Kita terkadang tidak siap untuk menjadi guru
Ketika kita diingatkan sebuah kesalahan, sering muncul keangkuhan
Padahal tanda keikhlasan adalah menerima kritikan yang baik
Kita terkadang tidak siap untuk menjadi besar, mudah terkena ujub dan merasa nikmat dengan kehormatan
Jika kita merasa direndahkan kesombongan seringkali muncul menggelapkan hati
(Ustadz Abu Yahya Badrussalam, dikutip dari salamdakwah.com).
Menyentuh jiwa sekali ungkapan hikmah di atas, betapa kritikan seakan terasa pedas menyayat hati ketika dimaknai berbeda, sejatinya kritikan yang disampaikan dengan perasaan cinta ingin menasehati saudaranya dan berharap cinta Allah niscaya berbuah kebaikan. Terkadang seseorang berat menerima saran atau kritikan dan merasa dirinya dipojokkan tatkala cara mengkritiknya tak beradab. Hal ini diperparah lagi ketika yang bersangkutan memiliki karakter sensitif atau mudah tersinggung secara berlebihan.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Siapa berpikir dengan jernih dan melatih dirinya untuk tenang dengan kebaikan, maka sebenarnya kritikan lebih menguntungkan dari pada pujian, karena pujian bila sesuai fakta membuat orang ujub dan dan hancurlah semua kelebihannya, bila mengada-ada lalu ia bangga dengan kepalsuan dan demikian itu jelas suatu bentuk cacat berat. Sementara kritikan orang bila sesuai fakta maka mendorong untuk mengoreksi kekurangan tersebut dan demikian itu suatu keuntungan besar yang semua orang butuh kecuali orang kerdil. Jika kritikan tersebut mengada-ada sedang ia bersabar maka ia terlatih untuk bersabar dan lapang dada lalu ia meraup kebaikan, karena kebaikan orang yang mengkritik akan diberikan kepadanya pada hari pembalasan sehingga ia meraup pahala tanpa susah payah. Yang demikian itu semua orang pasti senang kecuali orang gila” (Siyar wal Akhlak, hal. 114).
Seorang mukmin hendaklah tawadhu’ ketika dinasehati dan menasehati orang lain. Berbaik sangkalah karena setiap diri pasti punya aib dan kekurangan. Yakinlah saat orang lain mengoreksi aib kita berarti ia perhatian pada kita dan berharap kita senantiasa dalam kebaikan. Ketika orang yang mengkritik dan pihak yang dikritik sama-sama memiliki iman kuat dan akhlak mulia niscaya kritikan akan dianggap hadiah yang diberikan dengan perasaan suka cita. Dan yang menerima juga akan merasa bahagia karena tujuannya untuk kebaikan dan taqwa, asal disampaikan dengan hikmah dan bijaksana.
Hikmah menurut Ibnu Qoyyim rahimahullah adalah sesuatu yang tepat dengan cara yang tepat dalam waktu dan tempat yang tepat (Madarijus Salikin: 2/479).
Kritikan adalah media untuk memperbaiki diri agar seorang mukmin senantiasa instropeksi diri dan segera berbenah sehingga berada di level tertinggi dalam segala kebaikan. Hindari sikap apriori (praanggapan_ed) dan pikiran-pikiran negatif atau su’udzon pada orang lain. Jangan biarkan dendam dan hasad menguasai, baik ketika menasehati atau dinasehati orang lain. Bukankah dengan kritikan atau nasehat seorang akan mengetahui kekurangan kita?
Ibnu Hibban Al Busti rahimahullah pernah menyampaikan: “Seorang yang berakal, aib-aib dirinya tidak akan tersembunyi olehnya. Seorang yang tidak mengetahui aibnya, iapun tidak mengetahui kebaikan-kebaikan orang lain. Sesungguhnya hukuman terberat atas seseorang adalah ia tidak mengetahui aibnya sendiri. Karena, orang yang tidak mengetahui aibnya maka ia tidak dapat menghilangkannya dari dirinya” (Raudhatul ‘Uqala, I/22).
Ibnu Rajab berkata: “Konon para salaf jika ingin menasehati seorang mereka menyampaikannya secara rahasia, sampai-sampai ada yang mengatakan barangsiapa yang menasehati saudaranya secara rahasia berarti ia betul-betul menasehati saudaranya dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak, berarti ia hanya ingin menjatuhkan martabatnya” (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, I/225).
Wallahu a’lam.
Referensi :
1. One Heart, Rumah Tangga satu hati satu langkah, Zainal Abidin bin Syamsuddin, Lc, Pustaka Imam Bonjol, Jakarta, 2014
2. Majalah Tashfiyah, edisi 19. Vol.02, 1443 H
3. Majalah Usroti, edisi 09. Vol I
4. Langkah Pasti Menuju Bahagia (terjemah), Dr. Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qosim, Dar An-Naba’, Surakarta
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Artikel Muslimah.or.id