Banyak di antara kita mencari kebahagiaan. Kebahagiaan adalah cita-cita semua orang. Ada yang mendefinisikan kebahagiaan dengan uang, harta, jabatan, atau kesenangan duniawi. Namun, kita bisa melihat bahwa kebahagiaan itu tidak berbanding lurus dengan kekayaan. Seandainya kebahagiaan itu berbanding lurus dengan kekayaan, maka seharusnya, semakin kaya, semakin bahagia. Namun lihatlah kenyataannya, betapa banyak orang kaya, namun hidupnya terasa sempit, susah, stres, dan tidak bahagia.
Sebagian orang mengira bahwa kebahagiaan adalah dengan ketenaran. Bahkan sebagian orang rela melakukan hal-hal yang aneh agar bisa tenar dan viral. Betapa banyak kita lihat orang-orang yang berada di puncak ketenaran, namun dia akhiri hidupnya dengan bunuh diri, terjerat narkoba, dan sebagainya. Orang-orang tenar itu pun stres karena banyak orang yang ingin tahu urusan hidupnya. Semua ini menunjukkan bahwa kebahagiaan itu bukanlah dicapai dengan ketenaran.
Lalu apakah kebahagiaan sejati itu? Kebahagiaan sejati itu letaknya di hati, yaitu dengan mengesakan Allah Ta’ala, beriman kepada-Nya, serta beramal saleh untuk menyempurnakan keimanannya. Dengan demikian, kebahagiaan itu berbanding lurus dengan keimanan. Semakin sempurna iman seseorang, dia akan semakin bahagia. Apabila keimanan seorang hamba melemah, maka melemah pula porsi kebahagiaan yang dia peroleh. Apabila keimanan itu hilang sama sekali, niscaya kebahagiaan pun akan menghilang secara totalitas. Keimanan itulah yang akan membahagiakan, menenangkan, dan melapangkan hatinya. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ؛ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ طُوبَىٰ لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ
“… (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.” (QS. Ar-Ra’du: 28-29)
Keimanan dan amal saleh itu akan mendatangkan kebahagiaan, kelapangan, dan ketenangan. Sebaliknya, setiap orang yang menyia-nyiakan keimanan, justru membawa kesengsaraan bagi diri sendiri dan orang yang berada di sekelilingnya. Dadanya akan sempit dan sesak dengan maksiat yang dia lakukan. Memang, maksiat mengandung kelezatan. Lihatlah orang-orang kafir, ketika mereka menyalurkan syahwat sebebas-bebasnya dan melakukan segala hal yang mereka kehendaki. Secara zahirnya mereka di puncak kemewahan dan kelezatan, namun belum tentu mereka bahagia. Tidak perlu jauh-jauh, marilah kita renungkan keadaan diri sendiri ketika tenggelam dalam maksiat. Memang ada kelezatan yang kita rasakan, tapi yakinlah bahwa itu bukan kebahagiaan. Selesai dari maksiat, hati kita ternyata kering, sengsara, dan sesak.
Patut dicatat, seorang hamba harus meminta kepada Allah Ta’ala dalam upaya mencari kebahagiaan. Karena kebahagiaan berada di tangan-Nya. Dalam hadis, Nabi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا أَصَابَ أَحَدًا قَطٌّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَمَّهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحاً قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَعَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ قَالَ:بَلَى، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا
“Jika hamba tertimpa suatu kegelisahan dan kesedihan, kemudian dia berdoa, ‘Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba (laki-laki)-Mu, anak hamba (perempuan)-Mu, kendali ubun-ubunku berada di tangan-Mu, ketentuan-Mu berlaku pada diriku, takdirmu-Mu adil terhadapku. Aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu sendiri, atau Engkau ajarkan kepada seorang dari hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelapang kesedihanku, dan penghilang kegalauanku’; niscaya kegalauan terangkat dan kesedihan tergantikan dengan kegembiraan.” (HR. Ahmad no. 4318, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 199)
Baca juga: Bahagianya Menjadi Perempuan yang Terjaga
Dalam doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini, terkandung empat hal pokok yang apabila dilaksanakan, niscaya akan mendatangkan kebahagiaan dan menghilangkan kesedihan. Empat hal pokok itu adalah:
Pertama, melaksanakan peribadatan kepada Allah Ta’ala dengan sungguh-sungguh, menundukkan diri, dan mengakui bahwa ia adalah makhluk yang dimiliki Allah. Dia adalah hamba-Nya, begitu pula dengan nenek moyangnya, semua adalah hamba Allah. Itulah makna ucapan doa,
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ
“Ya Allah, sungguh aku adalah hamba-Mu, anak hamba (laki-laki)-Mu, dan anak hamba (perempuan)-Mu.”
Kedua, keimanan hamba terhadap takdir Allah Ta’ala; bahwa segala sesuatu itu terjadi dan tidak terjadi sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada satu pun yang mampu mendahului ketentuan-Nya dan menolak takdir-Nya. Oleh karena itu, dalam doa ini terdapat kalimat,
نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ
“Kendali ubun-ubunku berada di tangan-Mu, ketentuan-Mu berlaku pada diriku, takdir-Mu adil terhadapku.”
Ketiga, iman terhadap nama Allah yang indah dan sifat-Nya yang mulia, yaitu dengan mengenal makna dan kandungan-Nya. Dia memenuhi hatinya dengan pengenalan tersebut dan bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan nama dan sifat-Nya. Itulah kandungan ucapan,
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ،أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ
“Aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu sendiri, atau Engkau ajarkan kepada seorang dari hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu.”
Keempat, memperhatikan Al-Quran. Karena Al-Quran akan menyejukkan hati, menerangi dada, dan menyinari jiwa. Setiap kali hamba meningkatkan porsi perhatian terhadap Al-Quran, niscaya ia akan memperoleh kebahagiaan dan kelapangan jiwa. Seorang hamba meningkatkan interaksi dengan Al-Quran, baik dengan membaca, menghafalkan, menelaah, merenungkan, dan mengamalkan Al-Quran. Kesedihan dan kegelisahan hatinya akan hilang sesuai dengan porsi perhatian yang dia berikan terhadap Al-Quran. Itulah mengapa dalam doa di atas terdapat ucapan,
أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ
“Agar Engkau jadikan Al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelapang kesedihanku, dan penghilang kegalauanku.”
Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan,
فَلَيْسَ شَيْءٌ أنْفَعَ لِلْعَبْدِ في مَعاشِهِ ومَعادِهِ، وأقْرَبَ إلى نَجاتِهِ مِن تَدَبُّرِ القُرْآنِ، وإطالَةِ التَّأمُّلِ فِيهِ، وجَمْعِ الفِكْرِ عَلى مَعانِي آياتِهِ، فَإنَّها تُطْلِعُ العَبْدَ عَلى مَعالِمِ الخَيْرِ والشَّرِّ بِحَذافِيرِهِما، وعَلى طُرُقاتِهِما وأسْبابِهِما وغاياتِهِما وثَمَراتِهِما، ومَآلِ أهْلِهِما، وتَتُلُّ في يَدِهِ مَفاتِيحَ كُنُوزِ السَّعادَةِ
“Tidak ada hal yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba dalam urusan dunia ataupun akhirat, dan tidak ada hal yang lebih dekat kepada keselamatan, selain dengan mentadabburi, sering merenungkan kandungan, dan memfokuskan pikiran agar mampu memahami makna ayat Al-Quran. Dengan melakukan hal itu, akan diketahui rambu-rambu kebaikan dan keburukan dengan seluruh sisinya; dan akan diketahui berbagai jalan, sebab, akhir tujuan, atau akibat jika melakukan kebaikan dan keburukan; serta akan diketahui pula tempat kembali bagi para pelakunya; dan akan terbaca bahwa di tangan-Nya terdapat kunci-kunci perbendaharaan yang mengantarkan pada kebahagiaan.” (Lihat Madarij as-Salikin, 2: 84)
Inilah empat hal pokok yang menjadi pintu utama kebahagiaan yang mampu menyingkirkan kegelisahan, menghilangkan dan menjauhkan kegundahan dan kesedihan. Dan juga mampu mendatangkan kelapangan hati, ketenangan jiwa, serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semoga Allah Ta’ala menetapkan kita semua dalam peribadatan orang-orang yang berbahagia dan meneguhkan kita di jalan kebahagiaan.
Baca juga: Emptiness: Perasaan Kosong, Hampa dan Tidak Bahagia
***
@Puri Gardenia, 22 Syawal 1445/ 1 Mei 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Ahaadits Ishlaahil Quluub, bab 52; karya Syekh ‘Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr; dengan beberapa penambahan dari penulis.