Bulan Shafar adalah salah satu dari dua belas bulan hijriah setelah bulan Muharam. Bulan ini dinamakan Shafar karena kota Mekah (seolah-olah) kosong dari penghuninya apabila orang-orang bersafar. Dikatakan pula, dinamakan Shafar karena dahulu memerangi kabilah-kabilah lalu ditinggalkan begitu saja karena tidak memiliki barang apapun (untuk dijarah). (Lihat Lisanul ‘Arab oleh Ibnul Mundzir (IV/462-263)
Pada masa Jahiliyyah, orang Arab beranggapan bahwa bulan Shafar merupakan bulan yang tidak baik. Bulan yang banyak bencana dan musibah, sehingga orang Arab pada masa itu menunda segala aktivitas pada bulan Shafar karena takut tertimpa bencana. Begitu juga dalam tradisi Kejawen, banyak hitungan-hitungan yang digunakan untuk menentukan hari baik dan hari tidak baik, hari keberuntungan, dan hari kesialan sebagaimana halnya dengan bulan Shafar ini. Banyak orang yang mengadakan ritual-ritual tertentu di bulan Shafar karena beranggapan dan berkeyakinan bahwa bulan ini adalah bulan sial, bulan bala bencana, bulan petaka, dan masih banyak lagi sebutan-sebutan buruk bagi bulan ini.
Merasa sial dengan waktu, bulan, atau tahun tertentu tanpa ada keterangan dalam syariat Islam, baik dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan keyakinan yang tercela. Apalagi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal tersebut secara khusus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus telah menegaskan tentang tidak adanya keyakinan bahwa bulan Shafar adalah bulan kesialan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (( لَا عَدْوَى، وَلَا صَفَرَ، وَلَا هَامَةَ )) فَقَالَ أَعْرَابِيُّ : يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَمَا بَالُ إبلي تَكُونُ فِي الرَّمْلِ كَأَنَّهَا الظَِبَاءُ فَيَأتِي البَعِيرُ الْأَجْرَبُ فَيَدْخُلَ بَيْنَهَا فَيُجْرِبُهَا؟ فَقَالَ:(( فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ؟ ))
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada penyakit yang menular sendiri tanpa takdir Allah, tidak ada anggapan sial pada bulan Shafar, dan tidak ada kecelakaan yang ditandai oleh suara burung malam (burung hantu).’ Kemudian seorang Badui bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan untaku yang berada di padang yang bebas lepas seperti kijang, kemudian didatangi oleh unta berkudis dan setelah berkumpul, maka untaku tersebut juga berkudis?’ Maka beliau bersabda, ‘Lalu siapa yang menjangkitkan kudis pada unta yang pertama?” (HR. Bukhari no. 5717, 5757 dan Muslim no. 2220)
Dan dalam salah satu riwayat, beliau bersabda,
لا عَدْوَى ، وَلَا طِيَرَةَ ، وَلَا هَامَةَ ، وَلَا صَفَرَ
“Tidak ada penyakit yang menular sendiri tanpa takdir Allah, tidak ada tanda (firasat) kesialan (dengan suatu apapun), tidak ada kecelakaan yang ditandai oleh suara burung malam (burung hantu), dan tidak ada pantangan di bulan Shafar.”
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا عَدْوَى ، وَلَا غُوْلَ ، وَلَا صَفَرَ
“TIdak ada penyakit menular (yang menular sendiri tanpa takdir Allah, pen.), tidak ada hantu yang menyesatkan, dan tidak ada pantangan di bulan Shafar.” (HR. Muslim no. 2222 (1080))
Baca juga: Pendidikan Akidah Anak Bingkisan paling Berharga
Terkait sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ( وَلَا صَفَرَ ) “dan tidak ada pantangan di bulan Shafar”, para ulama berselisih pendapat akan maknanya. Ulama terdahulu kebanyakan berpendapat bahwa Shafar adalah penyakit di perut. Sebagian lain berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah bulan Shafar, yang mana pendapat ini terbagi lagi menjadi dua pendapat:
Pertama, dikarenakan masyarakat Jahiliyyah dahulu menggeserkan status bulan haram dari bulan Muharram kepada bulan Shafar. Sehingga mereka menghalalkan bulan Muharram dan mengharamkan bulan Shafar.
Kedua, masyarakat Jahiliyyah dahulu merasa sial dengan bulan Shafar, mereka berkata: bulan ini (Shafar) adalah bulan yang sial.
Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat, dan memang kebanyakan masyarakat Jahiliyyah merasa sial dengan bulan Shafar, sampai-sampai mereka menunda perjalanan pada bulan ini. Hal ini sebagaimana mereka merasa sial dengan hari Rabu dan pernikahan di bulan Syawal. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi ibunda ’Aisyah radhiyallahu ‘anha pada bulan Syawal. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِني؟
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada bulan Syawal dan mulai berumah tangga denganku pada bulan Syawal. Maka, siapakah di antara istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih beruntung dariku?” ‘Aisyah pun menganjurkan agar kaum wanita menikah (bercampur) dengan suami mereka pada bulan Syawal. (HR. Muslim (1423), At-Tirmidzi, An-Nasa’i (VI/70), Ibnu Majah (1990), dan Ahmad (VI/54)
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Ucapan ‘Aisyah ini untuk menolak tradisi yang telah ada sejak masa Jahiliyyah, juga untuk menolak takhayul sebagian orang awam masa ini, yakni enggan menikah, menikahkan, dan bercampur pada bulan Syawal. Keyakinan seperti ini adalah batil dan tidak memiliki dasar, bahkan termasuk peninggalan kaum Jahiliyyah.” (Syarah Shahih Muslim (IX/209))
Ketahuilah bahwa satu-satunya yang mendatangkan kesialan adalah maksiat dan dosa. Maksiat dan dosa yang dilakukan oleh seorang hamba akan mendatangkan kemurkaan Allah ta’ala. Dan apabila Allah telah murka, sungguh merugilah seorang hamba dan celakalah ia, baik di dunia maupun di akhirat.
Akhir kata, keberadaan bulan Shafar adalah seperti bulan-bulan lainnya, yang tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah subhanahu wa ta’ala jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Baca juga: Amalan untuk Para Leluhur
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Diringkas dari Kitab Ritual Sunnah Setahun karangan Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas rahimahullah dengan sedikit penambahan dari Kitab Lathaif Al-Ma’arif karya Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah.