Kita ketahui bersama bahwa bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram dilarang dalam agama. Karena dilarangnya bersentuhan kulit antara lawan jenis yang bukan mahram. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لاتحل له
“Andai kepala seseorang diantara kalian ditusuk dengan jarum besi itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal” (HR. Thabrani, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’, 5045).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
إني لا أصافح النساء
“sungguh aku tidak bersalaman dengan wanita” (HR. An-Nasa’i no. 4192, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai bersalaman dengan lawan jenis yang sudah tua renta, semisal wanita bersalaman dengan lelaki yang sudah tua renta atau lelaki bersalaman dengan wanita yang sudah tua renta.
Sebagian ulama melarang secara mutlak bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram, baik masih muda ataupun sudah tua renta. Berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarang bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan:
“Lelaki bersalaman dengan wanita hukumnya tidak diperbolehkan, baik ia tua renta atau pun masih muda. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إني لا أصافح النساء
‘sungguh aku tidak bersalaman dengan wanita‘. Ketika datang kepada beliau para wanita untuk berbai’at dan mereka menyodorkan tangan untuk bersalaman, beliau bersabda: ‘sungguh aku tidak bersalaman dengan wanita‘. Dan ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata:
والله ما مست يد رسول الله يد امرأة قط، ما كان يبايعهن إلا بالكلام
‘Demi Allah, tangan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah menyentuh tangan wanita, ketika membai’at beliau membai’at dengan perkataan saja‘.
Yang dimaksud Aisyah di sini adalah, kepada wanita yang bukan mahram Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau tidak bersalaman. Adapun dengan wanita yang merupakan mahramnya, maka tidak mengapa. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan Fathimah, dan bersalaman dengan para mahramnya. Dan tidak masalah seorang lelaki bersalaman dengan istrinya, saudarinya, bibinya, dan seluruh wanita yang merupakan mahramnya. Yang terlarang adalah bersalaman dengan wanita ajnabiyah (bukan mahram) semisal istri dari saudaranya, atau saudari dari istrinya, dan para wanita selainnya. Ini tidak diperbolehkan. Tidak diperbolehkan kepada wanita tua renta, ataupun wanita muda, ini pendapat yang tepat. Baik dilakukan dengan penghalang, walaupun ia memakai sesuatu di tangannya, maka hendaknya ia tidak bersalaman secara mutlak. Karena bersalaman dengan penghalang itu adalah wasilah kepada bersalaman lain yang tanpa penghalang”1.
Sebagian ulama membolehkan bersalaman dengan lawan jenis yang sudah tua renta yang sudah tidak memiliki syahwat (menopause), dengan syarat aman dari fitnah. Karena illah larangan bersalaman adalah dikhawatirkan terjadi fitnah, sedangkan ketika sudah menopause maka kekhawatiran tersebut tidak ada. As Sarkhasi rahimahullah mengatakan:
“Jika wanita tersebut sudah tua renta dan sudah menopause maka tidak mengapa bersalaman dengannya dan menyentuh tangannya. Sebagaimana diriwayatkan:
أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُصَافِحُ الْعَجَائِزَ فِي الْبَيْعَةِ وَلَا يُصَافِحُ الشَّوَابَّ وَلَكِنْ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ فِي قَصْعَةِ مَاءٍ ثُمَّ تَضَعُ الْمَرْأَةُ يَدَهَا فِيهَا فَذَلِكَ بَيْعَتُهَا
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasa bersalaman dengan wanita-wanita tua ketika membai’at, dan tidak bersalaman dengan wanita-wanita muda. Namun beliau meletakkan tangannya di mangkuk berisi air, lalu setelah itu para wanita meletakkan tangannya di mangkuk tersebut, demikianlah cara beliau membai’at wanita“.
Namun Aisyah radhiallahu’anha mengingkari hadits ini dengan mengatakan:
مَنْ زَعَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَسَّ امْرَأَةً أَجْنَبِيَّةً فَقَدْ أَعْظَمَ الْفِرْيَةَ عَلَيْهِ
“barangsiapa mengklaim bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menyentuh wanita ajnabiyyah, itu adalah kedustaan yang besar atas beliau“.
Dan diriwayatkan juga bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhu ketika menjadi khalifah beliau berkunjung ke sebagian kabilah yang tertindas, kemudian beliau bersalaman dengan wanita-wanita tua di sana. Dan juga Az Zubair radhiallahu’anhu ketika sakit di Mekkah, beliau menyewa seorang wanita tua untuk menjadi perawatnya, perawat tersebut biasa menyelimuti kaki beliau dan membersihkan kepala beliau.
Dan juga karena diharamkannya bersalaman itu illah-nya adalah kekhawatiran terjadi fitnah. Jika wanita sudah menopause maka kekhawatiran terjadi fitnah sudah tidak ada. Demikian juga lelaki yang sudah tua renta yang merasa aman dari fitnah syahwat, boleh baginya bersalaman dengan wanita. Namun jika ia tidak merasa aman dari fitnah syahwat maka tidak boleh bersalaman, karena ini mengantarkannya kepada fitnah”2 .
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah mengatakan,
إذا كان الأمر المقطوع في كونها عجوز لا تُشتهى ،ففي هذه الحالة لا مانع ، ولكن إذا كان الأمر يُحتمل أن تُشتهى ،فتعود قاعدة سدِّ الذّريعة ووجوب تطبيقها
“Jika dapat dipastikan wanita tersebut sudah renta dan menopause, maka dalam keadaan ini tidak mengapa (bersalaman). Namun jika masih diragukan dan belum bisa dipastikan, maka kembali pada kaidah sadd adz dzari’ah dan menerapkannya” 3.
Wallahu a’lam, kami lebih cenderung pada pendapat kedua yang membolehkan bersalaman dengan lawan jenis, jika dapat dipastikan ia sudah renta dan menopause, dengan syarat aman dari fitnah. Karena hal tersebut dilakukan sebagian sahabat Nabi. Dan illah larangan bersalaman dengan non mahram adalah dikhawatirkan terjadi fitnah, ini sangat jelas, sedangkan kaidah ushul fiqh mengatakan,
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
“Hukum berputar bersama illah-nya, ada atau tidaknya illah berpengaruh pada hukum“.
Namun tentu saja tidak boleh bermudah-mudahan dalam masalah ini mengingat hadits-hadits larangan bersentuhan dengan lawan jenis sangat tegas dan berat ancamannya. Harus dipastikan aman dari fitnah dan jika masih bisa untuk menjaga diri untuk tidak bersalaman dengan lawan jenis yang sudah tua renta, itu lebih baik dan lebih utama.
Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab rahimahullah, seorang ulama tabi’in :
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ قَالَ: «قَدْ بَلَغْتُ ثَمَانِينَ سَنَةً وَمَا شَيْءَ أَخْوَفُ عِنْدِي مِنَ النِّسَاءِ» وَكَانَ بَصَرُهُ قَدْ ذَهَبَ
“Dari Sa’id bin Musayyab beliau bekata: “Umurku sudah 80 tahun, dan tidak ada yang aku khawatirkan bagi diriku selain fitnah wanita“, dan beliau mengatakan demikian ketika penglihatannya sudah hilang” 4.
Suatu sikap wara’ yang patut dicontoh oleh para lelaki kaum Muslimin dan menjadi perhatian bagi para Muslimah.
Wallahu ta’ala a’lam.
- Sumber: http://www.binbaz.org.sa/noor/9339
- Al Mabsuth, 10/154
- Al Hawi fi Fatawa Al Albani 2/130, dinukil dari http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=47972
- Hilyatul Auliya wa Thabaqatul Ashfiya, 2/166
Pa ustadz Bagaimana Dengan hadis ini Apakah benar bahwasanya sahabat Rasulullah pernah bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya sebagaimana disebutkan dalam hadits ini apakah ini menunjukkan bahwa bersalaman dengan wanita yang bukan mahram itu boleh asalkan tanpa syahwat dan tidak terjadinya fitnah.
Dari Abu Musa al-‘Asyari r.a., beliau berkata: aku mendatangi Nabi s.a.w. di Bathha’, kemudian beliau berkata: “apakah engkau telah berhaji?”,aku katakan: “sudah ya rasul!”Beliau bertanya:”bagaimana kau ber-Ihlal(ihram)?”, aku
menjawab: “Aku berihlal sebagaimana ihlal-nya rasul s.o.w.”, Kemudian Rasul berkata: “Thawaflah engkau di masjidil-Haeam lalu sa’i antara shafa dan marwa kemudian tahallul”. Akupun thawaf dan sa’i, setelah itu aku mendatangi wanita dari bani Qais lalu ia memijit kepalaku. (HR al-Bukhari)
Dalam hadits ini, terdapat petunjuk yang sangat jelas sekali bahwa salah seorang sahabat Nabi s.a.w.; Abu Musa al-Asy’ari yang bersentuhan dengan lawan jenis.