Yang paling ideal dalam membaca Al-Qur’an adalah membacanya dengan tartil, mengaplikasikan seluruh hukum tajwidnya, lalu menghiasi bacaan Al-Qur’an tersebut dengan suara yang indah; syahdu; dan merdu. Sehingga ketika kita mendengarnya, suaranya itu dapat semakin menambah kekhusyukan; kenikmatan; dan takut kepada Allaah. Itu idealnya, namun yang sering terjadi adalah begini:
Seseorang sedang menghafal Al-Qur’an dan meniru salah satu cengkok lantunan bacaan seorang qaari’ yang suaranya dikenal merdu dan mendayu-dayu. Selama tidak memaksakan diri untuk bisa sama persis dengan sang qaari’ ya masih boleh saja. Karena kalau sudah memaksakan diri dalam hal mengikuti persis suara seorang qaari’, kata para ulama, hal itu termasuk bid’ah dalam beribadah.
Di satu sisi ini memang bisa membantu menghafal, namun di sisi lain, banyak sekali praktek “tajwid diseret oleh lagu”. Bukannya lagu yang mengikuti tajwid. Artinya, seseorang itu mengorbankan tajwid dalam bacaannya demi ingin berusaha menyamakan dengan maqaamaat atau cengkok nada atau menyamai bacaan sang qaari’. Ada di antara qaari’ itu yang memang terlalu memaksakan diri, khususnya dalam praktek mujawwad, yang harus mengikuti maqaamaat tertentu.
Ada pula qaari’ yang tajwidnya bagus, suaranya juga merdu, namun yang keliru adalah yang meniru. Kenapa? Saya ambil contoh seorang qaari’ yang cukup banyak ditiru oleh masyarakat yakni Syaikh Musyaari Raasyid. Beliau itu dahulu di Universitas Islam Madinah mengambil jurusan studi Al-Qur’an, sudah piawai juga membaca Al-Qur’an, plus munsyid juga sih. Kalau Beliau membuat cengkok, sependek yang saya dengar masih bisa dibilang pas dengan tajwidnya. Akan tetapi, yang mengimitasi bacaan beliau, bisa jadi karena belum belajar tajwid atau mungkin sudah belajar tajwid, memaksakan diri dan kurang teliti. Walhasil tajwidnya acak-acakan sekali plus lahn (kesalahan dalam membaca Al-Qur’an) bertubi-tubi, baik yang khafiyy (ringan) atau yang jaliyy (berat).
Konkretnya begini: salah satu bacaan Beliau yang dianggap merdu oleh banyak orang adalah pada salah satu versi bacaan surat Al-Insaan; Yuusuf; Ibraahiim; Al-Qiyaamah [saat qiyaamul lail] -itu hanya contoh, sebetulnya masih banyak lagi-. Pada surat Al-Qiyaamah ayat: 27
??????? ???? ?????
Di antara kata ?? dan ??? ada saktah. Pada kata raaq sendiri jika dibaca waqf (berhenti) panjangnya 2, 4, 6 harakat karena ada mad ‘aaridh lissukuun. Jika seseorang mau nekat mengikuti cengkok bacaan Syaikh Musyaari dalam surat Al-Qiyaamah versi qiyaamullail, itu saking lekak-lekuknya bisa jadi kebablasan sampai 8 harakat, dan ini keliru. Ini hanya contoh kecil saja.
Ada lagi ketika ingin mengayunkan suara pada hukum bacaan ikhfaa‘. Seseorang seringkali kurang hati-hati dan teliti dalam melagukannya, hingga malah menambahkan huruf yang tidak semestinya ada. Maka, jika kita tidak bisa memenuhi idealisme dalam membaca atau menghafal Al-Qur’an seperti yang saya paparkan di paragraf awal, maka utamakan terapkan ilmu tajwidnya dahulu, karena membaca Al-Qur’an sesuai kaidah ilmu tajwid hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah. Adapun menghiasi bacaan Al-Qur’an dengan suara yang bagus dan merdu hukumnya mustahabb/sunnah. Sesuatu yang hukumnya fardhu ‘ain harus didahulukan daripada yang hukumnya mustahabb.
Sudah belajar ilmu tajwid dasar atau belum ya? Masih banyak tugas lho… jangan banyak berleha-leha ya?
—
Penulis: Fatihdaya Khoirani
Artikel Muslimah.Or.Id
Jazakumullah min ^_^
ternyata masih banyak yang harus di perbaiki, disela kesibukan ada cara mudah ng untuk mempelajari tajwid?
jazaakallahu khairan min :)
alhamdulillah tiap malam senin min di jadwalkan..
assalamualaikum,,, punten ukh,, itu foto ilutrasinya agak gimana gitu… saya menlihatnya kalau wanita tsb menunjuk al-quran dgn tangan kiri bukan ???
assalamualaikum ukhti.. infonya bagus sekali… saya mau tannya, apakah untuk menjaga suara agar tetap stabil tidak diperbolehkan mengkomsumsi makanan yang berminyak?? mohon infonya.. syukron..
sebentar…cm nanya…ini yg buat artikel ilmunya dah lebih dari qari misyari ya…hebat donk berarti dah bisa ngoreksi bacaan qari international
@mary, mohon dibaca dengan teliti, tidak ada bagian dari artikel di atas yang mengoreksi Musyari Rasyid.
Hukum mempelajari bahasa arab adalah fardhu kifaayah. Artinya, jika pada suatu tempat/daerah sudah ada penduduk yang mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban bagi penduduk yang lain.
Sehubungan dengan mempelajari Al-Qur’an, ada banyak bidangnya: semisal mempelajari hukum tajwid yang dasar, mengerti arti dan tafsirnya, mengerti hukum-hukum syariat yang diambil dari ayat-ayatnya, mempelajari ushul tafsir dan lain sebagainya. Pelajaran asas yang harus ditempuh oleh seseorang adalah belajar hukum tajwid yang paling dasar agar dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan menghindari kesalahan dalam membacanya, karena hukum mengamalkan ilmu tajwid ketika membaca Al-Qur’an itu fardhu ‘ain…berbeda halnya dengan hukum mempelajari ilmu tajwid secara teori sebagai sebuah disiplin ilmu itu fardhu kifaayah.
Jika kita tidak bisa menempuh standar ideal sehubungan dengan mempelajari Al-Qur’an, maka kita bisa mengambil pembelajaran asas yang minimum: belajarlah ilmu tajwid dasar sekadar dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar dan terapkan, menghafal sembari membaca terjemahan, jika ada kesempatan maka lanjutkan dengan membaca tafsirnya.
Apakah jika ada kesalahan sedikit dalam makhraj tanpa sengaja saat shalat maka harus diulangi huruf tersebut untuk memperbaiki nya, ya ustadzah?
artikel bagus