Jika atasan anda, atau orang yang anda hormati memerintahkan anda untuk melakukan sesuatu atau melarang anda terhadap sesuatu, tentu anda pun akan mematuhinya bukan? Maka bagaimana lagi jika larangan itu datang dari Dzat yang menciptakan anda, memberikan nikmat berlimpah, menghembuskan kehidupan pada diri anda, Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Dzat Yang Menguasai hari pembalasan kelak, tentu lebih layak kita mematuhinya bukan?
Demikianlah sikap seorang hamba Allah yang sejati. Segera menaati perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Sebagaimana dicirikan sendiri oleh Allah Ta’ala,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum di antara kalian, maka mereka berkata: Sami’na wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur: 51)
Kita menaati Allah dan Rasul-Nya agar menjadi hamba Allah yang sejati, sebagai perwujudan iman yang hakiki. Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Dan kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berharap agar Allah Ta’ala jadikan kita sebagai ahli surga. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إِلَّا مَن أَبَى، قالوا: يا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَن يَأْبَى؟ قالَ: مَن أَطَاعَنِي دَخَلَ الجَنَّةَ، وَمَن عَصَانِي فقَدْ أَبَى
“Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang enggan masuk surga?” Beliau bersabda, “Barangsiapa menaatiku, ia masuk surga; dan barangsiapa bermaksiat terhadap perintahku, ia enggan masuk surga.” (HR. Bukhari no. 7280)
Dan kita wajib menaati apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, walaupun kita tidak mengetahui hikmahnya. Dari Rafi’ bin Khadij radhiallahu ’anhu, ia berkata,
نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah melarang sesuatu yang kami anggap lebih bermanfaat. Namun taat kepada Allah dan Rasul-Nya tentu lebih bermanfaat bagi kami.” (HR. Muslim no. 1548)
Walaupun para sahabat tidak mengetahui hikmah dari larangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, mereka tetap taat. Bahkan, awalnya mereka merasa yang dilarang tersebut bermanfaat bagi mereka. Namun, mereka tetap taat.
Ketika Umar bin Khathab radhiallahu ’anhu hendak mencium hajar aswad, beliau berkata,
إنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Aku tahu betul engkau adalah sebongkah batu. Tidak bisa memberi bahaya dan tidak bisa memberi manfaat. Andaikan bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari no. 1605, Muslim no. 1270)
Bagi Umar bin Khathab radhiallahu ’anhu, andai hikmah mencium hajar aswad sekedar meneladani Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, itu sudah cukup bagi beliau.
Syaikh Shalih As-Suhaimi hafizhahullah ketika menyebutkan atsar ini, beliau mengatakan, “Jika seseorang mengetahui hikmah dari suatu syariat, maka itu kebaikan di atas kebaikan. Namun jika ia tidak mengetahuinya, tetap wajib baginya untuk menerima syariat tersebut dengan lapang dada. Karena akal manusia terbatas, sehingga tidak bisa mengetahui semua hikmah. Para sahabat ridhwanullah ‘alaihim ajma’in mereka semua melaksanakan perintah-perintah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan menjauhi larangan-larangan beliau yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa mempertanyakan apa hikmahnya.” (Mudzakkirah fil Aqidah, hal. 6)
Namun kita yakin, pasti ada hikmah yang besar di balik setiap ajaran syariat. Dan pasti Allah syariatkan itu semua untuk kebaikan dan kemaslahatan kita. Sebagaimana kaidah yang disebutkan para ulama,
الشَارِعُ لَا يَـأْمُرُ إِلاَّ ِبمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً وَلاَ يَنْهَى اِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةً اَوْ رَاجِحَةً
“Islam tidak memerintahkan sesuatu kecuali mengandung 100% kebaikan, atau kebaikan-nya lebih dominan. Dan Islam tidak melarang sesuatu kecuali mengandung 100% keburukan, atau keburukannya lebih dominan.” (Qawa’id wal Ushul Al-Jami’ah, hal. 27)
Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id