Syekh Asy-Syatiri Al-‘Alawi di dalam Nailuraja Syarah Safinatun Najaa menjelaskan kewajiban seseorang yang tidak berpuasa di bulan Ramadan berdasarkan sebabnya dibagi menjadi empat.
1. Wajib Qada dan Fidiah
Pada bagian pertama ini dibagi menjadi dua.
- Dia tidak berpuasa karena khawatir akan orang lain saja, contoh: wanita yang hamil dan menyusui jika dia khawatir akan membahayakan bayinya, meskipun yang disusui itu bukan anaknya, (misal ibu donor ASI). Jika wanita yang hamil dan menyusui tersebut tidak berpuasa karena khawatir berpuasa akan membahayakan dirinya saja, maka wajib qada saja (tanpa fidiah).
- Dia menunda qada padahal ia mampu sampai datang Ramadan berikutnya. Contoh yang tidak mampu mengqada misalnya, orang yang selalu dalam keadaan safar, atau orang yang sakit terus-menerus sampai datang Ramadan berikutnya, atau orang yang tidak tahu tentang haramnya menunda qada meskipun ada ustaz di sekitarnya, maka wajib qada saja. Jika dia mengetahui haramnya menunda qada, akan tetapi dia tidak tahu wajibnya fidiah, maka ini tidak boleh, dan dia harus mengqada dan membayar fidiah secara bersamaan, dan jika terlewat lagi, maka dibayar lagi fidiahnya sesuai kelipatan tahun-tahun Ramadan yang terlewat.
2. Wajib qada saja tanpa fidiah
Contohnya orang yang sering pingsan, orang yang lupa niat puasa, orang yang sengaja membatalkan puasanya tanpa jima’ (jima’ = berhubungan suami-istri, jika dilakukan maka puasa batal, tidak hanya qada akan tetapi juga harus membayar kafarat), dan juga orang yang tidak berniat puasa dengan sengaja.
3. Wajib fidiah saja tanpa qada
Semisal orang yang sudah tua renta yang sudah tidak mampu lagi berpuasa dan juga orang sakit yang sudah tidak ada harapan akan kesembuhannya atau jika dia berpuasa akan menyebabkan bertambah parah sakitnya.
4. Tidak wajib Fidiah dan juga tidak wajib qada
Yaitu orang gila, yang sebab gilanya adalah tidak sengaja. Asy-Syarqawi dalam catatan kakinya di Syarh Al-Mahallii juga menambahkan: anak kecil yang belum balig, kafir asli (bukan murtad)
Keterangan: Fidiah adalah satu mud dari makanan pokok suatu negeri yang dikeluarkan sesuai hari dia tidak berpuasa. Diberikan kepada setiap fakir dan miskin, 1 mud per orang.
Menunda Qada sampai Ramadan berikutnya berkonsekuensi membayar fidiah juga
Dan ini juga disampaikan oleh Syaikh Bin An-Naqiib Al-Mishri di dalam kitabnya Umdatus Salik wa ‘Uddatun Naasik, bahwa jika seseorang punya tanggungan qada puasa, maka disunahkan untuk menunaikannya secara berturut-turut dan segera dilakukan tanpa ditunda, dan tidak boleh menunda qada sampai Ramadan berikutnya tanpa uzur. Jika dia tetap mengakhirkannya maka di setiap hari yang ia harus tunaikan qadanya dia juga harus menunaikan fidyah setiap harinya satu mud. Jika dia terlewat lagi dua Ramadan, maka 2 mud di tiap harinya, dan begitu pula setiap bertambah tahun-tahun yang terlewat dari Ramadan untuk menqada puasanya, maka bertambah pula fidiahnya. Jika sampai akhirnya dia meninggal dalam keadaan sebelumnya sebenarnya dia sanggup puasa tapi tetap tidak dia tunaikan qada dan fidiahnya maka dia tetap punya tanggungan fidiah di tiap hari sebanyak 1 mud makanan (yang menunaikan adalah keluarga atau kerabat atau boleh orang lain atas izin mayit atau keluarga yang ditinggalkan).
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi penulis kitab fikih Hanbali, yakni Al-Mughniy menjelaskan, seseorang tidak boleh mengakhirkan qada hingga Ramadan berikutnya tanpa uzur, karena ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak melakukan hal demikian (di dalam hadis, beliau mengakhirkan qada tidak sampai Ramadan berikutnya, akan tetapi sampai Sya’ban), jika mengakhirkan qada sampai Ramadan berikutnya itu diperbolehkan, maka pasti ia akan menundanya. Karena puasa adalah ibadah yang diulang di setiap tahunnya, maka tidak boleh mengakhirkan Ramadan pertama sampai yang kedua, sebagaimana salat fardu. Jika dia menunda qada puasa sampai Ramadan berikutnya, maka perlu dilihat,
- Jika ada uzur, maka hanya qada saja
- Jika tanpa uzur, maka baginya qada dan juga memberi makan orang miskin di setiap hari yang terlewat.
Hal ini dilandasi oleh perkataan Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Maliki, Ats-Tsauri, Al-Auza’iy, Asy-Syafi’iy dan Ishaq. Adapun Al-Hasan, An-Nakha’ii dan Abu Hanifah mengatakan: tidak perlu fidiah, karena puasa adalah kewajiban, maka mengakhirkannya tidak wajib kafarat, sebagaimana mengakhirkan salat pada waktunya dan juga nazar. Dan bagi kami, apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah, bahwasanya mereka mengatakan: “Berikanlah makan orang miskin di tiap harinya” tidak diriwayatkan dari selainnya dari kalangan sahabat setelahnya. Dan sanad diriwayatkan dari jalur yang lemah. Oleh karena itu, menunda puasa Ramadan dari waktunya jika tidak wajib qada maka wajib fidiah sebagaimana orang yang sudah tua renta.
Jika seseorang tidak sanggup menunaikan qada sehingga dia menunda qadanya tanpa uzur, maka baginya dua fidiah tiap harinya. Fidiah karena tidak berpuasa dan fidiah karena menunda qada.
Dan inilah yang terdapat di dalam Al-Minhaj dan Syarh Al-Mahallii: dan yang paling mendekati kebenaran adalah jika seseorang menunda qada padahal dia mampu, dan dia akhirnya meninggal, maka dia harus membayar setiap hari 2 mud. Satu mud dari apa yang terluput darinya dan satu mud karena menunda. Pendapat yang lain, cukup dengan satu mud saja karena apa yang lewat, tanpa 1 mud karena penundaannya.
Akan tetapi, jika orang tersebut tidak mengetahui haramnya menunda qada maka tidak ada kafarat menunda, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Fatawaa No.57219
Baca juga: Mensyukuri Karunia Allah Dalam Berpuasa
—
Penulis: Triani Pradinaputri
Artikel Muslimah.or.id
Referensi:
- Nailur Rajaa bi Syarhi Safiinatun Najaa, As-Sayyid Ahmad bin Umar Asy-Syathiri Al-Alawiy, Cetakan Pertama, 2021, Maktabah Az-Zahra, Halaman 138-139
- Umdatus Salik wa Uddatun Naasik, Ahmad bin Lu’lu bin Abdullah, Cetakan 2015, Dar Ibnu Hazm, Beirut. Halaman 210
- https://www.islamweb.net/ar/fatwa/195925/حكم-من-أخر-قضاء-رمضان-حتى-أصبح-عاجزا-عن-الصيام