Menuntut ilmu adalah sebuah aktivitas yang istimewa lagi mulia. Karena dengan menuntut ilmu, seseorang dapat meraih kesuksesan, kehormatan, dan derajat yang tinggi.
Apalagi, jika yang dituntut adalah ilmu agama, yang dapat mengantarkan seorang hamba meraih keridaan Rabbul ‘Alamin, mengantarkannya kepada kebahagian di dunia dan juga akhirat.
Maka sudah selayaknya, bagi seorang yang berusaha untuk menuntut ilmu agar menghiasi dirinya dengan karakter yang luhur, budi pekerti yang tinggi. Hingga ia pun dapat menjadi pribadi yang kokoh, yang dapat menguatkan dirinya dan memberikan pengaruh positif terhadap orang lain.
Di antara karakter seorang penuntut ilmu adalah:
Senantiasa berusaha untuk mengikhlaskan niat
Menuntut ilmu adalah ibadah. Karena hanya dengan menuntut ilmu kita dapat mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya sesuai dengan tata cara yang diajarkan oleh Rasul-Nya.
Bahkan Allah telah menjadikan kegiatan menuntut ilmu sebagai bagian dari jihad di jalan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Sebagaimana dalam setiap ibadah kita dituntut untuk mengikhlaskan niat hanya untuk mencari wajah Allah, begitu juga dalam menuntut ilmu. Kita wajib mengikhlaskan niat dan melindunginya dari niat-niat yang rusak. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya diniatkan mengharap wajah Allah ‘Azza wa Jalla, namun ia mempelajarinya untuk memperoleh tujuan duniawi, maka ia tidak akan mencium aroma surga pada hari kiamat.” [HR. Ahmad (II/338) dan Abu Dawud (3664)]
Bersungguh-sungguh dalam menapaki manhaj salaf
Manhaj artinya jalan atau metode. Allah Ta’ala berfirman,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al-Maidah: 48)
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan, “Maksudnya, jalan dan syariat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3: 129)
Adapun salaf bermakna seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman, keutamaan, dan kebaikan. Ibnu Manzhur rahimahullah mengatakan, “Salaf juga berarti orang yang mendahului anda, baik dari bapak maupun orang-orang terdekat (kerabat) yang lebih tua umurnya dan lebih utama. Karena itu generasi pertama dari umat ini dari kalangan para tabi’in disebut sebagai as-salafus shalih.” (Lisanul ‘Arab, 6: 331)
Yang dimaksud dengan salaf pertama kali adalah para sahabat Nabi, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (masa para sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa tabi’ut tabi’in).” (Muttafaqun ‘alaih)
Maka hendaknya seorang penuntut ilmu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengikuti jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut apa yang telah dilaksanakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ : ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan Ahlul Kitab telah berpecah-belah menjadi 72 golongan. Sesungguhnya umat Islam akan berpecah-belah menjadi 73 golongan, 72 golongan tempatnya di dalam neraka dan hanya satu golongan di dalam surga, yaitu Al-Jama’ah.” [HR. Abu Dawud (4597), Ahmad (IV/102), Al-Hakim (I/128), Ad-Darimi (II/241). Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (no. 203-204)]
Dalam riwayat lain disebutkan,
كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ
“Semua golongan tersebut tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya.” [HR. At-Tirmidzi (2641) dan Al-Hakim (1/129) dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir (no. 5343)]
Senantiasa merasa takut kepada Allah
Sepatutnya bagi seorang penuntut ilmu agama untuk berhias dengan rasa takut kepada Allah secara lahir maupun batin. Karena sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad,
أصل العلم خشية الله تعالى
“Prinsip dasar ilmu adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala.” (Jami’ul Ulum wal Hikam (XI/21)
Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam Syarah Hilyah Thalibil ‘Ilmi, “Apabila seseorang benar-benar mengetahui tentang Allah ‘Azza wa Jalla serta mengenal-Nya dengan benar, maka pasti akan tersemat dalam hatinya rasa takut kepada Allah. Karena ilmu itu membuatnya mengerti tentang Rabb yang Maha Agung, Maha Kuat, Maha Mengalahkan, Maha Mengetahui yang samar dan yang disembunyikan manusia. Maka engkau akan mendapati orang seperti ini akan mentaati Allah ‘Azza wa Jalla dengan sesempurna mungkin.” (Syarah Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hal. 30)
Sebagian orang mengatakan, “Orang yang berakal tidak akan keluar dari tiga hal berikut ini:
1) Ia merasa takut atas dosa-dosa yang telah ia lakukan di masa lalu.
2) Ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi padanya dari waktu ke waktu.
3) Ia merasa takut akan akibat yang belum jelas, karena ia tidak tahu bagaimana akhir yang akan dialaminya.”
Hendaknya kita meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang yang paling berilmu dan paling takut kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Dalil paling jelas yang menunjukkan besarnya rasa takut beliau adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari ‘Aisyah, ia berkata, “Pada suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, lalu aku mencarinya, hingga kedua tanganku menyentuh telapak kedua kakinya. Ketika itu beliau berada di masjid, sedang kedua kakinya berdiri tegak, beliau berucap,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرَضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
‘Ya Allah, aku berlindung kepada keridaan-Mu dari kemurkaan-Mu, dan kepada ampunan-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari adzab-Mu. Aku tidak dapat menjangkau pujian atas diri-Mu, Engkau seperti yang Engkau puji atas diri-Mu sendiri.’” [HR. Muslim (486)]
Baca juga: Ilmu Syar’i (Ilmu Agama): Nutrisi Utama bagi Hati
Bersikap tawadhu dan semangat dalam meraih ilmu
Dikatakan dalam sebuah syair,
الْعِلْمُ حَرْبٌ لِلْفَتَى الْمُتَعَالِي
كَالسَّيْلِ حَرْبٌ لِلْمَكَانِ الْعَالِي
Ilmu akan melawan pemuda yang tinggi hati
Sebagaimana air mengalir melawan tempat yang tinggi
Semakin bertambah ilmu seorang insan, seharusnya membuat dirinya semakin sadar bahwa banyak sekali perkara yang tidak ia ketahui, sehingga mewariskan sikap tawadhu di dalam dirinya dan memotivasi dirinya untuk tambah bersemangat lagi dalam menuntut ilmu.
Dan cara bersemangat dalam meraih ilmu adalah dengan selalu membersamai para ulama dan menyediakan alat tulis agar dapat mencatat faedah-faedah ilmu yang didengar.
Al-Imam Az-Zarnuji rahimahullah mengatakan, “Hendaknya penuntut ilmu bisa memanfaatkan dan mengambil ilmu dari para guru. Tidak semua hal yang terlewat bisa didapatkan kembali, sebagaimana perkataan guru kami Syaikhul Islam (yaitu Syaikhul Islam Ali bin Abi Bakar) dalam masyikhah-nya, “Berapa banyak guru ternama yang saya temui, tetapi saya tidak bisa mengambil riwayat darinya. Atas terlewatnya kesempatan ini, saya menggubah sebuah bait syair,
لَهْفًا عَلَى فَوْتِ التَّلَاقِي لَهْفًا
مَا كُلُّ مَا فَاتَ وَيَفْنَى يُلْقَى
Sayang seribu sayang atas berlalunya kesempatan,
Tidak semua yang berlalu dan sirna akan bisa ditemukan lagi”
Bersikap zuhud dan wara’
Wara’ adalah sebagaimana disebutkan oleh Al-Jurjani (At-Ta’rifat, hal. 252), “Wara’ adalah menjauhi hal-hal yang syubhat karena takut jatuh pada perbuatan haram. Ada pula yang mengatakan, wala’ adalah membiasakan diri melakukan segala perbuatan baik.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan sifat wara’ dalam satu kalimat, beliau bersabda,
من حسن إسلام المرء، تركه ما لا يعنيه
“Salah satu bentuk kebaikan Islamnya seseorang adalah ketika dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi dirinya.” [HR. At-Tirmidzi (4/558) dan Ibnu Majah (2/1315-1316)]
Ini mencakup semua hal yang tidak berguna, baik perkataan, pandangan, pendengaran, pegangan, perjalanan, pikiran dan semua gerakan lahiriah maupun batin. Inilah ungkapan yang mencukupi dan memadai tentang wara’. (Al-Wara’, Ibnu Abi Dunya, hal. 499)
Adapun zuhud adalah meninggalkan atau tidak berkeinginan terhadap sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat atau terhadap sesuatu yang tidak dapat membantunya dalam rangka mentaati Allah dan Rasul-Nya atau terhadap sesuatu yang memudaratkannya. Dan adalah tingkatan zuhud lebih tinggi dari wara’.
Dikatakan dalam sebuah syair,
يَا طَالِبَ الْعِلْمِ بَاشِرِ الْوَرَعَا
وَجَانِبِ النَّوْمَ وَاتْرُكِ الشِّبَعَا
دَاوِمْ عَلَى الدَّرْسِ لَا تُفَارِقْهُ
فَإِنَّ الْعِلْمَ بِالدَّرْسِ قَامَ وَارْتَفَعًا
Wahai penuntut ilmu, hiasilah dirimu dengan sifat wara’,
Jauhilah banyak tidur dan perut kenyang,
Tekunlah dalam belajar dan jangan kau tinggalkan,
Sebab dengan belajar, ilmu itu semakin kokoh dan terus meningkat. (Jami’ Bayan Al-‘Ilm, 1: 192)
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani rahimahullah pernah ditanya, “Mengapa engkau tidak menulis kitab tentang zuhud?” Beliau menjawab, “Aku sudah menulis kitab tentang jual beli.” Maksudnya bahwa orang yang zuhud itu adalah orang yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat dan makruh dalam jual beli.
Syaikh Al-Imam Al-Jalil Az-Zahid Al-Hujjaj Najmuddin Umar bin Muhammad An-Nasafi memiliki syair yang sangat bagus,
كُنْ لِلْأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِي حَافِظًا
وَعَلَى الصَّلَاةِ مُوَاظِبًا وَمُحَافِظًا
وَاطْلُبْ عُلُوْمَ الشَّرْعِ وَاجْهَدْ وَاسْتَعِنْ
بِالطَّيِّبَاتِ تَصِرْ فَقِيْهًا حَافِظًا
وَاسْئَلْ إِلَهَكَ حِفْظَ حِفْظِكَ رَاغِبًا
مِنْ فَضْلِهِ فَاللهُ خَيْرٌ حَافِظًا
Jadilah kau orang yang menjaga perintah dan larangan,
Biasakan dan jagalah shalat.
Carilah ilmu syari dan bersungguh-sungguhlah, mintalah pertolongan
Dengan (amal-amal) kebaikan, niscaya kau akan menjadi orang alim yang kuat hafalannya.
Mohonlah dengan penuh harap kepada Rabbmu agar menjaga hafalanmu,
Mohonlah keutamaan-Nya, karena Dialah sebaik-baik Penjaga.
Beliau rahimahullah juga berkata,
أَطِيْعُوا وَجِدُّوْا وَلَا تَكْسَلُوا
وَأَنْتُمْ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُوْنَ
وَلَا تَهْجَعُوْا فَخِيَارُ الْوَرَى
قَلِيْلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُوْنَ
Taatlah kalian, dan giatlah, serta jangan bermalas-malasan,
Kalian semua akan dikembalikan kepada Rabb kalian.
Janganlah kalian banyak tidur, karena makhluk pilihan itu,
Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.
Hanya kepada Allah kita memohon taufik.
Baca juga: Cara Menghadapi Rasa Malas dalam Menuntut Ilmu
***
Penulis: Annisa Auraliansa
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Syarah Hilyah Thalibil Ilmi (Terjemah), Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Penerbit Griya Ilmu Jakarta, Cetakan Keempat, Shafar 1446/ Agustus 2024.
Ta’lim Al-Muta’allim (Terjemah), Burhanul Islam Az-Zarnuji, Penerbit Pustaka Arafah Solo, Cetakan Kelima, Juli 2021.
Mulia Dengan Manhaj Salaf, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka At-Taqwa Bogor, Cetakan Kesembilan, Ramadhan 1435/ Juli 2014.
Takut Kepada Allah, Muhammad Syauman bin Ahmad Ar-Ramli, Pustaka Ibnu Katsir Jakarta, Cetakan Kedua, Ramadhan 1435/ Juli 2014.
Kitab Al-Wara’ (Terjemah), Imam Ahmad bin Hanbal & Imam Ibnu Abi Dunya, Pustaka Azzam Jakarta, Cetakan Pertama, Maret 2013.
Kitab Zuhud dan Riqaa-iq, Abdul Hakim bin Amir Abdat, Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Cetakan Kedua, Jumadil Awal 1435/ Maret 2014.