Sebuah surat ditulis seorang anak gadis kepada ibunya. “Ibu, dengan hormat aku sampaikan penghormatanku yang wangi dalam jambangan mawar cinta. Tapi jambangan ini juga membawa setitik celaan disebabkan oleh hubungan kita yang membuatku selalu merasa bahwa aku masih kecil dan belum mampu untuk mengemban tanggung jawab, sehingga menghilangkan rasa percaya diriku dan menambah perasaan lemahku. Sebenarnya yang aku minta agar ibu memberiku kesempatan untuk mencoba menunjukkan identitasku dan menampilkan kemampuanku dalam mengemban tanggung jawab, walau dalam perkara yang paling sederhana sekalipun. Ibu selalu saja marah saat aku masuk ke dapur untuk melakukan suatu pekerjaan dan menyuruhku keluar supaya aku tidak terbakar, begitu katamu. Mengapa harus begitu wahai ibuku? Aku telah berumur 15 tahun, tapi mesti begitu, kekhawatiran yang terlalu berlebihan padaku membuat aku tidak mampu melakukan suatu pekerjaan sampai sekarang, ini dapat menghilangkan perasaan bertanggungjawab, khususnya pada umur ini. Oleh karena itu aku berharap ibu mau memahami aku dan jangan memarahi aku dalam masalah-masalah ini supaya aku tidak kehilangan kepercayaan diri dan merasa bahwa aku masih kecil. Anak gadismu yang mencintaimu”. (dikutip dari Puber Tanpa Gejolak, DR. Akram Ridho, hal 168-169).
Demikian curahan hati seorang gadis belia dimana dia merasa galau dan tertekan dengan perlakuan ibunya yang tidak memberinya kesempatan untuk mencoba banyak hal yang bermanfaat. Kekhawatiran yang berlebihan dari orang tuanya telah membuat problema besar dalam dirinya, dimana dia diperlakukan sebagaimana anak kecil dengan penuh kemanjaan serta tidak dibimbing dengan penuh kasih sayang untuk belajar bertanggung jawab. Perlakuan over dan cenderung otoriter justru akan membuat jiwanya lemah lantaran berbagai aturan-aturan yang bertentangan dengan perasaan penasaran seorang remaja yang tengah mencari jati dirinya.
Baca juga: Figur Ayah Bagi Anak Perempuan
Lantas bagaimana peran dan sikap bijak orang tua dalam membersamai anak remajanya? Terkadang problematika remaja muncul karena harapan orang tua yang terlalu berlebihan seperti menjadikan anaknya sebagaimana keinginan sepihak orang tua, sukses secara akademik namun tak memberikan kesempatan anak untuk menjadi dirinya sendiri sepanjang masih dalam konteks nilai-nilai Islam. Realitasnya ketika terjadi diskomunikasi dan ketidak-harmonisan antara orang tua dan anak seringkali orang tua memaksakan keinginannya pada anak. Dan happy ending-nya, yang jadi korban seringkali anak mengalami stres, depresi dan gangguan-gangguan mental karena menjalani perintah orang tua yang tak sesuai dengan cita-citanya.
Orang tua harus melakukan pendekatan positif dengan anak, meluangkan waktu bersama sehingga terjalin kedekatan psikis dan fisik. Membuka dialog dengan anak-anak sehingaga mereka merasa nyaman ketika berinteraksi dengan orang tua. Memberinya suport dalam hal-hal positif. Hindari perasaan superioritas sebagai orang tua, sebagai pihak yang merasa selalu benar dan anti kritik. Remaja adalah sebuah fase dimana orang tua harus pandai dan cerdas dalam menaklukkan badai tanpa menyisakan bencana. Mereka sosok-sosok dinamis yang harus dipahami kemauannya, didengarkan keluhannya dan dibedakan karakternya. Orang tua perlu banyak belajar menyelami mereka dan mencari solusi cerdas dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Jangan segan-segan melatih kemampuannya, mereka butuh penghargaan agar tumbuh rasa percaya dirinya. Apresiasi ketika mereka melakukan kebaikan dengan baik.
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menceritakan “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berada di rumah Maimunah, lalu aku menyiapkan air wudhu untuk beliau. Lantas Maimunah memberitahukan “Abdullah bin Abbas yang menyiapkan air ini untuk engkau”. Beliaupun berdoa “Yaa Allah berikanlah kepadanya pemahaman dalam ilmu agama dan ajarkanlah tafsir Al-Qur`an kepadanya”. (HR. Al-Hakim III/534).
Baca juga: Problematika Di Antara Anak-Anak
Banyak riwayat menjelaskan betapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memberi kepercayaan kepada kaum muda untuk menunjukkan identitas dirinya, sebagaimana Usamah bin Zaid yang menjadi panglima perang saat usianya 18 tahun. Pembiasaan agar anak diberi kesempatan untuk melakukan kebaikan akan bermanfaat untuk kehidupannya kelak.
***
Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa
Referensi :
1. Mencetak Generasi Robbani, Ummu Ihsan & Abu Ihsan Al-Atsari, Pustaka Imam Asy-Syafi`i, Jakarta, 2015
2. Puber Tanpa Gejolak, DR. Akram Ridha, Qisthi Press, Jakarta, 2005
Artikel Muslimah.or.id