Pertanyaan:
Apabila seseorang tidak berpuasa karena udzur, lalu udzur tersebut hilang di tengah siang, apakah ia perlu imsak (menahan diri dari makan dan minum) di sisa harinya?
Jawaban:
Tidak wajib imsak. Hal tersebut karena orang itu tidak berpuasa pada hari itu karena dalil dari syariat. Syariat memperbolehkan orang yang sakit untuk meminum obat misalnya. Namun, jika ia meminumnya, maka ia batal puasanya. Dengan demikian, kehormatan hari itu tidaklah berlaku baginya karena diperbolehkan baginya untuk tidak berpuasa. Akan tetapi, ia wajib untuk mengqadha’nya. Mewajibkannya untuk imsak tanpa faidah secara syariat tidaklah bisa diberlakukan. Oleh karenanya, selama orang itu tidak mendapat manfaat dengan puasa, maka kita tidak mewajibkannya untuk imsak.
Contohnya, seseorang melihat orang lain tenggelam. Ia pun mengatakan: Jika aku minum, maka aku bisa menyelamatkannya. Sebaliknya, jika aku tidak minum, maka aku tidak bisa menyelamatkannya, ia pun minum dan menyelamatkannya. Lalu, ia makan dan minum di sisa hari tersebut. Sebab, kehormatan hari tersebut tidak berlaku baginya. Dimana syariat memperbolehkannya untuk tidak berpuasa. Sehingga ia tidak wajib imsak.
Oleh karena itu, seandainya ada seorang yang sakit, apakah kita katakan padanya: Jangan makan kecuali jika engkau lapar dan jangan minum kecuali jika engkau haus? Dengan maksud, janganlah engkau makan maupun minum kecuali jika darurat. Tidaklah kita katakan demikian padanya. Karena orang yang sakit diperbolehkan baginya untuk tidak berpuasa.
Dengan demikian, setiap orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena adanya dalil syari, maka ia tidak wajib imsak. Demikian pula sebaliknya. Barangsiapa tidak berpuasa tanpa adanya udzur, maka ia wajib imsak. Sebab, tidak halal baginya untuk tidak berpuasa. Ia telah melanggar kehormatan hari tersebut tanpa izin dari syariat. Sehingga kita mewajibkannya untuk imsak dan qadha’. Wallahu a’lam.
***
Diterjemahkan dari Fatawa Arkanil Islam karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerbit Muassasah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Al-Khairiyah, cetakan ketiga, tahun 1437 H, hal. 550.
Penerjemah: Ummu Fathimah
Artikel Muslimah or.id
Keren nih pembahasannya