6. Menjauhkan anak dari hal-hal negatif
Seorang anak juga hendaknya dijauhkan dari hal-hal yang berlebihan, baik dalam hal makanan, pembicaraan, tidur atau istirahat, maupun pergaulan dengan sesama. Karena, di dalam hal-hal yang berlebihan itulah terdapat kerugian dan dengannya pula seorang hamba akan kehilangan kebahagiaan dan kebaikan di dunia dan di akhirat.
Demikian pula, dia benar-benar harus dijauhkan dari bahaya syahwat yang berkaitan dengan perut dan kemaluan. Karena, dengan membiarkannya melakukan hal itu, berarti telah menjerumuskannya pada bahaya yang akan membinasakannya. Apabila ini terjadi, maka amat sulit untuk memperbaikinya. Betapa banyak orang yang anaknya sengsara di dunia dan di akhirat akibat kelalaiannya sendiri karena ia tidak mendidiknya dengan baik. Justru malah mendukungnya berbuat sesuai dengan hawa nafsunya.
Ia menyangka bahwa dengan membiarkan anaknya hanyut dalam hawa nafsu, ia telah memuliakannya, padahal justru ia telah membuatnya hina. Ia juga menyangka bahwa dengan memberikan itu semua, ia telah menyayanginya, padahal kenyataaannya justru ia telah berbuat zhalim kepadanya. Karena, dengan perbuatan seperti itu, ia telah kehilangan nilai manfaat dari anaknya sendiri, dan ia pun akan kehilangan bagian dan hak pemeliharaannya di dunia dan di akhirat.
Dengan demikian, apabila Anda menemukan anak-anak dengan moral yang rusak, maka Anda akan mengetahui bahwa pada umumnya kerusakan moral mereka berasal dari pihak orang tuanya.
7. Perhatian terhadap anak
Berikutnya, anak-anak tersebut harus diwaspadai betul dari adanya kemungkinan mengonsumsi sesuatu yang memabukkan ataupun yang lainnya yang dapat menghilangkan akal sehat mereka. Mereka juga harus diawasi dari kemungkinan bergaul dengan orang yang kerusakan moral, perkataan, atau kegiatannya dikhawatirkan akan mempengaruhi mereka. Karena, semua itu akan mengakibatkan mereka celaka. Dan, ketika hal itu telah menjadi kebiasaan mereka, maka mereka akan memandang mudah untuk melakukan perbuatan-perbuatan ke padahal orang yang berbuat keji tidak akan masuk Surga.
Betapa banyak kerusakan moral pada anak-anak akibat dari kelalaian orang tua dan sikapnya yang membiarkan mereka serta memandang mudah jilatan api Neraka berada pada pakaian-pakaian mereka. Kebanyakan orang tua melakukan hal-hal yang berbahaya terhadap anak-anaknya lebih dahsyat daripada apa yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai permusuhan yang sangat kuat terhadap musuhnya, sedang mereka tidak menyadari itu semua. Betapa banyak orang tua yang (tanpa sadar) telah menghalangi anaknya untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, karena apa yang ia lakukan terhadap buah hatinya justru malah menjerumuskannya pada kehancuran dunia dan akhirat!
Setiap dampak dari kelalaian orang tua terhadap anak-anaknya dalam memenuhi hak-hak Allah ‘azza wa jalla sehingga mereka pun menyianyiakan hak-hak tersebut dan tidak mengindahkan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih yang telah Allah ‘azza wa jalla wajibkan kepada mereka-maka orang tua seperti ini akan terhalang untuk mendapatkan manfaat dari anak-anaknya. Begitu pula anak-anaknya, mereka pun akan terhalang untuk mendapatkan kebaikan dan manfaat dari orang tuanya. Inilah akibat dari perbuatan para orang tua.
8. Memakaikan busana yang baik
Seorang anak laki-laki diperingatkan tidak mengenakan pakaian berbahan sutra, karena hal itu akan merusak dan memalingkan mereka dari karakter aslinya (sebagai laki-laki). Sebagaimana halnya perbuatan homoseksual yang menjadikan seseorang berubah dari tabiatnya yang semula. Di samping itu, mereka juga harus dijauhkan dari meminum khamr, mencuri, dan berbohong. Sungguh, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
(( ???????? ?????????? ??????????? ????? ???????? ?????????? ?????????? ?????????????))
“Sutra dan emas diharamkan bagi kaum laki-laki dari umatku, dihalalkan bagi para wanita mereka.”
Seorang anak, walaupun statusnya belum mukallaf (yang terkena beban perintah dan larangan syari’at-pen), tetapi orang tuanya sungguh telah mukallaf. Maka, tidak boleh bagi orang tua membiarkan anaknya jatuh pada apa saja yang diharamkan, karena hal itu akan menjadi kebiasaan dan akhirnya sulit untuk menghentikannya. Menurut para ulama, pendapat inilah yang paling shahih.
Sementara itu ulama yang tidak memandang bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh seorang anak itu haram, mereka berhujjah bahwa anak itu belum mukallaf, sehingga memakai kain sutra tidak haram atas dirinya. Sebab, statusnya dalam hal ini sama dengan binatang ternak (yakni tidak mukallaf).
Pendapat ini merupakan bentuk qiyas (analogi) yang sangat rusak. Pasalnya, seorang anak -walaupun dia belum mukallaf– tetapi dia sudah siap dan mampu untuk menerima taklif (beban agama berupa perintah dan larangan). Oleh sebab itu, tidak mungkin ia shalat tanpa berwudhu’, begitu juga tidak mungkin ia shalat dengan bertelanjang dan bernajis. Dengan demikian, ia pun diharamkan meminum khamar, berjudi, dan melakukan liwath (homo seksual).
9. Mengembangkan bakat anak
Yang sepatutnya diperhatikan berkaitan dengan kondisi anak kecil, salah satunya yaitu mengarahkan mereka pada perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan bakat dan kesiapan mereka untuk melakukannya. Setelah diketahui bakatnya, sebaiknya jangan dialihkan pada perbuatan-perbuatan yang selainnya, selama bakat itu masih dalam koridor diperbolehkan oleh syari’at agama. Sebab, jika mereka diarahkan kepada sesuatu yang mereka sendiri tidak siap untuk melakukannya, maka mereka tidak akan berhasil untuk mencapainya, dan sebaliknya mereka akan kehilangan bakatnya.
Apabila orang tua melihat anaknya memiliki kecerdasan yang baik, daya tangkap yang bagus, hafalan yang kuat, dan perhatian yang besar dalam belajar, maka hal ini merupakan tanda-tanda bahwa siap untuk menerima ilmu pengetahuan. Anak seperti ini hendaknya dipatrikan ilmu pengetahuan di dalam hatinya selagi memorinya masih kosong (belum dikotori oleh pemikiran yang rusak pen). Dengan begitu, ilmu-ilmu yang diserapnya akan mengendap dan menetap di memorinya serta akan mengembangkan potensi dirinya.
Sebaliknya, jika orang tua melihat anaknya memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan itu semua dalam segala hal, berarti itu menunjukkan bahwa anaknya berpotensi untuk berbagai kegiatan yang bersifat kepahlawanan, seperti menunggang kuda, memanah, dan memainkan senjata. Dikarenakan si anak sulit dalam mencerna ilmu pengetahuan, dan ia tidak berbakat untuk itu, maka kondisikanlah ia untuk melakukan berbagai kegiatan kepahlawanan yang memerlukan keahlian fisik. Dan, melatihnya untuk itu justru akan lebih bermanfaat baginya dan bagi umat Islam.
Demikian pula, apabila seorang anak memiliki sifat yang berbeda dengan sifat-sifat di atas, karena memang ia tidak diciptakan untuk menguasai bidang-bidang tersebut. Kemudian orang tuanya melihat anak tersebut memiliki perhatian (antusiasme) pada salah satu bidang perindustrian dan ia memiliki kesiapan untuk menggelutinya, maka bimbinglah dia ke arah industri yang dibolehkan dan bermanfaat bagi manusia.
Keleluasan untuk menyalurkan bakat di atas diberikan oleh orang tua setelah anaknya mendapatkan bimbingan dan pengajaran agama yang ia butuhkan. Semua itu dimudahkan bagi setiap orang sesuai dengan bakatnya masing-masing. Tujuannya, agar hujjah Allah ‘azza wa jalla dapat ditegakkan kepada setiap hamba-Nya. Pasalnya, Allah ‘azza wa jalla memiliki hak yang kuat untuk mengeksekusi umat manusia, sebagaimana Allah ‘azza wa jalla memiliki nikmat yang berlimpah atas mereka. Wallaahu a’lam.
Ditulis ulang dari buku Hanya Untukmu Anakku, terj. Tuhfatul Mauduud bi Akhkaamil Mauluud, karya Ibnul Qayyim Al Jauziyah, cetakan ke 1 (hal. 449-453), Pustaka Imam Asy Syafi’i-Jakarta: 2010