Di dalam Islam, ada suatu kaidah fikih yang menyebutkan
المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan itu membawa kemudahan.”
Makna kaidah ini adalah bahwa syariat Islam datang dengan membawa kemudahan dan keringanan dalam ibadah. Jika terdapat sesuatu yang menyulitkan seorang hamba dalam beribadah, maka di balik itu ada sesuatu yang dapat membuat ibadah itu menjadi lebih mudah bagi mereka. Bisa dengan gugurnya ibadah tersebut atau dengan adanya kemudahan lain baginya.
Dalil dari kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِى الدِّيۡنِ مِنۡ حَرَجٍ
“Dia tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78)
يُرِيۡدُ اللّٰهُ بِکُمُ الۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيۡدُ بِکُمُ الۡعُسۡرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إني أرسلت بحنيفية سمحة
“Sesungguhnya, aku diutus dengan membawa agama yang hanif dan lapang.” (HR. Ahmad dalam musnad-nya no. 24856, dari Aisyah radhiallahu ‘anha)
Di antara penerapan dari kaidah ini adalah:
Al-Hafizh As-Suyuthi rahimahullah mengatakan, “Ulama mengatakan bahwa kaidah ini menghasilkan seluruh rukhsah dan keringanan dalam syariat. Ketahuilah bahwa sebab-sebab keringanan dalam ibadah dan selainnya ada tujuh.”
Kemudian beliau menyebutkannya, dan secara ringkas, ini adalah tujuh sebab rukhsah:
Pertama: Safar
Rukhsah di dalam safar adalah bolehnya:
- membasuh khuf selama tiga hari tiga malam,
- menjamak salat,
- meng-qashar salat yang empat rakaat menjadi dua rakaat,
- tidak berpuasa di bulan Ramadan (dan meng-qadha di hari yang lain),
- meninggalkan salat Jumat (dan menggantinya dengan salat Zuhur),
- memakan bangkai (dalam keadaan darurat),
- melakukan salat sunah di atas kendaraan,
- menggugurkan kewajiban wudu dalam salat dan diganti dengan tayamum.
Rukhsah dalam yang disebutkan empat pertama di atas berlaku pada safar thawil.
Safar berdasarkan jaraknya ada dua:
1) Safar qashir: safar yang kurang dari 2 marhalah.
(1 marhalah = 8 farsakh. 1 farsakh = 3 mill atau 5,5 km. Jadi, 2 marhalah adalah kurang lebih 88 km)
2) Safar thawil: safar yang jaraknya sudah lebih dari 2 marhalah.
Kedua: Sakit
Rukhsah pada orang sakit adalah bolehnya:
- tayamum (ketika wudu dengan air dapat membahayakan dirinya),
- salat dalam keadaan duduk (ketika tidak mampu berdiri),
- menjamak dua salat (berdasarkan pendapat yang dipilih oleh Al-Khatabi dan An-Nawawi, juga pendapat yang dipilih di mazhab Hanbali),
- tidak salat Jumat (dan menggantinya dengan salat Zuhur),
- tidak berpuasa di bulan Ramadan (dan meng-qadha di hari yang lain ketika sudah sembuh).
Ketiga: Dipaksa
Rukhsah pada orang yang dipaksa adalah bolehnya:
- mengucapkan kalimat kekufuran,
- meminum khamr,
- ketika melakukan talak dalam keadaan dipaksa, maka talaknya tidak berlaku.
Keempat: Lupa
Rukhsah pada orang yang lupa adalah:
- jika terjadi pada seseorang yang menjaminkan dirinya pada sesuatu dan sesuatu itu mengalami kerusakan, karena lupa, maka ia tidak berdosa, namun tetap melakukan ganti rugi;
- ketika lupa melaksanakan kewajiban, maka boleh melakukan kewajiban tersebut ketika sudah ingat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من نسي صلاة أو نام عنها, فكفارتها أن يصليها إ ذا ذكرها
“Barangsiapa yang lupa salat atau tertidur tidak sengaja, kafarahnya adalah dengan salat ketika ia ingat.” (HR. Bukhari no. 597 dan Muslim no. 684, dari Anas radhiallahu ‘anhu)
Baca juga: Profesiku Ibadahku
Kelima: Kebodohan
Kebodohan yang dimaafkan adalah ketidak tahuan, maksudnya adalah ketika dia baru saja masuk Islam, atau tinggal di tempat sangat yang jauh dari alim ulama. Namun meskipun alim tersebut tinggal di tempat yang terpencil, maka dia tetap harus mencari tahu. Atau masalah yang dihadapi adalah masalah yang belum banyak yang tahu dan perlu dipelajari lebih dalam, maka ada keringanan baginya. Hal tersebut tidak membuat ibadahnya batal, misal ketika dia sujud karena sesuatu yang dia kira adalah sebab sujud sahwi, padahal bukan. Puasanya tidak batal ketika dia meneteskan sesuatu di telinganya (contoh: obat tetes telinga) dalam kondisi dia tidak mengetahui bahwa itu membatalkan puasa (berdasarkan pendapat mu’tamad Syafi’iyyah).
Rincian untuk orang yang lupa dan bodoh
Seseorang yang lupa dan bodoh mendapat rukhsah berupa gugurnya dosa, akan tetapi tidak menggugurkannya dari ganti rugi. Dalam hal ini terdapat perincian:
- Meninggalkan sesuatu yang diperintahkan
Ketika seorang yang lupa dan bodoh ini meninggalkan sesuatu yang diperintahkan, maka kewajiban tersebut tidak gugur, melainkan tetap dijalankan. Seperti seseorang yang lupa urutan di dalam wudu, maka dia wajib mengulanginya. Ini disebabkan karena salah satu wajib wudu adalah tartib (berurutan) dan dia telah meninggalkan perintah ini, maka wudunya rusak, dan harus diulang.
- Melakukan sesuatu yang terlarang
Adapun dalam hal melakukan sesuatu yang terlarang, maka dilihat: jika yang dia lakukan menimbulkan kerusakan, maka dia tetap wajib ganti rugi. Misalnya, seseorang yang memotong rambut dan memotong kuku dalam keadaan dia lupa kalau sedang ihram, dia tidak menimbulkan kerusakan apapun, maka tidak wajib baginya untuk meng-qadha. Contoh lain, seseorang yang makan dan minum, dalam keadaan dia lupa kalau dia berpuasa, maka dia tidak perlu meng-qadha puasanya, dan tetap dianggap sah.
Keenam: Sulit dan ‘Umumul Balwa
Pada kondisi ‘umumul balwa (najis yang menyebar luas) dan tidak bisa dihindari, maka najis tersebut dimaafkan dalam rangka memudahkan. Oleh karena itu juga, syariat memaafkan najis berupa darah yang sedikit di baju dan badan, najis-najis yang tidak terlihat dengan mata normal, dan bangkai yang darahnya tidak mengalir di air.
Najis yang dimaafkan
Dr. Labib Najib hafizhahullah memberikan catatan tentang najis. Najis-najis yang sulit dihindari, maka secara umum dimaafkan dengan tiga syarat:
1) Bukan najis mughalazhah (najis yang berat semisal babi dan anjing).
2) Najis itu bukan karena perbuatannya yang disengaja (semisal mengubah khamr menjadi cuka dengan menambahkan sesuatu di dalam khamr dengan sengaja, sehingga khamr tersebut tidak berubah menjadi cuka dengan sendirinya. [Ini menurut pendapat yang menyatakan bahwa zat khamr adalah najis. Dan ketika khamr tersebut diubah menjadi bentuk yang lain secara sengaja (bukan proses alamiah), maka bentuk (zat) lain tersebut tetap dihukumi najis.]
3) Najis tersebut secara umum tidak berubah.
Adapun Al-Malibari Asy-Syafi’i rahimahullah memberikan pembagian najis dari sisi dimaafkan atau tidak, maka ada empat pembagian:
1) Tidak dimaafkan baik di baju maupun di air. Contoh: Feses dan air kencing.
2) Dimaafkan di baju dan di air. Contoh: najis yang tidak terlihat oleh mata yang normal.
3) Dimaafkan di baju, tapi tidak dimaafkan di air. Contoh: darah yang sedikit.
4) Dimaafkan di air, tapi tidak di baju. Contoh: bangkai yang darahnya tidak mengalir.
Dan jika ada najis yang menempel di benda atau hamparan, najis bisa dimaafkan jika:
1) Dia tidak sengaja berdiri di tempat yang ada najisnya.
2) Najisnya bukan najis basah.
3) Sulit untuk menghindarinya.
Ketujuh: Ketidaksempurnaan
Anak kecil dan orang gila bukanlah orang yang dikenai beban syariat karena ketidaksempurnaan akal mereka. Wanita tidak dibebani banyak syariat yang itu diwajibkan pada laki-laki, semisal salat Jumat, menanggung diyat ketika ada kerabat yang tidak sengaja membunuh, dan wanita diperbolehkan mengenakan pakaian yang terbuat dari sutra, mengenakan perhiasan emas, berbeda dengan laki-laki.
Baca juga: Awas, Ada Riya’ dalam Ibadahmu
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Al-Jawahir Al-’Adniyyah Syarh Ad-Durratil Qadiimiyyah Nazhm Qawaidul Fiqhiyyah. Ali bin Ismail Al-Qadiimiy, disyarah oleh Dr. Labib Najib Abdullah Ghalib. Darus Shalih.
Fathul Muin bi Syarhi Qurratil ‘Ain bi Muhimmati Diin, Ahmad bin Abdul Aziz Al-Mallibaari. Jilid Pertama. Dar Ibn Hazm.