Metode Nubuwwah dalam Menumbuhkan Ridha dan Qana’ah pada Anak
Jadilah teladan
Orang tua wajib menjadi teladan bagi anaknya, dan ini adalah pondasi dalam pendidikan. Maka, kita sebagai orang tua wajib berakhlak ridha dan qana’ah di segala aspek kehidupan kita, sehingga anak melihat bahwa akhlak ridha dan qana’ah harus ada di dalam diri mereka.
Mungkin menggabungkan ridha dan qana’ah dalam diri seseorang secara teori itu mudah. Akan tetapi, secara praktik, hal ini membutuhkan ketekunan dan kedisiplinan. Sebagaimana uswatun hasanah kita, teladan terbaik kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan para sahabatnya,
احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ وَلَا تَعْجِزْ
“Semangatlah dengan apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah.” (HR. Muslim no. 2664)
Ketika anak-anak melihat orang tua yang mengasuhnya berakhlak ridha dan qana’ah, menerima rezeki Allah dengan lapang dada dan ketaatan, maka dengan izin Allah, akhlak tersebut akan tertanam di dalam hatinya.
Suri teladan terbaik dalam ridha dan qana’ah dan semua akhlak yang indah adalah sang kekasih yang terpilih, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah orang yang qana’ah, zuhud, ridha, sabar, paling berharap pahala, seorang yang paling menjauhkan dirinya dari kelezatan dunia, dan paling berharap akan kehidupan akhirat. Allah memberikan beliau pilihan antara kehidupan dunia dan akhirat. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pun memilih kehidupan akhirat dan segala sesuatu di sisi Allah. Allah memberikan pilihan antara menjadi raja dan hamba, dan beliau memilih menjadi hamba. (Syu’abul Iman, Baihaqi, 8: 114).
Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِۦٓ أَزْوَٰجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
“Janganlah sekali-kali engkau tujukan pandangan matamu pada kenikmatan yang telah Kami anugerahkan kepada beberapa golongan dari mereka (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha: 131)
Terdapat di dalam hadis yang mulia, dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “…. Aku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau sedang berbaring di atas tikarnya, kemudian aku duduk. Tidak ada apa-apa di dekatnya selain sarungnya. Tikar tersebut memberikan bekas di sisi tubuh Nabi. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri lemari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, segenggam gandum kasar dan halus yang menghadap kamar Nabi. Dan aku pun terdiam merenung dan air mataku menetes.
Beliau berkata, “Apa yang kau tangisi, Wahai bin Khattab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah… Aku menangis karena melihat tikar itu memberikan bekas pada tubuhmu, dan aku melihat apa yang ada di lemarimu hanya ada seperti apa yang kulihat. Sedangkan di luar sana, raja Roma dan Persia memiliki begitu banyak buah dan sungai. Engkau adalah utusan Allah, dan manusia terbaik, akan tetapi seperti ini isi lemarimu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
يا ابْنَ الخَطَّابِ، أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ لَنَا الآخِرَةُ وَلَهُمُ الدُّنْيَا؟
“Wahai bin Khattab, tidakkah Engkau ridha jika kita memiliki akhirat dan mereka memiliki dunia?”
Aku menjawab, “Tentu…” (HR. Bukhari no. 4913, dan Muslim no. 1479)
Berikan contoh
Memberikan contoh berupa gambaran yang dapat dilihat dan dirasakan, bisa menyentuh pikiran seseorang. Terkadang teori saja tak cukup membuat seseorang paham, kecuali dengan diberi gambaran yang realistis. Memberikan contoh, selain memudahkan pemahaman juga membutuhkan waktu yang lebih singkat. Contoh-contoh tersebut di Al-Quran sangat banyak dan memberikan pengaruh pada emosi dan perilaku seseorang. (Nadhratun Na’im fii Makarimi Akhlak Ar-Rasul Al-Karim, disusun di bawah pengawasan Syaikh Shalih bin Abdullah bin Hamid, 1: 141)
Sebagaimana Al-Quran memberikan contoh dalam mendidik ruh dan akhlak manusia, sahabat juga berjalan dengan jalan yang ditempuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengikuti jejaknya dalam akhlak, zuhud dengan apa yang mereka miliki, kemudian menyebarkan Islam sampai mereka diberikan harta dan memenangkan Islam sehingga melimpah harta. Namun, dengan kelimpahan harta tersebut, mereka tetap bersikap zuhud terhadap dunia, dan tetap berakhlak qana’ah. Sebagai contoh, betapa qana’ah para sahabat dan tidak tamak terhadap harta:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, mengatakan: “Sungguh, aku pernah melihat sekitar tujuh puluh orang dari Ashabush Shuffah. Tidak ada seorang pun dari mereka yang memiliki rida’ (selendang), atau kain, atau baju panjang kecuali mereka ikatkan dari leher mereka. Di antara mereka ada yang kainnya sampai ke tengah betisnya dan ada yang sampai ke mata kaki. Kemudian dia lipatkan dengan tangannya karena khawatir auratnya terlihat.” (HR. Bukhari no. 442)
Keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para Sahabat dengan Ridha dan Qana’ah
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling sempurna iman dan keyakinannya kepada Allah Ta’ala, yang paling baik hatinya, yang paling sempurna ridha dan qana’ah-nya. Suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kelimpahan harta hingga mengisi di antara dua gunung dengan unta dan kambing, kemudian Nabi bermalam. Ada seseorang yang masuk Islam karena pemberian dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, namun keislamannya tidak bertambah baik. Anas radhiallahu ‘anhu mengatakan tentang orang ini:
إِنْ كَانَ الرَّجُلُ لَيُسْلِمُ مَا يُرِيدُ إِلَّا الدُّنْيَا، فَمَا يُسْلِمُ حَتَّى يَكُونَ الْإِسْلَامُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا
“Jika seseorang masuk Islam tujuannya hanya dunia, maka tidaklah dia masuk Islam sampai dia jadikan Islam lebih dia cintai daripada dunia dan isinya.” (HR. Muslim no. 2312)
Dari ‘Urwah dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Demi Allah, wahai keponakanku (‘Urwah), sesungguhnya kami memperhatikan hilal kemudian hilal untuk ketiga kalinya dalam satu bulan dan tidak ada api yang dinyalakan di rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku berkata, “Wahai bibi, apa yang dapat menjadikan kalian bertahan hidup?” Dia berkata, “Dua hal yang hitam, kurma, dan air. Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai dua tetangga dari kalangan Anshar, yang mereka memiliki anak unta yang dapat diambil air susunya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kedua tetangga itu memberi kami minum.” (HR. Bukhari no. 2567, Muslim no. 2972)
Kemudian ‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, tidaklah kenyang beliau dengan roti dan buah zaitun dalam sehari dua kali.” (HR. Muslim no. 2974)
Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengatakan, “Tempat tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbuat dari kulit dan isinya dari serat kurma.” (HR. Bukhari no. 6456, Muslim no. 2082)
Kesimpulan
Jika kita bisa menjadi qana’ah dan bisa tumbuh dengannya, maka sifat tersebut akan melekat pada kita. Maka dari itu, kita akan menjadi hamba yang paling bersyukur kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan wasiat kepada Abu Hurairah,
يا أبا هريرةَ! كُنْ وَرِعًا تَكُنْ من أَعْبَدِ الناسِ، وارْضَ بما قسم اللهُ لكَ تَكُن من أَغْنَى الناسِ، وأَحِبَّ للمسلمينَ والمؤمنينَ ما تُحِبُّ لنفسِكَ
“Wahai Abu Hurairah! Bertakwalah, maka engkau akan menjadi hamba terbaik. Ridhalah dengan apa yang Allah bagikan untukmu, maka engkau akan jadi manusia terkaya, cintailah sesama muslim dan orang-orang beriman sebagaimana kau mencintai dirimu sendiri.” (HR. At-Tirmidzi no. 2305)
Allahu a’lam.
—
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
Diterjemahkan dengan perubahan dari: https://islamqa.info/ar/answers/508299/كيف–نربي–اولادنا–وانفسنا–على–القناعة–والرضا