Seorang Muslim hendaknya bertindak berdasarkan ilmu dan data, bukan hanya prasangka atau serampangan dalam berbuat. Dari Abu Mas’ud Al Badri radhiallahu’anhu, ia mendengar Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
بِئسَ مَطيَّةُ الرَّجُلِ: زَعَموا
“Seburuk-buruk landasan tindakan seseorang adalah sekedar ucapan: katanya... ” (HR. Abu Daud no.4972, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.866).
Kata المطية /al-mathiyyah/ atau /al-mathayyah/ secara bahasa artinya:
مَطِيَّةُ: الدابَّةُ تَمْطُو في سَيْرِها
“Mathiyyah: hewan tunggangan yang kencang jalannya” (Lisanul ‘Arab).
Al-mathiyyah juga bermakna: sarana untuk menuju suatu tujuan. Disebutkan dalam Mu’jam Lughah Arabiyah Mu’ashir:
اتّخذه مطيَّة لبلوغ مآربه: جعله وسيلة
Contoh penggunaan: “Ia menjadikannya hal itu sebagai mathoyyah untuk mencapai tujuannya”. Maksudnya: menjadinya sebagai sarana”.
Kemudian juga, Al Baghawi rahimahullah menjelaskan:
أنها تستعمل غالبا في حديث لا سند له ولا ثبت فيه إنما هو شيء يحكي على الألسن، فشبه النبي صلى الله عليه وسلم ما يقدمه الرجل أمام كلامه ليتوصل به إلى حاجته من قولهم: زعموا، بالمطية التي يتوصل بها الرجل إلى مقصده الذي يؤمه فأمر النبي صلى الله عليه وسلم بالتثبت فيما يحكيه والاحتياط فيما يرويه
“Hadits ini secara umum digunakan untuk menanggapi hadits yang tidak ada sanadnya dan tidak shahih sama sekali, yang dinukilkan oleh lisan orang-orang. Maka orang yang mendasari perbuatannya dalam rangka menggapai apa yang ia inginkan dengan sekedar “katanya begini… katanya begitu…” dianalogikan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dengan hewan tunggangan yang ia tunggangi untuk menuju ke tempat tujuan. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk cek dan ricek setiap kabar yang dinukil dan berhati-hati dalam menyampaikan kabar” (Syarhus Sunnah Al Baghawi, 3/413).
Maka hadits ini mengajarkan kita untuk tidak mendasari tindakan kita pada perkara yang tidak jelas kebenarannya, hanya sekedar katanya, tanpa didasari ilmu dan data. Allah Ta’ala berfirman:
اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (QS. Al-Hujuraat: 12).
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda:
إياكم والظنَّ، فإنَّ الظنَّ أكذب الحديث
“jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta” (HR. Bukhari no.5143, Muslim no. 2563).
Allah Ta’ala juga mengharamkan qiila wa qaala, yaitu menyampaikan kabar yang dasarnya sekedar katanya dan katanya. Dari Al Mughirah bin Syu’bah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ علَيْكُم عُقُوقَ الأُمَّهاتِ، ومَنْعًا وهاتِ، ووَأْدَ البَناتِ، وكَرِهَ لَكُمْ: قيلَ وقالَ، وكَثْرَةَ السُّؤالِ، وإضاعَةَ المالِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan sikap durhaka kepada para ibu, pelit dan tamak, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah juga tidak menyukai qiila wa qaala, banyak bertanya dan membuang-membuang harta” (HR. Al Bukhari no.5975, Muslim no.593).
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam juga memuji orang yang bertindak dengan tenang, hati-hati dan tidak serampangan. Beliau bersabda tentang Al Asyaj ‘Abdul Qais radhiallahu’anhu:
إن فيكَ خصلتينِ يحبهُما اللهُ : الحلمُ والأناةُ
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua hal yang dicintai Allah: sifat al hilm dan al aanah” (HR. Muslim no.17).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
“Al Hilm adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan dirinya ketika marah. Ketika ia marah dan ia mampu memberikan hukuman, ia bersikap hilm dan tidak jadi memberikan hukuman.
Al Aanah adalah berhati-hati dalam bertindak dan tidak tergesa-gesa, serta tidak mengambil kesimpulan dari sekedar yang nampak sekilas saja, lalu serta-merta menghukuminya, padahal yang benar hendaknya ia berhati-hati dan menelitinya” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/573).
Kesimpulannya, seorang Muslim hendaknya bertindak berdasarkan ilmu dan data, bukan hanya prasangka atau serampangan dalam berbuat. Wallahu a’lam.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id