Mengingat Allah adalah sebab keselamatan seorang hamba dari kebinasaan di dunia maupun akhirat
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما عمل ابن آدم عملا أنجى له من عذاب الله من ذكر الله
“Tidaklah seorang anak Adam beramal dengan suatu amal yang paling menyelamatkan ia dari azab selain zikir kepada Allah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, At-Thabrani dengan sanad yang hasan)
Hadis ini menjelaskan bahwa zikir adalah amalan yang paling agung. Zikir merupakan sebab keselamatan seorang hamba dari kebinasaan, baik itu di dunia, maupun di akhirat. Barang siapa yang senantiasa berzikir kepada Allah Ta’ala, maka Allah akan menyelamatkan dia dari segala kesusahan. Oleh karena itulah, jika para Nabi ‘alaihis shalatu wasallam tertimpa kesempitan atau kesusahan, maka mereka akan lebih kuat zikirnya kepada Allah Ta’ala.
Kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam ketika sakit
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ. فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ فَكَشَفْنَا مَا بِهِۦ مِن ضُرٍّ ۖ وَءَاتَيْنَٰهُ أَهْلَهُۥ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَىٰ لِلْعَٰبِدِينَ
“Dan Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya, “(Wahai Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Maka Kami pun mengijabah seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya: 83-34)
Kisah Nabi Yunus ketika terperangkap di dalam perut ikan paus
وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَٰضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ أَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ. فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَنَجَّيْنَٰهُ مِنَ ٱلْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُۨجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim. Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya: 87-88)
Kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika didustakan oleh kaumnya
كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ فَكَذَّبُوا۟ عَبْدَنَا وَقَالُوا۟ مَجْنُونٌ وَٱزْدُجِرَ. فَدَعَا رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَغْلُوبٌ فَٱنتَصِرْ. فَفَتَحْنَآ أَبْوَٰبَ ٱلسَّمَآءِ بِمَآءٍ مُّنْهَمِر
“Sebelum mereka, telah mendustakan (pula) kaum Nuh, maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan, “Dia seorang gila dan dia sudah pernah diberi ancaman.” Maka dia mengadu kepada Tuhannya, “Bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku).” Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah.” (QS. Al-Qamar: 9-12)
Dan masih banyak dalil yang menunjukkan contoh tersebut. Para Nabi, sebaik-baik hamba, sebaik-baik teladan bagi setiap manusia, ketika menemui kesulitan, yang pertama kali mereka ingat, dzat untuk mengadu, dzat untuk meminta pertolongan, dzat untuk meminta solusi, adalah Allah Ta’ala.
Hikmah dari kisah-kisah ini adalah, para Nabi ketika mengingat Allah, mereka sadar bahwa mereka adalah hamba yang lemah, hamba yang fakir atas pertolongan, hamba yang mengakui kezalimannya, padahal mereka adalah Nabi. Maka di manakah posisi kita yang angkuh, tidak merasa butuh, merasa bersih tidak mempunyai dosa?!
Allah akan mengingat hamba-Nya yang mengingat-Nya
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ
“Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 45)
فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah:152)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى ، فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى ، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Dan Aku bersamanya jika ia mengingatku. Jika dia mengingatku dalam bersendirian, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia mengingatku dalam suatu kumpulan, maka Aku akan mengingatnya dalam kumpulan yang lebih baik darinya. Jika dia mendekat kapada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menunjukkan besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mengingat-Nya. Lebih besar kasih sayang Allah dibandingkan dengan kasih sayang ibu kepada anaknya. Bukan setara, tapi jauh lebih besar.
Tidakkah kita malu, wahai Saudariku. Ketika kita sulit, siapakah yang harus kita ingat? Teladanilah para Nabi yang ketika sulit, mereka mengingat Allah, menumpahkan segala aduannya kepada Allah, menumpahkan segala pengakuan terhadap kurangnya diri kepada Allah. Jadilah orang yang mengakui bahwa tidak ada sebaik-baik penolong selain Allah.
Berprasangka baik kepada Allah dalam meminta
Hadis ini juga menunjukkan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Kirmani dalam Fathul Bari (13: 385) bahwa ketika kita membutuhkan pertolongan, maka sisi harap (ar-roja) harus lebih besar daripada sisi takut (al-khauf). Ketika Allah mengatakan, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku”, maka perbesarlah rasa harap, bahwasanya Allah pasti akan menolong kita ketika kita sulit. Ketika kita berprasangka baik kepada Allah, maka kebaikan untuknya; dan jika kita berprasangka buruk kepada Allah, maka keburukan itu untuknya. Sehingga ketika berdoa dan meminta pertolongan kepada Allah, perbesarlah rasa harap bahwa Allah pasti akan menolong hamba-Nya yang meminta.
Persangkaan yang baik kepada Allah dilakukan setelah kita meminta. Ketika kita tidak mengingat Allah, kita tidak meminta kepada Allah, maka kita tidak layak untuk memperbesar rasa harap kepada Allah agar Allah menolong kita. Rasa harap tersebut hanyalah angan-angan kosong, seperti orang yang berharap datangnya pertolongan, yang sebenarnya tidak pernah ia minta.
Allahu a’lam.
Baca juga: Aku Sudah Hijrah dan Bertakwa, tapi Mengapa Ekonomi Masih Sulit?
***
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Catatan kaki:
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan bin Abdillah. 1436 H. Ithaful Kiram bi Syarhi Kitabil Jami’ fil Akhlaq wal Adab. Dar Qorthoba, Beirut.
Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. 1390 H. Fathul Bari bi Syarhil Bukhari. Maktabah As-Salafiyyah, Mesir.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih bin Muhammad. 1426 H. Syarh Riyadhus Shalihin. Darul Wathan, Riyadh.
Al-Juhni, Khalid bin Mahmud. 1433 H. Janyul Tsimar Syarh Shahihil Adzkar. Darul ‘Alam wal M’arifah, Mesir.