Beliau adalah Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan ibunda Anas bin Malik. Wanita istimewa ini adalah sosok yang cerdas serta berparas cantik. Suami pertamanya yakni Malik bin Nadhar, terbunuh dan belum diberi hidayah dengan cahaya Islam.
Dia tidak hanya shalihah namun lihai bertutur kata, penuh semangat dan percaya diri bahwa hanya Islamlah pedoman hidup yang benar di dunia serta akhirat. Figur teladan para muslimah yang memiliki konsep diri islami, tipikal mukminah ideal serta mampu memberikan pencerahan kepada orang lain sesuai dengan standar Allah dan rasul-Nya. ‘Aku dirinya’ begitu kuat dengan dilandasi pemahaman Islam yang lurus dalam memaknai hidupnya, tak goyah dengan berbagai godaan yang mencoba meruntuhkan benteng pertahanan aqidahnya, yang meski saat itu berbagai makar sengit dilancarkan musyrikin Quraisy untuk melawan dakwah tauhid, Laa ilaaha illallaah. Dia tidak terpengaruh ‘aku sosial’ sebagaimana umum terjadi di jazirah Arab yang mengagungkan berhala. Militansi keimanannya sangat mengagumkan hingga terbentuklah pribadi mulia yang melawan arus kejahiliyahan. Satu lagi kelebihan shahabiyah ini, beliau memiliki ‘aku ideal’, sosok yang benar di hadapan Allah Ta`ala karena ketaatan dan kesholihan demi kebahagiaan akhirat. Dialah wanita luar biasa yang tak mudah tergoda sanjungan dan tak mudah disuap dengan harta.
Konsep dirinya yang positif islami dapat kita lihat bagaimana piawainya beliau tatkala berdialog dengan Abu Thalhah. Setelah Ummu Sulaim radhiyallaahu `anha menyelesaikan iddahnya, datanglah Abu Thalhah hendak meminang Ummu Sulaim, namun Ummu Sulaim mengatakan: “Wahai Abu Thalhah, engkau adalah seorang yang kaya dan terpandang, maka orang seperti engkau tidak akan ditolak lamarannya. Hanya saja engkau adalah seorang yang belum beriman (baca: kafir), sedangkan aku adalah seorang muslimah, dan aku tidak akan menikah dengan seorang yang masih kafir”. Abu Thalhah berkata: “Wahai Ummu Sulaim, sebenarnya apa yang engkau inginkan? Apakah engkau menginginkan mahar dari emas dan perak?” Ummu Sulaim menjawab: “Tidak, aku tidak berharap emas dan perak darimu, tetapi aku hanya berharap padamu agar engkau masuk Islam. Jika engkau masuk Islam maka itulah maharku, aku tidak meminta mahar selainnya.” Abu Thalhah berkata: “Kepada siapa aku mengikrarkan keislaman?” Ummu Sulaim menjawab: “Temuilah Rasulullah Shallallaahu `alaihi wa sallam dan ikrarkan keislamanmu kepada beliau”. Berangkatlah Abu Thalhah menemui Rasulullah Shallallaahu `alaihi wa sallam, kala itu Rasulullah Shallallaahu `alaihi wa sallam sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Tatkala Rasulullah melihat Abu Thalhah, Rasulullah Shallallaahu `alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya: “Telah datang Abu Thalhah dan aku melihat cahaya keislaman diantara kedua matanya”. Abu Thalhah menceritakan kepada Rasulullah Shallallaahu `alaihi wa sallam maksud kedatangannya, hingga akhirnya Abu Thalhahpun menikah dengan Ummu Sulaim (HR. An-Nasa`i No. 3341 dan dishahihkan Al-Albani dalam ta`liq atas kitab Sunan An-Nasa`i Al-Mujtaba).
Demikianlah Ummu Sulaim orang yang mengetahui aku diri dan aku sosialnya kemudian mampu mengalahkannya pada aku idealnya. Kemampuan diplomasinya luar biasa, beliau begitu jeli memilah permasalahan tidak langsung membuat generalisasi. Inilah konsep diri yang kuat yang tak akan tergoyahkan. Dan sebagai sosok muslimah sejati standar utama dalam memilih pasangan adalah variable ketaqwaan kepada Allah Ta`ala.
Semoga kisah menarik di atas menginspirasi para muslimah untuk bersikap tawadhu, tidak menjadi pemimpi dan memiliki harapan berlebihan tentang sosok pria yang superideal dalam perkara agama dan dunia. Jangan hanya punya ‘aku diri’, tidak punya aku ideal sehingga menjadi wanita biasa tanpa memiliki target-target islami dalam dunia pernikahan.
***
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Referensi :
- Majalah Nabila edisi 15/2005
- Majalah Al-Furqon edisi 169 Vol. 10 tahun ke-15
Artikel Muslimah.or.id