Sebagaimana syariat yang mulia ini melarang wanita menampakkan zinah atau kecantikan fisiknya di depan laki-laki ajnabi (lelaki yang bukan suami dan mahramnya) dalam rangka mencegah gangguan (bangkitnya) syahwat biologis, maka Islam juga melarang wanita muslimah menampakkan zinah-nya di hadapan wanita nonmuslim. Tujuannya adalah agar wanita nonmuslim tidak menceritakan kecantikan wanita muslimah kepada suaminya atau kepada laki-laki yang seagama dengannya.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah An-Nur ayat 31,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanitanya.”
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna dari “wanita-wanitanya” yaitu,
يعني تظهر بزينتها أيضا للنساء المسلمات دون نساء أهل الذمة، لئلا تصفهن لرجالهن، وذلك وإن كان محظورا قي جميع النساء، إلا أنه في نساء أهل الذمة أشد، فإنهن لايمنعهن من ذلك مانع، فأما المسلمة، فإنها تعلم أن ذلك حرام فتنزجر عنه
“Seorang wanita diperbolehkan menampakkan zinah-nya pada sesama muslimah dan tidak boleh ditampakkan pada wanita nonmuslim. Tujuannya agar wanita nonmuslim tersebut tidak menceritakan tentang bentuk fisik wanita muslimah kepada laki-laki nonmuslim. Dan dilarangnya menceritakan bentuk fisik wanita lain kepada suami berlaku umum untuk semua wanita, akan tetapi lebih terlarang lagi bagi wanita nonmuslim, karena tidak ada satu pun yang menghalanginya untuk menceritakan kecantikan wanita muslimah. Lain halnya dengan wanita muslimah, ia mengetahui dan menyadari bahwa menceritakan kecantikan atau daya tarik wanita lain kepada suami atau kerabatnya merupakan suatu keharaman, sehingga ia tidak melakukannya.” (At-Tafsir, 3: 284)
Ini merupakan pendapat Ibnu Katsir rahimahullah yang bermadzhab Syafi’i, Al-Mubajjal Abi Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal rahimahullah, dan yang lainnya.
Ishak bin Hani’ An-Naisabury rahimahullah berkata dalam kitab Masail-nya (2: 149/1839), yaitu kumpulan tanya jawab beliau dengan Imam Ahmad rahimahullah,
سألته عن المسلمة تكشف رأسها عند نساء أهل الذمة؟
قال : لا يحل لها أن تكشف رأسها ، لأن الله سبحانه وتعالى يقول : أو نسائهن
“Kutanyakan kepada Imam Ahmad rahimahullah tentang wanita muslimah yang membuka kepalanya di hadapan wanita nomuslim. Jawabnya, tidak halal bagi wanita muslimah untuk membuka rambut kepalanya, sebagaimana firman Allah di atas ‘atau (di hadapan) wanita-wanitanya’.”
وسئل عن هذه الآية : أو نسائهن . قال : نساء أهل الكتاب ، اليهودية والنصارانية ، لاتقبلان المسلمة ولا تنظران إليها
“Imam Ahmad rahimahullah juga ditanya tentang ayat ini ‘atau (di hadapan) wanita-wanitanya’. Ia berkata, “Wanita yang beragama dengan agama ahlil kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani, maka keduanya tidak boleh memandangi aurat wanita muslimah.”
Ada pendapat lain tentang bolehnya menampakkan aurat wanita muslimah selain daerah antara pusar dan lutut kepada wanita nonmuslim berdasarkan hadis Asma’ radhiyallahu ‘anha,
قدمت عليّ أمي وهي راغبة – يعني عن الإسلام – فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم أصلها؟ قال : نعم قالتقالت: قدمت عليّ أمي وهي راغبة – يعني عن الإسلام – فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم أصلها؟ قال : نعم:
“Asma’ radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Ibuku datang menemuiku dan dia adalah seseorang yang benci terhadap Islam. Lantas aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bolehkah aku menyambung hubungan baik dengan ibuku? Maka nabi menjawab, ‘Iya’.”
Hadis ini digunakan oleh sebagian ulama sebagai dalil bahwa wanita muslimah boleh membuka rambut kepalanya di depan wanita nonmuslim. Akan tetapi, hal ini kurang tepat karena dua alasan, yaitu:
Pertama: Tidak terdapat di dalam hadis kata-kata yang menyatakan secara gamblang yang menggambarkan bahwa Asma’ menemui ibunya tanpa mengenakan hijab.
Kedua: Alasan mengapa tidak boleh membuka aurat di hadapan wanita kafir atau nonmuslim adalah karena mereka berpeluang besar menceritakan kecantikan wanita muslimah di hadapan suaminya, atau di depan salah satu laki-laki yang seagama dengannya, atau laki-laki lainnya. Adapun pada kasus Asma’, wanita ini adalah ibunya sendiri. Maka, pada umumnya kekhawatiran ini tidak akan terjadi karena telah menjadi fitrah seorang ibu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Sehingga ia akan berusaha untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan anaknya.
Di antara ulama yang berpedapat boleh yaitu Ibnu Qudamah rahimahullah yang berdalil dengan hadis ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya ada seorang wanita Yahudi datang menanyakan suatu permasalahan kepada ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ia berkata, “Semoga Allah melindungimu dari azab kubur.” (Al-Mughni (6: 562)
Akan tetapi, tidak ada di dalam hadis ini yang menunjukkan bahwa ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha menampakkan rambutnya atau keindahan tubuhnya di hadapan wanita Yahudi tersebut.
Dan tidak diragukan bahwa masa ini adalah masa yang penuh dengan godaan, maka tidak boleh bagi wanita muslimah untuk menyepelekan aturan ini, sebagaimana kita saksikan realita saat ini pada kebanyakan orang. Meremehkan dalam artian menampakkan rambut kepala, menampakkan kecantikan tubuhnya di hadapan wanita nonmuslim.
Pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah wanita muslimah di hadapan wanita nonmuslim berpakaian sempurna sebagaimana selayaknya ia berpakaian di hadapan laki-laki ajnabi.
Baca juga: Wahai Muslimah, Jagalah “Zinah”-mu!
***
Penulis: Atma Beauty Muslimawati
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Ahkaamuz Zinah lin Nisa’, hal. 9-11; Syaikh Amr Abdul Mun’im Salim, Maktabah As-Sawadi lit Tauzi’, cetakan pertama, tahun 1416/1996.