Setiap manusia tak lepas dari takdir yang ditetapkan bagi dirinya, baik itu takdir yang baik maupun buruk. Sering kali manusia risau apabila takdir buruk menimpanya. Tak jarang pula manusia risau karena khawatir tak bisa mendapatkan dunia yang selalu ia kejar.
Beriman kepada Takdir
Iman kepada takdir yang baik maupun yang buruk adalah salah satu dari keenam rukun iman yang perlu diyakini oleh seorang mukmin. Perbuatan Allah dalam menetapkan takdir seorang hamba semuanya baik. Namun, takdir yang ditetapkan bisa baik, bisa juga buruk.
Allah mengetahui bahwa sesuatu akan terjadi sebelum terjadinya sesuatu tersebut. Sebab, Allah memiliki sifat Al-‘Alim yang sempurna, tidak diawali dengan tidak tahu, tidak ada akhirnya, serta tidak diiringi lupa. Dengan kesempurnaan ilmu Allah tersebut, hendaknya seorang mukmin meyakini bahwa Allah telah mengetahui hal yang terbaik bagi hamba-Nya. Dia-lah yang telah menciptakan hamba-Nya, sehingga Dia yang paling mengerti tentang hamba-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz).” (QS. Al-An’am: 59)
Ketenangan Hati
Kunci bagi ketenangan hati ketika menerima takdir yang baik ataupun buruk adalah bertawakal kepada Allah. Seorang mukmin akan tenang ketika menerima takdir yang baik. Ia akan meyakini bahwa hal baik yang ia peroleh semata-mata nikmat dari Allah, bukan karena kehebatan dirinya, sehingga terhindar dari ujub dan sombong. Seorang mukmin akan tenang ketika menerima takdir yang buruk. Ia akan meyakini bahwa hal buruk yang ia peroleh mengandung hikmah di dalamnya, sehingga akan terlepas dari kesedihan, kegundahan, dan kesulitan.
Bertawakal, yakni menyandarkan hati kepada Allah semata. Bertawakal dalam masalah dunia bukan berarti berdiam diri dan tidak melaksanakan apapun untuk mencari rezeki. Ibaratnya, seseorang yang lapar tidaklah akan kenyang jika ia hanya berdiam diri dan tidak melakukan aktivitas makan. Begitu pula dengan rezeki, manusia tetap harus bergerak untuk mencarinya. Namun, seberapa banyak yang akan ia dapatkan, hendaknya diserahkan kepada Allah semata.
Dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
”Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad (1/30), at-Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ibnu Hibban no. 402)
Allah telah menjamin rezeki setiap manusia. Maka, tak perlu risau dengan rezeki, tak perlu mengejar dunia hingga melupakan akhirat.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Fokuskanlah pikiran Anda untuk bisa mengerjakan segala yang diperintahkan kepada Anda, jangan sibukkan ia dengan urusan rezeki dan ajal; karena rezeki dan ajal adalah dua hal yang sudah pasti akan menyertai hidup Anda. Selama Anda masih hidup, rezeki pasti datang menyapa. Apabila Allah, dengan hikmah-Nya, menutup satu pintu rezeki niscaya Dia akan membukakan bagi Anda, dengan rahmat-Nya, pintu rezeki lain yang lebih bermanfaat dari pintu sebelumnya.”
Ketika takdir buruk menimpa, hendaknya seorang mukmin meyakini bahwa takdir yang menimpanya sudah ditetapkan. Dalam takdir buruk tersebut, pasti terdapat hikmah.
مَآأَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَفِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ {22} لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَافَاتَكُمْ وَلاَتَفْرَحُوا بِمَآ ءَاتَاكُمْ …{23}
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. Al-Hadid: 22-23)
Baca juga: Emptiness: Perasaan Kosong, Hampa dan Tidak Bahagia
Tetaplah Berusaha
Manusia tetap diperintahkan untuk berusaha dan tidak bermalas-malasan, bukan pasrah kepada takdir sepenuhnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi, hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan ‘law’ (seandainya) dapat membuka pintu setan.” (HR. Muslim no. 2664)
Ketika telah berusaha namun tidak mendapatkan apa yang diharapkan, hendaknya tidak risau karena yakin bahwa hal itu merupakan ketetapan Allah.
Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitabnya, Al-Qaulus Sadid, “(Wajib) diketahui bahwa suatu sebab, meskipun besar dan kuat (pengaruhnya), maka sesungguhnya tetap terikat dengan takdir Allah, tidak bisa terlepas darinya”.
Sekuat apapun usaha yang dilakukan seorang hamba, apabila Allah tidak menghendakinya berpengaruh, maka tidak dapat berpengaruh. Usaha yang dilakukan dapat berpengaruh hanya jika Allah menghendakinya.
Sebagai contoh, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak hangus ketika dibakar oleh api yang besar. Api yang besar tidak berpengaruh karena Allah menghendakinya menjadi dingin.
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ
“Kami berfirman: ‘Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi sebab keselamatanlah bagi Ibrahim’.” (QS. Al-Anbiya`: 69)
Demikianlah, semoga bermanfaat.
Wallahu waliyyut taufiq.
Baca juga: Kita Semua Ingin Diterima
—
Penulis: Bini Arta Utama
Referensi :
- Fawaidul Fawaid (Terjemah), Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi, cetakan Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta.
- Memahami Takdir dengan Benar, al-Ustadz Abu ‘Athifah Adika Mianoki hafizhahullahu Ta’ala, https://muslim.or.id/2156-memahami-takdir-dengan-benar.html.
- Hukum Sebab (6), al-Ustadz Sa’id Abu Ukasyah hafizhahullahu Ta’ala, https://muslim.or.id/26682-hukum-sebab-6.html.
Artikel Muslimah.or.id