Betapa banyak kita jumpai wanita muslimah zaman ini yang memuja-muja tokoh idolanya. Mirisnya, tak sedikit di antara mereka adalah orang kafir.
Lantas, apakah arti kekafiran bagi orang yang beriman? Simak kisah berikut ini.
——————————————————————————————————————–
Pada bulan Dzulqa’dah tahun 6 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama 1.400 kaum muslimin berangkat menuju Mekah untuk menunaikan umrah. Di tengah perjalanan, mereka dihadang orang suku Quraisy. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan suku Quraisy menyepakati gencatan senjata selama sepuluh tahun yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah.
Belum genap sepuluh tahun, Bani Bakar -sekutu suku Quraisy- melanggar perjanjian Hudaibiyah karena menyerang Bani Khuza’ah yang merupakan sekutu kaum muslimin di Madinah. Tentu saja Bani Khuza’ah segera meminta bantuan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Sufyan -tokoh suku Quraisy yang saat itu masih kafir- sangat paham akibat dari penyerangan yang dilakukan oleh Bani Bakar tersebut. Ia pun segera menyiapkan diri lalu berangkat ke Madinah untuk mempertahankan perjanjian Hudaibiyah dan memperpanjang masa berlakunya.
Setibanya di Madinah, ia segera menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sayangnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak negosiasinya.
Abu Sufyan tak menyerah. Ia mendatangi putrinya, Ummu Habibah, yang telah diperistri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia ingin putrinya membantunya melobi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tatkala Abu Sufyan hendak duduk, Ummu Habibah cepat-cepat mengangkat alas milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyingkirkannya dari bapaknya. Abu Sufyan sangat terkejut melihat sikap putrinya tersebut.
“Nak, apakah tikar ini tak layak bagiku ataukah aku yang tak pantas duduk di atasnya?” tanya sang bapak.
“Ini adalah alas milik Rasulullah. Sedangkan engkau orang musyrik yang najis. Makanya aku tidak suka engkau duduk di alas milik Rasulullah.” jawab sang anak dengan tegas.
“Demi Tuhan, perangaimu kini berubah menjadi buruk, wahai putriku.” keluh sang bapak.
“Tidak. Justru aku diberi petunjuk oleh Allah kepada ajaran Islam. Sedangkan engkau wahai bapakku, adalah tokoh dan pembesar kaum Quraisy. Mengapa engkau tidak bersedia masuk Islam? Malah menyembah batu yang tidak dapat mendengar dan melihat.” bantah sang anak.
Abu Sufyan pun pergi meninggalkan sang anak dengan kesal.
——————————————————————————————————————–
Begitulah semestinya sikap seorang muslimah. Ia teguh dengan prinsip al-bara’ yaitu berlepas diri dari orang kafir beserta perbuatan kekafirannya. Ia pun merasa bangga dengan statusnya sebagai seorang muslimah yang memiliki izzah (kemuliaan). Dengan demikian, ia tak akan loyal apalagi mengagumi orang kafir maupun orang musyrik.
Semoga Allah merahmati ibunda kaum mukminin. Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha yang telah menyuguhkan keteladanan kepada kita semua.
***
Referensi: Kisah Wanita Teladan, karya Abdullah Haidir, cetakan Kantor Dakwah Sulay, cetakan ketiga, tahun 1433 H, Riyadh, hal. 32-33
Penulis: Ummu Fathimah
Artikel Muslimah.or.id