Pernikahan merupakan suatu ibadah agung di dalam Islam. Ini adalah ibadah yang hanya dapat dijalankan oleh sepasang suami istri. Ibadah tersebut berlangsung terus menerus selama hidup mereka hingga mereka berpisah. Maka dari itu, sudah sepantasnya bagi kita untuk mengetahui hak-hak satu sama lain. Pada artikel ini, insyaAllah kita akan membahas hak-hak istri secara ringkas.
Terdapat dua macam hak istri, yaitu hak secara finansial dan hak secara non finansial. Istri memiliki hak secara finansial dari suaminya, yaitu mahar (mas kawin), nafkah, dan tempat tinggal. Selain itu, istri juga memiliki hak secara non-finansial yaitu diperlakukan secara adil dengan istri yang lain, diperlakukan secara baik dan santun, serta tidak disakiti oleh suaminya. Berikut penjelasan singkatnya.
Hak Secara Finansial
Secara finansial, istri memiliki tiga macam hak yang wajib untuk dipenuhi, yaitu:
- Mahar atau mas kawin
Mahar atau mas kawin merupakan uang atau suatu barang yang menjadi hak istri atas suaminya pada saat akad nikah dilangsungkan. Ini adalah hak yang wajib dibayarkan oleh pihak suami kepada istrinya. Allah ta’ala berfirman,
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 4)
Tidak diperbolehkan pula bagi orang tua untuk mengambil mahar milik anak wanitanya tanpa persetujuannya. Hal ini dapat kita petik dari tafsir ayat tersebut.
“Dan berilah wanita-wanita itu mahar mereka dari sesuatu yang baik bagi diri mereka, tanpa sedikitpun kalian dan wali mereka mengambil mahar tersebut. Jika jiwa mereka rela untuk melepas mahar itu, maka ambilla secara halal dan baik. Ayat ini turun untuk laki-laki yang mana ketika menikahkan anak perempuannya, dia mengambil maharnya tanpa seijin anaknya tersebut. Lalu Allah melarang mereka melakukan hal itu.” (Tafsir Al-Wajiz)
Mahar bukan berarti menunjukkan wanita adalah suatu produk yang dijual, tetapi hal tersebut merupakan simbol penghormatan serta tanda keseriusan bahwa suami bersedia untuk memikul tanggung jawab dan menunaikan kewajibannya.
Di dalam syariat, tidak ada batasan dalam menentukan mahar. Akan tetapi, merupakan suatu sunnah untuk menyederhanakan nilai mahar. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.” (HR. Abu Daud, no. 2117; Al-Hakim, 2: 181-182. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’, 6: 344)
Tujuan dianjurkannya menyederhanakan mahar adalah untuk mempermudah kaum muslimin menikah sehingga dapat menjauhkan diri dari perbuatan terlarang seperti zina.
Baca juga: Mengenal Istri Imran, Hannah binti Faqudz
- Nafkah
Para ulama bersepakat bahwa merupakan suatu kewajiban suami untuk memberikan nafkah bagi istrinya dengan syarat istri tidak menolak ajakan suami ataupun memberontak ke suami. Hal ini menjadi perkara yang wajib karena istri tidak diperbolehkan keluar rumah atau bekerja di luar rumah tanpa izin dari suaminya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Suami punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada istri, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakat. Nafkah tersebut tidak berlebih dan tidak pula kurang. Hendaklah suami memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375)
Allah ta’ala juga berfirman,
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq: 7)
Bentuk nafkah yang harus dipenuhi suami yaitu tempat tinggal, makan, dan pakaian. Selain itu beberapa kebutuhan yang lain yang tidak bisa diabaikan, seperti berobat, membeli perabotan, sekolah anak, dan lain-lain. Besaran nafkah yang diberikan suami tidak memiliki tolak ukur minimal atau maksimal.
Lantas, apa yang perlu dilakukan ketika suami tidak memberikan nafkah? Mari simak hadits berikut ini. Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya.” (HR. Bukhari no. 5364)
- Tempat tinggal
Salah satu hak istri yang tak kalah penting adalah tempat tinggal. Hal ini tergantung dari seberapa besar kemampuan suami. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۟ عَلَيْهِنَّ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 6)
Bagaimana jika suami belum mampu menyediakan tempat tinggal terpisah dengan orangtuanya? Sebagai istri, maka sangat diperlukannya hati yang lapang untuk menerimanya. Diperlukannya kesabaran dan akhlak yang baik dalam berinteraksi dengan mertua. Selain itu, dibutuhkannya peran aktif dari suami untuk menengahi antara keduanya.
Insyaallah pembahasan selanjutnya tentang hak non-finansial akan dibahas di artikel berikutnya.
Lanjut ke bagian 2: Hak Istri di dalam Islam, bag.2
—
Penulis: Lisa Almira
Artikel ini terinspirasi dari artikel berjudul “Rights of Husband and Rights of Wife in Islam” pada halaman IslamQA oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid yang diakses di https://islamqa.info/en/answers/10680/rights-of-husband-and-rights-of-wife-in-islam
Referensi lain:
- Al-Qur’an serta tafsir yang diakses dari https://tafsirweb.com/
- IslamQA, 2006, “Is it one of the wife’s rights to have her own accommodation?”, diakses dari https://islamqa.info/en/answers/81933/is-it-one-of-the-wifes-rights-to-have-her-own-accommodation
- IslamQA, 2010, “Reducing the Mahr is the Sunnah”, diakses dari https://islamqa.info/en/answers/10525/reducing-the-mahr-is-the-sunnah
- Muhammad Abduh Tuasikal, 2015, “Besaran Nafkah Suami pada Istri”, diakses dari https://rumaysho.com/10079-besaran-nafkah-suami-pada-istri.html
- Muhammad Abduh Tuasikal, 2016, “Mahar Nikah yang Paling Bagus”, diakses dari https://rumaysho.com/14118-mahar-nikah-yang-paling-bagus.html
Artikel Muslimah.or.id