Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Dalam hadis tersebut terdapat petunjuk tentang kewajiban seorang istri untuk menaati suaminya jika suami memintanya untuk bercumbu atau berhubungan badan dengannya, serta larangan bagi istri untuk menolak apabila tidak ada alasan yang bisa dibenarkan secara syar’i. Haid bukanlah alasan yang dibenarkan untuk menolak ajakan suami, karena suami masih memiliki hak untuk (maaf) mencumbu istrinya selain menyetubuhi melalui kemaluan.
Sisi pendalilan tentang hal itu adalah bahwa para malaikat melaknat istri tersebut, sedangkan malaikat tidak akan melaknat seseorang kecuali atas perintah Allah. Selain itu, laknat hanya diberikan sebagai hukuman karena meninggalkan suatu kewajiban atau melakukan (menerjang) sesuatu yang diharamkan (dilarang).
Adanya ancaman dan peringatan keras terhadap seorang wanita (istri) yang tidak memenuhi keinginan suaminya itu karena penolakan tersebut dapat menimbulkan mafsadah dan bahaya besar bagi suami, di antaranya adalah bisa membuat suami terjerumus ke dalam perbuatan haram (zina atau selingkuh dengan wanita lain), belum lagi bahaya (penyakit) fisik, serta bergejolaknya kondisi psikologis yang timbul sebagai akibat dari kemarahan sang suami.
Namun, para ulama menyebutkan syarat, yaitu jika suami telah menunaikan hak istri dalam hal nafkah, pakaian, dan tempat tinggal. Jika suami tidak memenuhi hak-hak istri atau berbuat zalim dan melampaui batas terhadap istri, maka istri tidak wajib mendengarkan atau menaati suaminya.
Kandungan kedua
Dalam hadis ini terdapat petunjuk tentang perhatian Allah Ta’ala yang besar terhadap hamba-Nya, serta laknat-Nya bagi siapa saja yang durhaka kepada-Nya dalam memenuhi syahwatnya. Oleh karena itu, seorang hamba harus menunaikan hak-hak Rabb-nya yang telah diperintahkan kepadanya, serta senantiasa mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan memperbaiki ibadahnya. Jika tidak, alangkah buruknya sikap tidak berterima kasih dari seorang hamba yang hina kepada Allah, Rabb yang Agung.
Kandungan ketiga
Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa doa para malaikat untuk manusia, baik dalam hal kebaikan maupun keburukan, itu diterima (dikabulkan) oleh Allah. Jika tidak dikabulkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan menakut-nakuti (mengancam) wanita (istri) yang menolak permintaan suaminya dengan laknat dari para malaikat tersebut. Dalil dari Al-Qur’an juga menunjukkan hal ini, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَالْمَلَائِكَةُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ
“Dan para malaikat bertasbih dengan memuji Rabb mereka dan memohon ampunan bagi orang-orang yang ada di bumi.” (QS. Asy-Syura: 5)
Kandungan keempat
Hadis ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang mengatakan bahwa diperbolehkan melaknat orang (person) tertentu yang melakukan sebagian dari perbuatan maksiat.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai bolehnya melaknat orang-orang kafir secara umum, sebagaimana tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka tentang bolehnya melaknat para pelaku maksiat secara umum, seperti para peminum khamr (minuman keras), para pemakan riba, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai perempuan [1]. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qurthubi rahimahullah. [2]
Adapun perbedaan pendapat di antara ulama itu terletak pada boleh tidaknya melaknat pelaku maksiat secara khusus (misalnya, dengan menyebut nama person tertentu). Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan bahwa melaknat pelaku maksiat tertentu itu diperbolehkan berdasarkan kesepakatan (ijmak) ulama [3]. Namun, klaim ijmak ini perlu ditinjau kembali, karena perbedaan pendapat tetap ada, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qurthubi rahimahullah.
Sebagian ulama membolehkan melaknat pelaku maksiat secara khusus, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah [4]. Mereka berdalil dengan hadis yang sedang kita bahas ini, juga hadis dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati seekor keledai yang diberi cap di wajahnya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لعن الله الذي وسمه
“Semoga Allah melaknat orang yang mencapnya.” (HR. Muslim no. 2117)
Tentu saja, yang memberi cap tersebut hanyalah orang tertentu (baca: satu orang) sebagai pelakunya.
Pendapat lain menyatakan bahwa tidak boleh melaknat orang (person) tertentu, karena laknat berarti mengusir dan menjauhkan dari rahmat Allah, dan kita tidak tahu bagaimanakah akhir kehidupan orang fasik atau orang kafir tertentu tersebut. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah [5]. Dalilnya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang melaknat seorang sahabat yang dibawa (dihadapkan) kepadanya setelah kedapatan meminum khamr. [6]
Dan pendapat ini lebih tepat – insya Allah – karena dalil yang lebih kuat, serta adanya kemungkinan tobat dan hal-hal lain yang dapat menghapuskan hukuman. Adapun hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, maksudnya adalah melaknat jenis pelaku perbuatan tersebut secara umum. Hal ini didukung oleh fakta bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan sebagian orang kafir setelah perang Uhud agar dilaknat dan dijauhkan dari rahmat Allah, turunlah firman Allah Ta’ala,
لَيسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيءٌ
“Tidak ada sedikit pun urusan (hak) bagimu.” (QS. Ali Imran: 128)
Adapun hadis yang sedang dibahas, tidak terdapat dalil untuk membolehkan perbuatan tersebut, berdasarkan dua alasan berikut:
Pertama: Tugas dan tanggung jawab (taklif) antara kita dan malaikat berbeda. Tidak boleh bagi kita untuk mencontoh mereka kecuali dengan dalil.
Kedua: Laknat ini bukanlah untuk orang tertentu, tetapi secara umum, yaitu dengan mengatakan, “Semoga Allah melaknat siapa saja yang dipanggil oleh suaminya (namun menolak atau enggan).” Namun, yang mungkin menimbulkan kebingungan adalah lafal hadis,
لعنتها
“Dia dilaknat.” Karena kata ganti (ها) menunjukkan satu orang. Wallahu Ta’ala a’lam.
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk diri penulis sendiri dan juga para pembaca sekalian. [7]
***
@Fall, 6 Rabiul akhir 1446/ 9 Oktober 2024
Yang senantiasa mengharap ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
[1] Misalnya dengan mengatakan, “Semoga Allah melaknat para peminum khamr”; “Semoga Allah melaknat para pemakan riba”; tanpa menyebutkan nama person tertentu.
[2] Tafsir Al-Qurthubi, 2: 188.
[3] Ahkaamul Qur’an, 1: 50.
[4] Al-Adzkar, hal. 315.
[5] Raf’ul Malaam, hal. 22.
[6] Fathul Baari, 12: 75.
[7] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 350-353). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.