Hidup di dunia tak terlepas dari berbagai masalah. Bahagia dan tidaknya seseorang seringkali tergantung bagaimana dia memandang sebuah permasalahan. Ketika dia terlalu membesar-besarkan persoalan bisa jadi problemanya semakin memuncak. Sebagaimana orang bijak mengatakan: “Bagi orang yang sabar, satu musibah tetap terhitung sebagai satu musibah, namun bagi orang yang gelisah, satu musibah terhitung sebagai dua musibah” (Al-‘Aqdul Farid, III/38).
Di sinilah perlu diubah sudut pandang seorang mukmin bahwa berbagai persoalan hidup, musibah sakit, dan berbagai peristiwa yang menyengsarakan sejatinya tak terlepas dari takdir Allah ‘Azza wa Jalla. Allah berfirman:
?? ???? ?? ????? ??? ???? ???? ??? ???? ????? ??? ???? ? ????? ??? ??? ????
“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. At-Taghabun: 11).
Ibnu Jarir rahimahullah menjelaskan: “Maksud firman Allah: “Dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya”. Adalah siapa saja yang beriman kepada Allah sehingga meyakini setiap musibah yang menimpa seseorang pasti terjadi dengan izin-Nya, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya yaitu, Allah akan memberi taufik ke dalam hatinya untuk menerima setiap perintah-Nya dan rida terhadap segala ketentuannya” (Tafsir Ibnu Jarir, XXVIII/132).
‘Alqamah rahimahullah menerangkan orang yang dimaksud dalam ayat ini adalah siapa saja yang terkena musibah dan menyadari bahwa hal itu berasal dari Allah, sehingga dia rida dan menerimanya (Tafsir Ibnu Jarir, XXVIII/123 dan Tafsir Ibnu Katsir, VIII/163).
Jadi faktor terpenting agar musibah atau hal-hal yang yang tak mengenakkan tetap bisa dihadapi dengan baik adalah faktor iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Semua yang telah, sedang, dan akan terjadi semua mengandung kebaikan bagi hamba. Allah ‘Azza wa Jalla Maha Bijaksana. Seorang mukmin yang bertauhid lurus harus menghadapi segala peristiwa dengan mengembalikan segala sesuatu kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang berkuasa atas segala sesuatu serta tak membenci musibah dan perkara-perkara yang membuat ketidakbahagiaannya.
Dengan berbagai masalah yang silih berganti, seorang mukmin akan semakin tangguh dan tahan uji. Dia akan lebih kuat bersandar pada pertolongan-Nya, memperbanyak doa dan termotivasi mencari jalan keluar agar terlepas dari segala beban hidup dengan tetap menjalankan ikhtiar yang halal.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, dalam Madarij Salikin (I/489), beliau mengatakan: “Pria yang lemah kadang terpukul jiwanya dan akan kalut pikirannya oleh musibah yang menimpanya. Bukannya ia mengurangi beban dan keletihan dengan menghadapinya, ia malah larut dalam kesedihan yang menambah kesusahannya yang tidak dapat merubah kondisinya sedikitpun”.
Pribadi berkarakter tegar tahan uji, sabar dan percaya diri yang tidak berlebihan niscaya akan tetap kokoh imannya, stabil emosinya dan kuat hatinya. Dalam menghadapi prahara hidup dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla tentunya.
Saat pikiran kacau dan jiwanya kalut seseorang akan hilang kemampuan untuk konsentrasi berpikiran serta tak fokus menatap masalah. Akhirnya bukan solusi yang ada namun frustasi.
Saatnya selalu memperbaharui iman dengan aqidah shahihah agar bisa lebih intens memahami aqidah yang sahih agar bisa lebih kuat dan bersabar dalam menjalani hidup. Bergaul dengan sahabat yang sahih yang selalu menstimulus diri untuk lebih bijak dalam menghadapi beban hidup. Melatih untuk selalu optimis bahwa badai itu pasti berlalu. Hindari terlalu tegang dan mendramatisir keadaan hingga berdampak pada kesehatan badan. Seorang penyair berkata:
Banyak urusan dan pusing menggerogoti tubuh,
Hingga kurus kering dan menjadikan si pemuda tua beruban.
Seorang penyair lain mengalunkan:
Berbagai musibah yang menimpa adalah ketentuan semata
Namun masa-masa sulit hanyalah sebentar saja
Kesusahan dan kebahagiaan tidak kekal selamanya
Sebagaimana pergantian hari, siang dan malamnya
(Adabud Dunya wad Din, hal.462).
Wallahu a’lam.
Referensi: Thohuurun InsyaAllah (terjemah), Abdullah bin Ali al Ju’aitsin, Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, 2012
Artikel Muslimah.or.id
Penulus: Isruwanti Ummu Nashifa