Sebelumnya, menutup wajah bagi wanita adalah ajaran para ulama semua madzhab. Bukan budaya Arab dan bukan ajaran radikal. Ulama madzhab yang 4 memerintahkan wanita untuk menutup wajah, walaupun mereka berbeda pendapat antara sunnah dan wajib. Diantara dalilnya firman Allah ta’ala:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Ahzab: 59).
Karena mereka khilaf mengenai apakah wajah termasuk aurat atau bukan, namun menutupnya itu lebih utama. Al Hashkafi, ulama madzhab Hanafi, beliau berkata:
والمرأة كالرجل ، لكنها تكشف وجهها لا رأسها ، ولو سَدَلَت شيئًا عليه وَجَافَتهُ جاز ، بل يندب
“Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189).
Terutama jika wajah seorang wanita itu beresiko menggoda para lelaki yang melihatnya. Al Qurthubi, ulama madzhab Maliki, berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229).
Lalu wanita yang menutup wajahnya (menggunakan cadar atau semisalnya), bolehkah ia membuka wajahnya ketika berkumpul dengan keluarganya?
Hal ini perlu dirinci:
Pertama: jika keluarga yang berkumpul tersebut semuanya masih termasuk mahram, seperti: ayah, ibu, mertua, saudara kandung, anak, kakek, nenek, dan semisalnya, maka tidak mengapa memperlihatkan wajah. Asy-Syarwani berkata,
جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ: وَعَوْرَةُ بِالنِّسْبَةِ لِنَظْرِ الْأَجَانِبِ إِلَيْهَا
“Aurat wanita terhadap pandangan lelaki ajnabi (non-mahram), yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad.” (Hasyiah asy-Syarwani ‘ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112).
Al-Juwaini mengatakan:
الْأَجْنَبِيَّةُ فَلَا يَحِلُّ لِلْأَجْنَبِيِّ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى غَيْرِ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ أَمَّا
“Adapun wanita ajnabiyah tidak halal bagi lelaki ajnabi untuk melihatnya kecuali wajah dan telapak tangan.” (Nihayatul Mathlab, 12/31).
Berarti di depan orang yang bukan ajnabi, boleh memperlihatkan wajah dan telapak tangan.
Kedua: jika keluarga yang berkumpul terdapat lelaki ajnabi (bukan mahram) maka dirinci lagi:
Rincian pertama:
Jika wanita tersebut lebih meyakini pendapat ulama yang mengatakan wajibnya menutup wajah, dan wajah adalah aurat, maka tidak boleh menampakkan wajah. Karena ia berkeyakinan menutup wajah adalah wajib, jika dibuka depan ajnabi maka ini perbuatan maksiat.
Tidak boleh melakukan maksiat demi mencari ridha orang lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من التمس رِضا اللهِ بسخَطِ الناسِ ؛ رضِيَ اللهُ عنه ، وأرْضى عنه الناسَ ، ومن التَمس رضا الناسِ بسخَطِ اللهِ ، سخِط اللهُ عليه ، وأسخَط عليه الناسَ
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah walaupun orang-orang murka, maka Allah akan ridha padanya dan Allah akan buat manusia ridha kepadanya. Barangsiapa yang mencari ridha manusia walaupun Allah murka, maka Allah murka kepadanya dan Allah akan buat orang-orang murka kepadanya juga“ (HR. Tirmidzi no.2414, Ibnu Hibban no.276, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Ketika ada yang meminta untuk membuka wajah ketika itu, maka tidak boleh ditaati, baik itu suami maupun orang tua. Allah melarang mentaati orang yang menyuruh pada maksiat. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“dan janganlah kamu taati orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (QS. Al Kahfi: 28).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).
Namun perlu diperhatikan, ketika tidak membuka wajah, bukan berarti tidak bergaul dan tidak bercengkrama dengan karib-kerabat. Boleh tetap bergaul dan bercengkrama selama dalam batasan yang dibolehkan.
Rincian kedua:
Jika wanita tersebut lebih meyakini pendapat ulama yang mengatakan menutup wajah tidak wajib, namun mustahab (sunnah) dan wajah bukanlah aurat, maka tidak berdosa jika ia membuka wajahnya. Karena perkara mustahab tidak berdosa jika ditinggalkan, namun lebih utama jika wajah ditutup.
Terkadang dianjurkan meninggalkan perkara yang utama (mustahab) jika tujuannya ta’liful qulub (mengikat hati) orang agar bisa memberi nasehat kepada mereka. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada ‘Aisyah radhiallahu’anha:
لولا أن قومك حديث عهد بكفر؛ لأسست الكعبة على قواعد إبراهيم
“Kalau bukan karena kaummu yang baru saja lepas dari kekufuran, akan aku bangun kembali pondasi Ka’bah sesuai dengan dibuat oleh Ibrahim” (HR. Bukhari – Muslim).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menunda restorasi pondasi Ka’bah yang ini termasuk perkara yang utama, demi ta’liful qulub (mendekatkan hati).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
ويستحب للرجل أن يقصد إلى تأليف القلوب بترك هذه المستحبات ، لأن مصلحة التأليف في الدين أعظم من مصلحة فعل مثل هذا
“Dianjurkan bagi seseorang meniatkan untuk ta’liful qulub (mengikat hati) orang lain ketika meninggalkan perkara-perkara mustahab ini. Karena maslahah ta’liful qulub agar orang mau beragama dengan benar itu adalah maslahah yang lebih besar dibanding melakukan perkara-perkara tersebut” (Majmu’ Al Fatawa, 2/407).
Syaikh Muhammad Al Imam menjelaskan: “Ini adalah perkataan yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang juga disebutkan oleh para ulama yang lain semisal Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi dalam kitab Syarah Aqidah Thahawiyah, dan ulama yang lainnya. Perkataan ini gamblang. Maksudnya, jika ada suatu perkara yang dianjurkan dalam syariat namun tidak sampai wajib, tidak diwajibkan oleh Allah kepada kita dan tidak pula diwajibkan oleh Rasulullah kepada kita, jika melakukannya di tengah masyarakat beresiko dapat menimbulkan fitnah, maka menunda melaksanakannya hingga tepat waktunya dalam rangka ta’liful qulub kepada masyarakat adalah perkara yang baik”.
Namun wanita yang membuka wajah di depan karib-kerabat juga hendaknya tidak bermudah-mudah bercengkrama dengan karib-kerabat yang bukan mahram. Rasulullah pun mewanti-wanti akan hal ini. Dari sahabat ‘Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إياكم والدخول على النساء، فقال رجل من الأنصار: يا رسول الله: أفرأيت الحمو؟ قال: الحمو: الموت
“Jauhilah masuk ke rumah-rumah para wanita”. Maka seorang lelaki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan ipar?”. Beliau bersabda: “ipar adalah maut“ (HR. Bukhari – Muslim).
Padahal ipar termasuk karib-kerabat, namun Rasulullah mewanti-wanti bermudah-mudahan terhadap mereka sampai dikatakan sebagai maut. Maka terhadap keluarga yang bukan mahram yang lawan jenis, tidak boleh:
- memperlihatkan aurat
- berduaan
- bersentuhan
- bercanda berlebihan
- melembutkan suara dalam berbicara
Dan adab-adab Islam yang lain terhadap lawan jenis yang bukan mahram.
Selamat bersilaturahmi dengan keluarga.
Semoga Allah memberi taufik.
***
Penulis: Ustadz Yulian Purnama
Artikel Muslimah.or.id
Bismillah,,
Bolehkah membuka cadar ketika makan di tempat umum