bulan Rajab
Hadis: “Sesungguhnya di surga ada sebuah sungai, namanya sungai Rajab. Airnya lebih putih dari pada susu, lebih manis dari pada madu. Siapa yang puasa sehari di bulan Rajab, maka Allah akan memberi minum orang ini dengan air sungai tersebut.” (Riwayat Abul Qosim At-Taimi dalam At-Targhib wat Tarhib, Al-Hafidz Al-Ashbahani dalam kitab Fadlus Shiyam, dan Al-Baihaqi dalam Fadhail Auqat. Ibnul Jauzi mengatakan dalam Al-Ilal Al-Mutanahiyah, “Dalam sanadnya terdapat banyak perawi yang tidak dikenal, sanadnya dhaif secara umum, namun tidak sampai untuk dihukumi palsu.”)
Hadis: “Allahumma baarik lanaa fii rajabin wa sya’baana wa ballighnaa Ramadhaana.” (Riwayat Ahmad, dan di sanadnya terdapat perawi Zaidah bin Abi Raqqad, dari Ziyadah An-Numairi. Tentang para perawi ini, Imam Bukhari mengatakan, “Munkarul hadis.” An-Nasa’i mengatakan, “Munkarul hadis.” Sementara Ibn Hibban menyatakan bahwa hadisnya tidak bisa dijadikan dalil.)
Hadis: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah puasa setelah Ramadan, selain di bulan Rajab dan Sya’ban.” (Riwayat Al-Baihaqi. Ibnu Hajar mengatakan bahwa ini adalah hadis munkar, disebabkan adanya perawi yang bernama Yusuf bin Athiyah, dia orang yang dhaif sekali. [Tabyinul Ajbi, hal. 12])
Hadis: “Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadan adalah bulan umatku.” (Riwayat Abu Bakr An-Naqasy. Al-Hafidz Abul Fadhl Muhammad bin Nashir mengatakan: An-Naqasy adalah pemalsu hadis, pendusta. Ibnul Jauzi, As-Shaghani, dan As-Suyuthi menyebut hadis ini dengan hadis maudhu’.)
Hadis: “Keutamaan Rajab dibanding bulan yang lain, seperti keutamaan Al-Qur’an dibanding dzikir yang lain.” (Ibnu Hajar mengatakan, “Perawi hadis ini ada yang bernama As-Saqathi, dia adalah penyakit dan orang yang terkenal sebagai pemalsu hadis.”)
Hadis: “Rajab adalah bulan Allah Al-Asham. Siapa yang berpuasa sehari di bulan Rajab, atas dasar iman dan ihtisab (mengharap pahala), maka dia berhak mendapat rida Allah yang besar.” (Hadis palsu, sebagaimana penjelasan Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah)
Hadis: “Barangsiapa yang berpuasa tiga hari bulan Rajab, Allah catat baginyu puasa sebulan penuh. Siapa yang puasa tujuh hari maka Allah menutup tujuh pintu neraka.” (Hadis maudhu’, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at, 2: 206)
Hadis: “Siapa yang shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, setelah itu dia salat dua puluh rakaat, setiap rakaat dia membaca Al-Fatihah dan surat Al-Ikhlas sekali, dan dia melakukan salam sebanyak sepuluh kali. Tahukah kalian apa pahalanya? ….lanjutan hadis: Allah akan menjaga dirinya, keluarganya, hartanya, dan anaknya. Dia dilindungi dari siksa kubur, …” (Hadis maudhu’, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’at, 2: 123)
Hadis: “Siapa yang puasa di bulan Rajab dan salat empat rakaat… maka dia tidak akan mati sampai dia melihat tempatnya di surga atau dia diperlihatkan.” (Hadis maudhu’, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’at, 2: 124; Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hal. 47)
Hadis Shalat Raghaib: “Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku, dan Ramadan bulan umatku… namun janganlah kalian lupa dengan malam Jumat pertama bulan Rajab, karena malam itu adalah malam yang disebut oleh para malaikat dengan Ar-Raghaib. Di mana apabila telah berlalu sepertiga malam, tidak ada satupun malaikat yang berada di semua lapisan langit dan bumi, kecuali mereka berkumpul di ka’bah dan sekitarnya. Kemudian Allah melihat kepada mereka, dan berfirman, “Wahai malaikat-Ku, mintalah apa saja yang kalian inginkan.” Maka mereka mengatakan, “Wahai Tuhan kami, keinginan kami adalah agar engkau mengampuni orang yang suka puasa Rajab.” Allah berfirman, “Hal itu sudah Aku lakukan.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berpuasa hari Kamis pertama di bulan Rajab, kemudian salat antara Maghrib sampai Isya’ – yaitu pada malam Jumat – dua belas rakaat…'” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at, 2: 124-126; Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ujbi, hal. 22-24; dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hal. 47-50)
Hadis: “Barangsiapa yang salat pada malam pertengahan bulan Rajab, sebanyak 14 rakaat, setiap rakaat membaca Al-Fatihah sekali dan surat Al-Ikhlas 20 kali…..” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at, 2: 126; Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ujbi, hal. 25; Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hal. 50)
Hadis: “Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang agung, siapa yang berpuasa sehari, Allah akan mencatat baginya puasa seribu tahun…” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at, 2: 206-207; Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ujbi, hal. 26; Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hal. 101; As-Suyuthi dalam Al-Lali’ Al-Mashnu’ah, 2: 115)
Bulan Rajab dalam pandangan masyarakat jahiliyah
Masyarakat jahiliyah sangat menghormati bulan Rajab. Ini terlihat dari banyaknya acara peribadatan pada bulan ini. Di antara ritual ibadah mereka di bulan Rajab adalah menyembelih binatang, yang disebut ‘Athirah atau Rajabiyah. Mereka persembahkan sembelihannya untuk sesembahan mereka. Mereka juga berpuasa di bulan Rajab, kemudian diakhiri dengan menyembelih ‘Athirah. Masyarakat jahiliyah juga melarang keras adanya peperangan yang terjadi bertepatan di bulan Rajab.
Di samping itu, mereka memberikan banyak nama untuk bulan Rajab. Ada yang menyebutkan, bulan ini memililki 14 nama. Di antaranya: Syahrullah, Rajab, Rajab Mudhar, Munshilul Asinnah, Al-Asham, dan lain-lain. Bahkan ada yang menyebutkan, bulan ini memiliki 17 nama. Sedangkan masyarakat memiliki kaidah, bahwa sesuatu yang memiliki banyak nama itu menunjukkan bahwa hal itu adalah sesuatu yang mulia.
Dulu masyarakat jahiliyah memilih bulan Rajab untuk mendoakan orang yang mendhalimi mereka, dan biasanya doa itu dikabulkan. Hal ini pernah disampaikan kepada Umar bin Khattab, kemudian beliau mengatakan,
“Sesungguhnya Allah memperlakukan hal itu kepada untuk menjauhkan hubungan antara satu suku dengan suku yang lain. Dan Allah jadikan kiamat sebagai hari pertanggungjawaban.”
Disebutkan dalam sebuah riwayat, dari Kharshah bin Al-Har, bahwa beliau melihat Umar bin Khatab memukuli telapak tangan beberapa orang, sampai mereka letakkan tangannya di wadah, kemudian beliau menyuruh mereka, “Makanlah (jangan puasa).” Karena dulu, bulan ini diagungkan oleh masyarakat jahiliyah. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya dishahihkan Al-Albani)
Amalan sunah di bulan Rajab
Tidak terdapat amalan khusus terkait bulan Rajab. Baik bentuknya salat, puasa, zakat, maupun umrah. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadis yang menyebutkan amalan bulan Rajab adalah hadis batil dan tertolak.
Ibnu Hajar mengatakan, “Tidak terdapat riwayat yang sahih, bisa untuk dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, baik bentuknya puasa sebulan penuh atau puasa di tanggal tertentu bulan Rajab atau salat tahajud di malam tertentu. Keterangan saya ini telah didahului oleh ketengan Imam Abu Ismail Al-Harawi.” (Tabyinul Ujub bimaa warada fii Fadli Rajab, hal. 6)
Imam Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak terdapat dalil yang sahih, yang menyebutkan adanya anjuran salat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan salat Raghaib di malam Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, batil, dan tidak sahih. Salat Raghaib adalah bid’ah menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 213)
Terkait masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab juga menegaskan, tidak ada satupun hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan, “Di surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.” Namun riwayat bukan hadis. Imam Al-Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah, “Abu Qilabah termasuk tabi’in senior, beliau tidak menyampaikan riwayat itu selain hanya kabar tanpa sanad.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 213)
Pertama, puasa sunah bulan haram
Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan puasa di bulan Rajab dengan niat puasa sunah di bulan-bulan haram, maka ini dibolehkan, bahkan dianjurkan. Mengingat sebuah hadis yanng diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Al-Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu ketika datang seseorang dari suku Al-Bahili menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta diajari berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
“Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan, “Saya masih kuat, tambahkanlah!” “Dua hari setiap bulan.” Orang ini mengatakan, “Saya masih kuat, tambahkanlah!” “Tiga hari setiap bulan.” Orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasalah di bulan haram dan berbukalah (setelah selesai bulan haram).” (Hadis ini dishahihkan sebagaian ulama dan didhaifkan ulama lainnya)
Namun diriwayatkan bahwa beberapa ulama salaf berpuasa di semua bulan haram. Di antaranya: Ibnu Umar, Hasan Al-Bashri, dan Abu Ishaq As-Subai’i.
Kedua, mengkhususkan umrah di bulan Rajab
Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah di bulan Rajab. Kemudian ucapan beliau ini diingkari A’isyah dan beliau diam saja. (HR. Bukhari dan Muslim)
Umar bin Khattab dan beberapa sahabat lainnya menganjurkan umrah bulan Rajab. A’isyah dan Ibnu Umar juga melaksanakan umarah bulan Rajab.
Ibnu Sirin menyatakan, bahwa para sahabat melakukan hal itu. Karena rangkaian haji dan umrah yang paling bagus adalah melaksanakan haji dalam satu perjalanan sendiri dan melaksanakan umrah dalam satu perjalanan yang lain, selain di bulan haji. (Al-Bida’ Al-Hauliyah, hal. 119)
Dari penjelasan Ibn Rajab menunjukkan bahwa melakukan umrah di bulan Rajab hukumnya dianjurkan. Beliau berdalil dengan anjuran Umar bin Khatab untuk melakukan umrah di bulan Rajab. Dan dipraktekkan oleh A’isyah dan Ibnu Umar.
Diriwayatkan Al-Baihaqi, dari Sa’id bin Al-Musayib, bahwa A’isyah radliallahu ‘anha melakukan umrah di akhir bulan Zulhijah, berangkat dari Juhfah, beliau berumrah bulan Rajab berangkat dari Madinah, dan beliau memulai Madinah, namun beliau mulai mengikrarkan ihramnya dari Dzul Hulaifah. (HR. Al-Baihaqi dengan sanad hasan)
Namun ada sebagian ulama yang menganggap umrah di bulan Rajab tidak dianjurkan. Karena tidak ada dalil khusus terkait umrah bulan Rajab. Ibnu Atthar mengatakan: Di antara berita yang sampai kepadaku dari penduduk Mekah, banyaknya kunjungan di bulan Rajab. Kejadian ini termasuk masalah yang belum kami ketahui dalilnya. Bahkan terdapat hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umrah di bulan Ramadan nilainya seperti haji.” (HR. Bukhari)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh mengatakan, bahwa para ulama mengingkari sikap mengkhususkan bulan Rajab untuk memperbanyak melaksanakan umrah. (Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6: 131)
Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, mengkhususkan umrah di bulan Rajab adalah perbuatan yang tidak ada landasannya dalam syariat. Karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan anjuran mengkhususkan bulan Rajab untuk pelaksanaan umrah. Di samping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan Rajab, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya.
Andaikan ada keutamaan mengkhususkan umrah di bulan Rajab, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi tahukan kepada umatnya. Sebagaimana beliau memberi tahu umat akan keutamaan umrah di bulan Ramadan. Sedangkan riwayat dari Umar bahwa beliau menganjurkan umrah di bulan Rajab, yang benar sanadnya dipermasalahkan.
Ketiga, menyembelih hewan (Athirah)
Atirah adalah hewan yang disembelih di bulan Rajab untuk tujuan beribadah. Ulama berselisih pendapat tentang hukum atirah.
Pendapat pertama, athirah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ‘Athirah, kemudian beliau menjawab, “Athirah itu hak.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, dan As-Suyuthi dalam Jami’us Shaghir)
Pendapat kedua, athirah tidak disyariatkan, namun tidak makruh. Dalilnya, hadis dari Abu Razin, Laqirh bin Amir Al-Uqaili, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami menyembelih hewan di bulan Rajab di zaman Jahilliyah. Kami memakannya dan memberi makan tamu yang datang.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak masalah.” (HR. An-Nasa’i, Ad-Darimi, dan Ibnu Hibban)
Pendapat ketiga, athirah hukumnya makruh. Berdasarkan hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada fara’a dan tidak ada athirah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fara’a adalah anak pertama binatang, yang disembelih untuk berhala.
Pendapat keempat, athirah hukumnya haram. Ini adalah pendapat yang dipilih Ibnul Qoyim dan Ibnul Mundzir. Ibnul Qoyim mengatakan, “Dulu masyarakat Arab melakukan athirah di masa jahiliyah, kemudian mereka tetap melakukannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendukungnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, melalui sabdanya, “Tidak ada fara’a dan tidak ada athirah.” Akhirnya, para sahabat meninggalkannya, karena adanya larangan beliau. Dan telah dipahami bersama, bahwa larangan itu hanya akan muncul, jika sebelumnya ada yang melakukannya. Sementara tidak kita jumpai adanya satupun ulama yang mengatakan, “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang athirah, kemudian beliau membolehkannya kembali…” (Tahdzib Sunan Abu Dawud, 4: 92-93).
Insyaa Allah, pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran.
Bid’ah-bid’ah di bulan Rajab
Bid’ah yang umumnya terjadi di bulan Rajab adalah mengkhususkan bulan ini untuk melakukan amal ibadah tertentu, seperti puasa salat malam, salat Raghaib, dan semacamnya. Mereka yang melakukan hal ini biasanya berdalil dengan hadis dhaif dan hadis palsu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mengkhususkan bulan Rajab…. untuk berpuasa dan i’tikaf, tidak terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabatnya, dan tidak pula dari para ulama kaum muslimin masa silam. Sebaliknya, disebutkan dalam hadis yang sahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpusa Sya’ban. Dan beliau tidak berpuasa dalam satu tahun yang lebih banyak dari pada puasa beliau di bulan Sya’ban. (HR. Bukhari dan Muslim).” (Majmu’ Fatawa, 25: 290-291)
Syaikhul Islam juga mengatakan, “Sesungguhnya mengagungkan bulan Rajab (dengan memperbanyak amal) termasuk perbuatan bid’ah yang selayaknya dihindari. Demikian pula menjadikan bulan Rajab sebagai momen khusus untuk melaksanakan puasa, termasuk perbuatan makruh (dibenci), menurut Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya.” (Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, 2: 624-625)
Baca juga: Hukum Mengkhususkan Bulan Rajab dengan Sebagian Ibadah
Secara khusus ada beberapa amalan bid’ah yang sering dilakukan di bulan Rajab, di antaranya adalah:
Pertama, salat Raghaib
Bid’ah ini berdasarkan satu hadis palsu yang panjang, menceritakan tentang tata cara salat Raghaib, doa-doanya, dan janji pahala yang akan diperoleh bagi setiap orang yang melaksanakannya dengan sempurna. Para ulama telah sepakat bahwa hadis tentang salat Raghaib adalah hadis palsu. Asy-Syaukani mengatakan, “Para ulama pakar hadis telah sepakat bahwa hadis tentang salat Raghaib adalah hadis palsu.” (Al-Fawaid Al-Majmu’ah, hal. 47-48)
Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Al-Fairuz Abadi Asy-Syafi’i.
Ibnul Jauzi mengatakan, “Orang yang membuat hadis ini menetapkan aturan bahwa orang yang hendak melaksanakan salat Raghaib harus berpuasa terlebih dahulu di siang harinya. Kemudian dia tidak boleh berbuka sampai melaksanakan salat maghrib dan salat sunah Raghaib. Dalam salat ini, dia harus membaca tasbih panjang sekali dan bacaan sujud yang sangat panjang. Sehingga orang yang melaksanakan amalan ini akan merasakan keletihan yang luar biasa. Sungguh saya merasa cemburu dengan Ramadan dan salat tarawih. Bagaimana seseorang lebih memilih salat ini dibandingkan puasa Ramadan dan tarawih. Namun sebaliknya, masyarakat lebih memilih dan lebih memperhatikan salat ini, sehingga orang yang tidak pernah salat jamaah pun ikut menghadirinya.” (Al-Maudhu’at, 2: 125-126)
Kedua, peringatan Isra’ dan Mi’raj
Tanggal 27 Rajab menjadi satu agenda penting bagi kaum muslimin. Mereka meyakini bahwa pada tanggal itu terjadi peristiwa Isra dan Mi’raj. Padahal para ulama berselisih pendapat tentang tanggal terjadinya Isra Mi’raj. Disebutkan oleh Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, ada sekitar 6 pendapat ulama, terkait dengan tanggal kejadian Isra Mi’raj. Salah satunya adalah tanggal 27 Rajab tahun ke-10 setelah beliau diutus sebagai Nabi. Namun pendapat ini tertolak, karena para ahli sejarah menegaskan bahwa Khadijah meninggal di bulan Ramadan tahun kesepuluh setelah kenabian. Sampai Khadijah meninggal belum ada kewajiban salat lima waktu.
Para ulama sepakat bahwa peringatan Isra Mi’raj adalah acara bid’ah. Ibnul Qoyim menukil keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang mengatakan, “Tidak diketahui dari seorang-pun kaum muslimin, yang menjadikan malam Isra Mi’raj lebih utama dibandingkan malam yang lainnya. Lebih-lebih menganggap bahwa malam Isra lebih mullia dibandingkan lailatul qadar. Tidak seorang pun sahabat, maupun tabi’in yang mengkhususkan malam Isra dengan kegiatan tertentu, dan mereka juga tidak memperingati malam ini. Karena itu, tidak diketahui secara pasti, kapan tanggal kejadian Isra Mi’raj.” (Zadul Ma’ad, 1: 58-59)
Ibnu Nuhas mengatakan, “Memperingati malam Isra Mi’raj adalah bid’ah yang besar dalam urusan agama. Termasuk perkara baru yang dibuat-buat teman-teman setan.” (Tanbihul Ghafilin, hal. 379-380. Dinukil dari Al-Bida’ Al-Hauliyah, hal. 138)
***
Penulis: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel Muslimah.or.id
matur nuwun ustadz…
assalamu’alaykum,..
ijin copy,.. syukron
Assalamualaykum…izin copas yaa ustadz utk referensi ana tak lupa ana sertakan sumbernya..
syukron wa Jazzakumuloh Khayran..
assalamu’alaikum…
mohon izin untuk mencopy paste tulisan ini ya admiin… :D
ass wr wb,…..saya mau tanya kalau berpuasa rajab di bulan juni ini dimulai tgl brp….??? trm ksh
Assalamu Alaikum Mohon ijin copy…Makasih Ilmunya Pa Ustz..
assalamu’allaikum
trims ustadz
saya hanya membaca saja tapi sungguh bermanfaat
untuk selanjutnya semoga ada artikel baru lagi berkaitan dengan bulan-bulan islam baik mengenai bulan sya’ban maupun juga bulan yang lainnya.
syukron…… ustadz.
assalamu’alaikum…
ustad, ana izin copy…syukron.
izin copas y
salahkah bila kita memperingati Isra’ Mi’raj…?
bukankah tentu ada tujuan dari peringatan tersebut…
seperti muhasabah dan lain sebagainya…
@ Muchlis
Laukana khairan lasabaquna ilaih… Kalau saja peringatan Isra’ Mi’roj itu mengandung kebaikan tentu para sahabat telah lebih dahulu mengamalkannya. Adakah sahabat yang memperingati Isra Mi’roj sebagaimana yang dialkukan umat Islam sekarang? Coba sebutkan satu saja riwayat yang menyebutkannya niscaya Anda tidak akan menemukan.
Assalamu’alaikum wr wb
izin Copy ustadz..
makasih…
assalamualaik
syukron katsir qobla wa ba’da ya ustadz…
mohon izin copy
izin copy manfaat banget ustadz
assalamualaikum… izin sedot ya… jazakaAllohu Khoir
ijin copy ustad,,jazakumullah
afwan! bukannya malah sebagai syiar islam hal-hal yang demikian?…..
dan kalo bisa redaksinya pakek fotn arabik untuk hadis ato ayat al-qr’annya!!
syuron mohon jawaban!!! [email protected]
assalamualaikum wr.wb/
Jangan Jadikan Bid ah sebagaiAlasan Perpecahan Ummat, amiiiin
@ Cak Agus
??????????? ?????????? ?????????? ????? ?????????????
Kesatuan umat itu akan terwujud bila semua orang islam berpegang teguh dengan sunnah. Dan salah satu pemicu terbesar perpecahan adalah munculnya berbagai bid’ah. Mohon difahami.
hanya ???? yang ber-HAK menerima atau menolak amal ibadah kita, kita hanya bisa berusaha melakukan ibadah/amalan2 karena ????
????? ………………….., kenapa saudara saudaraku banyak yang gak puasaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
mohon ustad/ ustadzah ana ni carikan materi tentang kajian ” LAILATUL QODAR”
BUAT ANTUM SYUKRAN JAZIL
izin share…..
@ gusmun
Silakan
Terima kasih atas pencerahannya melalui artikel ini
Assalamu’alaikum,,,ust sy mau nanya nih mengenai pakaian laki2 yang memakai celana gantung dibawah lutut dlm shalat apakah termasuk bid’ah bukankah Rasulullah SAW memakai gamis pd saat berpakaian dan sholat,,,maaf ust minta penjelasannya wasallam
Syukron katsir atas kebaikan ustadz dan mohon izin nyedot……
Bagaimana dengan puasa pada tanggal 1 atau 10 Rajab?
Apakah termasuk amalan yang di khususkan dan jatuh kepada bid’ah?
Mohon penjelasannya
Syukuron Jazakallahu khayron..
Assalamu’alaikum
Afwan ustadz, apakah menyelenggarakan pengajian di hari yang disangka mayoritas orang sbg hari peristiwa isra mi’raj ini tanpa niatan utk memperingatinya tetap termasuk bid’ah? Ana mohon dg sangat utk dijawab. Syukran
@ Irfan
Jika tidak menimbulkan dzon/prasangka orang lain bahwa acara tersebut untuk memeriahkan isro’ mi’roj semoga saja tidak masalah. Allahua’lam